Suara.com - Pandemi Covid-19 membawa kecemasan tersendiri bagi pasien tuberkulosis di negeri ini. Sebagian dari mereka merasa terdiskriminasi, terutama dari aspek layanan. Seperti apa yang mereka rasakan dan apa sesungguhnya yang terjadi?
MALAM itu, sekitar bulan April 2020, Febriyandi (23) sesak napas dan hampir tak kuat menahan rasa sakit di dada.
Dalam keadaan genting seperti itu, dia mengontak petugas rumah sakit untuk meminta bantuan layanan mobil ambulans untuk menjemput ke rumahnya di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Febri seorang pasien Tuberkulosis Resisten Obat (Multidrug Resistant Tuberculosis) yang harus menjalani pengobatan selama 20 bulan, tidak boleh putus karena sekali putus harus mengulang dari awal lagi.
Baca Juga: Malapetaka Abu Emas Hitam, Petani Banten Dikepung Polusi PLTU Suralaya
Dengan layanan ambulans yang biasanya dilengkapi dengan peralatan medis, dia -- juga umumnya pasien TBC RO lainnya -- berharap segala kemungkinan risiko selama perjalanan ke rumah sakit dapat diminimalisir.
Sekitar sejam lamanya dia mengontak berbagai rumah sakit, tetapi hasilnya mengecewakan.
Seluruh petugas rumah sakit yang berhasil dihubungi menyatakan tidak bisa mengirimkan ambulans malam itu karena sedang dipakai untuk melayani pasien Covid-19.
Febri bersama pendampingnya, Sri Robiana, malam itu memutuskan untuk mencari alternatif lain.
Mereka memesan taksi melalui aplikasi online untuk mengantarkan ke RSUD Bekasi.
Baca Juga: Perjalanan Sangat Menegangkan Sejak Mobil Rizieq Tinggalkan Rumah Sentul
Sampailah mereka di RSUD. Febri segera dituntun Sri menuju unit gawat darurat.
Petugas medis memberikan bantuan oksigen kepada Febri karena dia pingsan. Dokter juga memberikan pompa jantung.
Tetapi dengan alasan semua ruang inap penuh pasien, dokter piket merujuk Febri ke RS lain supaya segera mendapatkan perawatan. Hal itu amat mengecewakan bagi pendamping Febri.
“Malam itu dokternya malah menyuruh kami cari RS lain, alasannya ruangan perawatan sudah penuh. Tapi saya nggak mau, saya ancam akan saya laporkan masalah itu ke Dinas Kesehatan,” ujar Sri kepada Erick Tanjung, jurnalis Suara.com, di Poli TBC MDR, RS Persahabatan, Jakarta Timur, baru-baru ini.
Kenyataan yang mengagetkan terjadi dua hari kemudian.
“Akhirnya Febri meninggal setelah dua hari berada di UGD RSUD Bekasi,” kata Sri.
Sri menduga Febri meninggal dunia karena tidak mendapatkan perawatan secara optimal sebagai pasien TBC RO.
Pengalaman tak mengenakkan juga dialami pasien TBC RO lainnya, Rofik (21), pada pertengahan Agustus lalu.
Di tengah kondisi nafas yang semakin mengkhawatirkan, mahasiswa Bekasi itu akhirnya mencari taksi karena tidak bisa mendapatkan layanan ambulans dari RS yang katanya karena semuanya digunakan untuk melayani pasien Covid-19.
“Seperti yang sudah-sudah, akhirnya saya bawa Rofik ke RS naik grab. Kini dia sudah kembali ke kampungnya di Sulawesi,” kata Sri yang juga menjadi pendamping Rofik.
Penyintas TBC RO dari Yayasan Pejuang Tangguh, Delano Reynaldo, juga mengakui, ”Kendala paling berat kami sekarang ini adalah tidak bisa mendapat pelayanan ambulans untuk pasien TBC RO. Setiap RS di Jakarta ambulansnya setiap hari habis untuk pasien Covid-19.”
