Dana awal yang ia bawa hanya sebesar 30.000 ringgit, digunakan hanya untuk mencukupi perapihan jalan dari Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor).
Transformasi
Lebih dari 200 tahun setelah pembangunan awal, Jalan Raya Pos pun bertransformasi menjadi jalan yang dikenal luas dengan nama jalur atau Jalan Raya Pantura.
Bunyi gerobak kuda yang mengantar surat-menyrat antar daerah kekuasaan Belanda kini tidak lagi terdengar.
Hiruk pikuk jalur Pantura digantikan oleh bising mesin kendaraan bermotor dan asap pekat dari knalpot truk dan bus lintas Jawa.
Tak ada lagi para pribumi yang mendorong-dorong gerobak guna membawa hasil pertanian untuk dijual. Suasana berubah dengan munculnya alunan nada suara para pengamen di setiap lampu merah.
Perubahan fisik dan fungsi Jalan Raya Pos amat signifikan, dua abad setelah jalan itu dibuat. Revitalisasi Pantura terjadi setelah krisis ekonomi dunia tahun 1930, sebagaimana merujuk disertasi Endah Sri Hartatik.
Kendati bertransformasi secara fisik dan fungsi, satu hal yang tetap sama dari Jalan Pantura dan Jalan Raya Pos adalah keduanya tetap menjadi primadona, yakni oleh penjajah semasa dulu dan oleh penduduk Jawa saat ini.
Pada 1930-an, migrasi penduduk di Pulau Jawa tak terelakkan. Dalam kurun 50 tahun, perkembangan Pantura pesat pada 1980.
Saat itu orientasi ekonomi Pulau Jawa berubah dari tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan dan industrialisasi di pesisir pantai utara Jawa.
Baca Juga: Sejarah Tanam Paksa, yang Membuat Masyarakat Pribumi Sengsara
Geliat aktivitas dan perekonomian di Jalur Pantura terus berjalan hingga medio 2000-an kendati sejak dulu memiliki saingan berat di medio 1800-an, yakni kereta api.