Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan tiga penghargaan kepada tiga pelapor gratifikasi dari tiga instansi pemerintah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (8/12/2020).
Ketiga penerima penghargaan itu diterima oleh Wahyu Listyantara pengamanan pengawalan kereta di PT. Kereta Commuter Indonesia (PT KCI). Kemudian seorang penghulu madya dan Kepala KUA Kecamatan Cimahi Tengahn Budi Ali Hidayat. Terakhir, Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mukomuko, Apriansyah.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyampaikan kisah ketiga orang ini, hingga mendapatkan penghargaan dari KPK.
Pertama, Wahyu Listyantara mantan anggota Brimob Polri sejak tahun 2008. Ia pun kemudian bergabung dengan PT. KCI sebagai petugas keamanan.
Baca Juga: Resmi Jadi Tersangka, Baliho Bergambar Juliari Batubara Dicopot
Nainggolan menceritakan Wahyu diketahui hidup dalam kondisi kesulitan keuangan dan tinggal sendirian di sebuah kos sederhana.
Pada suatu hari, Wahyu diajak seorang dari rekanan PT.KCI untuk makan siang bersama. Wahyu bercerita tentang kesulitannya saat itu karena telah menganggap orang tersebut sebagai teman.
"Orang tersebut bersimpati dan memberi sebuah amplop berisi satu lembar cek senilai Rp100 juta (kepada Wahyu)," ucap Nainggolan.
Tujuan pemberian cek itu, hanya untuk membantu Wahyu agar dapat membeli rumah. Wahyu sudah menolak pada kesempatan pertama. Namun pihak pemberi tetap memaksa.
"Merasa tidak enak hati karena sudah mengenal lama, akhirnya Wahyu terpaksa menerima," ujarnya.
Baca Juga: Dugaan Aliran Suap Mensos Juliari ke PDIP, KPK: Digali Lebih Lanjut
Kemudian, kata Nainggolan, setelah menerima cek itu Wahyu sempat bercerita kepada temannya sesama petugas keamanan. Ia merasa tak enak hati atas penerimaan cek dengan total Rp100 juta itu.
Teman Wahyu pun, memberikan saran agar Wahyu melaporkan cek itu kepada KPK. Wahyu saat itu, juga menyempatkan ke Bank apakah benarbceknitu berisi uang Rp 100 juta.
"Setelah mengetahui bahwa cek tersebut bisa dicairkan, Wahyu kemudian melaporkan penerimaan tersebut dan menitipkan uang tersebut kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) PT KCI serta menyampaikan laporan tersebut sebagai laporan gratifikasi," tuturnya.
Maka itu, Nainggolan menyebut bahwa melaporkan gratifikasi membutuhkan suatu integritas yang tinggi. Apalagi, Wahyu dihadapkan dalam dilema berada dalam kondisi membutuhkan uang itu.
Selanjutnya, penerima penghargaan kedua oleh Budi Ali Hidayat selaku Penghulu dari KUA Cimahi Tengah, Jawa Barat. Kisah Ali juga cukup menarik. Ia mengaku sering menerima gratifikasi dari setiap memberikan layanan kepada masyarakat sebagai tanda terima kasih atas Pelayanan yang diberikan Budi.
"Merasa sudah menerima gaji dari negara dan penerimaan tersebut merupakan sesuatu yang salah, sehingga Budi melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK," ucapnya.
Nainggolan menyampaikan bahwa Budi pernah tidak dapat menolak pemberian gratifikasi itu. Namun, Budi selalu berinisiatif dengan melaporkan atas pemberiannya itu kepada KPK melalui aplikasi GOL dalam waktu 30 hari kerja dari tanggal penerimaan.
Nainggolan mengatakan Budi sudah melaporkan dugaan gratifikasi atas penerimaannya itu, sebanyak 64 laporan kepada KPK. Dan 24 penolakan penerimaan secara langsung.
"Total Laporan yang telah dilaporkan adalah sebanyak 88 laporan terdiri 64 laporan penerimaan dan 24 laporan penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp16 juta dan yang ditetapkan menjadi milik negara sebesar Rp13,5 juta," kata dia.
Sehingga, kata Nainggolan, Budi menjadi pelapor dengan frekuensi melaporkan gratifikasi terbanyak sepanjang 2019 - 2020.
"Praktik pemberian dari pihak penyelenggara acara pernikahan yang diluar dari ketentuan Permenag di atas masih dijadikan suatu kebiasaan yang seolah-olah dibenarkan, padahal pemberian tersebut merupakan gratifikasi illegal bagi petugas pencatat pernikahan atau penghulu," tutur Nainggolan.
Penghargaan terakhir, diberikan kepada Apriansyah selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu, pada tahun 2018. Nainggolan pun menceritakan kisah Apriansyah, ketika mendapatkan pengerjaan proyek aspal jalan di daerah muko-muko.
Menurut Nainggolan, Apriansyah sempat dijanjikan dari pihak rekanan yang mendapatkan pengerjaan proyek aspal. Ketika proyek itu selesai, pihak rekanan akan mengaspal sejumlah jalan di sekitar rumah Apriansyah. Namun, Apriansyah tidak mengetahui bahwa pengaspalan jalan akan dilaksanakan.
Apriansyah ketika selesai pengerjaan proyek jalan, ia sempat mendapat tugas dinas di Medan. Sekembalinya dari Dinas, ia mendapati jalan akses pribadi ke rumahnya sudah diaspal oleh pihak rekanan secara sepihak.
Apriansyah pun berinisiatif, atas penerimaan pengaspalan jalanan pribadi itu, ia kemudian berkoordinasi kepada UPG Kabupaten MukoMuko dan melaporkannya ke Ditrektorat Gratifikasi KPK sebagai Laporan gratifikasi.
"Ia bersedia mengganti biaya aspal jalan itu sejumlah biaya pengaspalan jalan yang telah diterima sebesar Rp17.270.000 untuk menjadi milik negara," kata dia.
Dari peristiwa itu, kata Nainggolan, dapat dipahami bahwa objek gratifikasi tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, namun juga bisa bantuk hal-hal lain yang tidak lazim seperti pemberian aspal atau pengaspalan jalan.
"Dari peristiwa ini dapat diketahui bahwa terdapat gratifikasi yang tidak bisa ditolak karena peristiwa pemberian tidak diketahui oleh penerima gratifikasi," ujarnya.
Adapun ketiga peraih penghargaan oenolak gratifikasi diberikan sebuah penghargaan berupa plakat berbentuk Gedung Merah Putih KPK. Adapun penghargaan diberikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.