Untuk menyiasatinya, selain menggunakan angkutan umum seperti yang dialami dua pasien di Bekasi, bisa menggunakan layanan ambulans dari yayasan atau lembaga sosial, meskipun itu juga tidak mudah karena keterbatasan jumlah armada, biasanya pasien harus terlebih dahulu memesan sebulan sebelumnya.
Tentu saja menunggu sebulan untuk mendapatkan ambulans bukan pilihan terbaik buat pasien yang mengalami sesak nafas secara mendadak dan butuh cepat mendapatkan penanganan dokter.
Jika semua cara untuk mendapatkan layanan ambulans yang memiliki kelengkapan alat medis tak mungkin, terpaksalah membawa pasien dengan menggunakan sepeda motor.
Persoalan yang dihadapi pasien
KESULITAN mendapatkan layanan ambulans hanyalah salah satu dari sekian masalah yang dirasakan pasien TBC RO, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
Masalah berikutnya, sebagian dari mereka susah mendapatkan layanan transfusi darah karena umumnya petugas RS memiliki keengganan menerima pasien yang diketahui menderita TBC.
Sri mengatakan, “Pasien TBC sekarang susah sekali diterima dimana-mana. Pihak RS selalu bilang penuh. Bahkan yang diterima pun, pasien TBC ini agak dikucilkan.”
“Kadang ambulansnya dapat, tapi RS-nya tidak mau menerima. Hampir rata-rata RS tidak mau terima. Padahal mereka cuma transfusi darah, apa salahnya sih? Dia bukan HIV, kalau HIV kan transfusi darahnya bisa kena, tapi TBC in ikan tidak.”
Mendapatkan layanan rawat inap merupakan masalah serius berikutnya.
Menurut Sri, umumnya petugas RS di Jakarta beralasan ruang rawat inap penuh.
Sri menyebutkan contoh salah satu pasien yang didampinginya yang kemudian ditempatkan di ruangan (di RS Bekasi) yang menurutnya kurang memenuhi standar untuk penanganan pasien TBC, “Pasien dampingan saya ketika itu ditempatkan di gudang yang bercampur dengan tumpukan kursi-kursi bekas. Padahal bayar mahal sampai Rp6 juta baru dapat ruangan.”
Belakangan, Sri mendapat kabar bahwa RSUD Bekasi sudah membuka ruang khusus perawatan pasien TBC yang berlokasi di lantai 3.
Dari pengalaman mendampingi pasien yang “dipersulit” untuk mendapatkan ruang inap, Sri kemudian mendapatkan trik. Pertama-tama, pastikan dulu di rumah sakit itu ada ruang rawat inap sampai mendapat layanan di rumah sakit. “Saya bilang ke teman-teman jangan dulu bilang MDR, bilang cuci darah dulu saja. Jadi pasien MDR ini selalu dijauhin, ditakutin soalnya.”
Prioritas pasien Covid-19
PELAYANAN terhadap pasien TBC diakui dokter spesialis paru RS Persahabatan Erlina Burhan terganggu selama pandemi Covid-19. Sebagian RS sakit fokus untuk menangani pasien corona.
“Jadi idealnya penanganan pasien TB saat pandemi tidak boleh terganggu. Tapi memang kenyataannya banyak rumah sakit-rumah sakit yang punya layanan TB, kemudian harus melayani atau ditunjuk sebagai RS rujukan Covid-19 sehingga infrastruktur dan SDM-nya sibuk layani Covid,” kata dia.
Bahkan, kata Erlina, ada RS yang sampai menutup layanan rawat inap untuk pasien TBC dan difungsikan untuk ruang isolasi pasien Covid-19. Kendati demikian, kata dia, layanan rawat jalan bagi pasien TBC tetap beroperasi secara normal.
“Bahkan dikatakan kalau ada pasien TB yang butuh rawat inap, akan dirujuk ke RS yang bekerjasama,” ujarnya.
Seperti RS Persahabatan, kata dia, sejak jauh-jauh hari sudah mengeluarkan surat kerjasama dengan RS lain untuk melayani pasien TBC RO yang membutuh rawat inap.
Kerjasama layanan pasien TBC RO, menurut Erlina, sudah disetujui oleh RS lain.
