Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memiliki catatan terkait pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) pada pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Salah satu yang menjadi perhatiannya ialah perihal abainya pertimbangan HAM dalam memutuskan kebijakan.
Peneliti KontraS Rivan Lee Anandar mengatakan pihaknya telah memprediksi adanya benturan cukup sengit yang timbul dikarenakan adanya keinginan pemerintah untuk memudahkan iklim investasi pada 2019. Saat itu muncul wacana pemerintah memutuskan untuk melahirkan Undang-undang omnibus law Cipta Kerja.
"Hal itu kemudian menjadi nyata ketika proses legislasi dari UU Cipta Kerja itu dilakukan dari awal tahun hingga pertengahan tahun yang mengalami sejumlah kejanggalan baik dari tingkat prosesnya sampai dengan waktu pengesahannya," kata Rivan dalam diskusinya secara virtual, Kamis (10/12/2020).
Menurut kacamata KontraS, proses legislasi UU Ciptaker memperlihatkan nihilnya unsur good governement karena tidak adanya akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan. Semisal, ketika KontraS berusaha mengirimkan surat kepada empat kementerian untuk melihat isi dari draf UU Ciptaker.
Baca Juga: Ferdinand: Gibran dan Bobby Jadi Wali Kota karena Rakyat, Bukan Bapaknya
Hanya ada dua kementerian yang kemudian membalas surat KontraS yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Meski suratnya dibalas, namun KontraS tidak mendapatkan keterbukaan informasi dalam proses legislasi UU Ciptaker.
"Kementerian Polhukam itu justru mengirimkan surat balasan dan menyebutkan prosesnya adalah rahasia dan dalam tahap proses finalisasi," ujarnya.
Selain itu, KontraS juga menyoroti soal keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) serta kepolisian guna mengarahkan anggotanya supaya memudahkan proses penyusunan UU Ciptaker. Hal tersebut yang akhirnya membuat adanya konsekuensi penekanan terhadap kelompok-kelompok yang menentang disahkannya UU Ciptaker.
"Itu semakin terjadi dan mewujud lagi dalam pembatasan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berekspresi pada aksi-aksi yang terjadi selama ini," ungkapnya.
"Negara sama sekali tidak mempertimbangkan Hak Asasi Manusia sebagai landasan dalam menyusun putusan atau mengeluarkan sebuah kebijakan."
Baca Juga: Presiden Ingin Tuntaskan Kasus HAM Masa Lalu, Pelanggararan di Masa Kini?