“Tetapi untuk rawat jalan tetap buka, cuma memang juga ada kendala tersendiri dari pasien-pasien yang takut ke RS, takut kena covid. Jadi memang pasien-pasien rawat jalan untuk TB juga berkurang, itu juga memprihatinkan. Karena kan pasien TB ini harus datang ke RS untuk mengambil obat,” kata dia.
Di Jakarta terdapat 14 RS rujukan untuk pasien TBC RO.
Ruang perawatan untuk pasien TBC RO tak hanya membutuhkan tim perawatan lintas disiplin, tapi juga harus mememenuhi standar-standar tertentu, seperti standar isolasi dan pencegahan serta pengendalian infeksi, kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta Dwi.
Senada dengan Erlina, mengenai kesulitan pasien TBC RO mendapatkan ruang inap, Dwi mengatakan itu terjadi karena sebagian besar ruang rawat inap di RS rujukan dialihkan untuk pelayanan pasien Covid-19.
“Saat ini kami menyiapkan rumah sakit yang dapat memberikan fasilitas rawat inap untuk penderita TBC RO di RSIJ Cempaka Putih,” kata Dwi kepada Suara.com, Senin (7/12).
Dia mengatakan jika ada pasien TBC RO membutuhkan ruang rawat inap, petugas kesehatan akan berkomunikasi dengan tim RSIJ Cempaka Putih untuk diproses.
Komunikasi lintas layanan dilakukan sesuai prosedur rujukan melalui Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu atau SPGDT, kata Dwi.
Selain itu juga tersedia jalur koordinasi melalui grup WhatsApp Pengelola Program TBC RO DKI Jakarta untuk mempermudah akses rawat inap bagi pasien TBC yang membutuhkan.
“Saat ini DKI Jakarta sedang mempersiapkan penambahan 1 RS Rujukan Rawat inap TBC RO,” kata dia.
Menjawab kesulitan pasien mendapatkan layanan ambulans dari RS atau puskesmas, Dwi menganjurkan pasien untuk mengakses layanan Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan dengan nomor panggilan 112 atau 119.
“Syarat ketentuan berlaku, pertama pasien merupakan warga DKI Jakarta yang dibuktikan dengan KTP/KK. Kedua, domisili pasien ada di wilayah DKI dan ketiga, faskes yang dituju adalah faskes yang ada di wilayah DKI Jakarta,” tuturnya.
Dalam upaya menanggulangi TBC, pemerintah Jakarta telah menerbitkan Pergub Nomor 28 Tahun 2018 tentang penanggulangan tuberkulosis.
Semenjak muncul pandemi Covid-19 sehingga mengganggu layanan bagi pasien TBC, pemerintah Jakarta mengeluarkan Surat Edaran Kepala Dinas Nomor 56/SE/2020 tentang keberlangsungan pelayanan TBC selama masa pandemi Covid-19.
Menurut data Dinas Kesehatan Jakarta, jumlah penderita TBC sensitif obat pada Januari hingga November 2020 sebanyak 19.604 kasus, sedangkan jumlah penderita TBC RO pada periode yang sama sebanyak 543 kasus yang diobati.
***
CUACA Jakarta pada Kamis (26/11/2020), pagi itu, cerah.
Dari rumahnya di Cakung, Triantoro menumpang angkutan kota menuju RS Persahabatan yang terletak di Rawamangun, Jakarta Timur. Dia ingin memeriksakan kesehatan matanya yang belakangan ini berasa tidak nyaman.
Sekitar jam 08.25 WIB, dia sampai di Poli TBC MDR (multidrug-resistant tuberculosis). Setelah mengantre, tiba giliran Tri. Dia diberi surat untuk mendapatkan layanan rontgen paru di ruang radiologi.
Ia menyusuri lorong-lorong RS. Tri memiliki badan ceking. Ransel yang dia gendong seakan membuat jalannya semakin tertatih menuju ruang radiologi yang jaraknya sekitar 250 meter dari Poli TBC MDR.
Dia kembali mengantre di depan ruang radiologi. Bangku tunggu pasien yang sudah diberi tanda jaga jarak sudah penuh. Tri memilih berdiri di sudut ruangan sampai 45 menit kemudian terdengar namanya dipanggil petugas.
Selesai rontgen, dia kembali ke gedung Poli TBC MDR untuk menyerahkan hasil pemeriksaan. Sehabis itu, baru dia menjalani pemeriksaan mata.
Mata Tri bermasalah sejak sepekan terakhir. Pada waktu-waktu tertentu, seperti pagi hari ketika kena sinar matahari, pandangannya berubah menjadi penuh kabut.
Dokter menganjurkan Tri menjalani rontgen untuk memastikan kondisi paru-parunya karena ada kemungkinan masalah pada matanya karena paru-paru bermasalah.
Tri seorang pegawai Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Dia terdeteksi terinfeksi TBC RO pada awal Oktober.
Kasus tersebut mulai terdeteksi sejak dia masuk RS Pekerja Bulog, Cakung, bulan April. Ketika itu, dia masuk RS karena sesak napas, tensi darahnya 90/61. Semula, dia mengira hanya kekurangan darah.
Berdasarkan hasil rontgen, dia dinyatakan positif Covid-19. Tri kemudian diisolasi. Setelah itu, dia melakukan rapid test dan swab PCR. Hasilnya menggembirakan: negatif corona.
Tetapi muncul kabar mengejutkan lagi. Dari hasil pemeriksaan dahak, dokter menyatakan Tri terjangkit TB sensitif.
Tri mendapatkan obat untuk dikonsumi selama enam bulan. Pada tes berikutnya, ternyata dia memiliki kekebalan terhadap obat. Tri dinyatakan TBC RO dan kemudian dirujuk ke RS Persahabatan.
Berjuang untuk sembuh
TRI tetap optimistis menatap masa depan. Dia berkomitmen untuk disiplin mengonsumsi obat selama 20 bulan.
“Nggak usah takut kalau ingin sembuh, jalani saja walaupun minum obatnya banyak,” kata Tri kepada Erick Tanjung yang menemuinya di ruang radiologi RS Persahabatan.
Setiap hari, Tri minum 15 jenis obat dan dia mesti melakukan itu sampai dua tahun.
Tri yakin akan datangnya kesembuhan. Ia mengatakan untuk mempercepat proses penyembuhan, harus konsentrasi dan meminimalisir berbagai masalah.
“Jadi saya jalani saja dengan fokus untuk berobat dan disiplin setiap hari meminum obat,” uja Tri.
Bapak dari dua anak ini mengatakan efek obat TBC RO beragam, tergantung kondisinya. Tetapi, antara lain pusing, mual, hingga muntah-muntah, bahkan bisa berimbas pada berat badan, iritasi kulit, kelumpuhan, hilang pendengaran, sampai kebutaan.
Tri sendiri mengalami iritasi kulit dan gangguan penglihatan.
Sambil mengikuti prosedur pengobatan di RS Persahabatan, Tri tetap aktif bekerja dan dia disiplin memakai masker di tempat kerja, Unit Pengelolaan Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Jakarta yang berada di Bantargebang.
“Sampai sekarang saya masih aktif bekerja,” katanya.
Tri beruntung atasan dan teman-temannya mendukung agar dia cepat sembuh. Dukungan mereka bagi Tri menjadi suplemen penting.
“Rekan-rekan kerja mengerti, mereka tidak masalah dengan penyakit saya, yang penting kan selalu pakai masker,” tuturnya.
Kepada teman-teman, dia selalu menekankan bahwa selama menjalani pengobatan secara rutin, kuman yang ada di tubuh pasien TBC RO tertidur sehingga tidak perlu takut tertular.
“Memang kadang orang yang tidak paham takut duluan dekat dengan kami pasien TB ini. Sebetulnya semua orang bisa tertular kalua dia slebor (tak pakai masker),” ujarnya.
Banyaknya kasus Covid-19 sempat membuat Tri was-was datang ke RS untuk mengambil obat, apalagi ia masuk kategori kalangan rentan tertular.
Tapi, niat sembuh mengalahkan rasa takut itu.
Catatan redaksi: Liputan ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Stop TB Partnership Indonesia dalam program fellowship tuberkulosis.