Suara.com - Para penyelenggara pemilihan kepala daerah di Surabaya - salah satu kota yang sempat menjadi episentrum virus corona - merasa protokol kesehatan dapat melindungi mereka. Namun epidemiolog memperingatkan risiko penularan masih tinggi.
Ahmad Fuad, yang berusia 40 tahun, sibuk mempersiapkan logistik untuk pemilihan wali kota Surabaya, 9 Desember mendatang.
Sejak dilantik sebagai ketua divisi teknis panitia pemilihan kecamatan atau PPK Semampir, 22 November lalu, Fuad - begitu ia biasa dipanggil - mendapat kiriman puluhan kotak suara serta berkardus-kardus alat pelindung diri dari Komisi Pemilihan Umum Surabaya.
Di bawah iklim Surabaya yang gerah, Fuad dan empat stafnya bekerja melipat kotak suara dan memastikan kecukupan APD bagi 319 TPS yang tersebar di Kecamatan Semampir.
Baca Juga: Distribusi Logistik Pilkada Kabupaten Keerom
- 'Mau coblos tapi tidak tahu kapan dan bagaimana' - dilema pemilih di tengah pandemi
- Strategi para kandidat di tengah pandemi - ‘Was-was terhadap Covid tapi perlu sentuh tangan pemilih'
- Pilkada: Cari tahu kandidat terkait dinasti politik di wilayah Anda
Pemilihan kepala daerah tahun ini akan dilaksanakan dalam situasi pandemi Covid-19, yang menimbulkan risiko kesehatan bagi penyelenggara maupun pemilih. Namun Fuad yakin bahwa protokol kesehatan dapat melindunginya dari virus corona.
"Secara manusiawi iya (khawatir), tapi setidaknya apa yang dilakukan KPU kota Surabaya dengan membekali kami sejak proses awal, dengan masker, hand sanitizer, disinfektan, paling tidak menjadikan keyakinan kami tidak akan terkena," ujarnya ketika ditemui BBC News Indonesia akhir November lalu.
Fuad mengatakan bahwa dirinya sebagai PPK memberikan sosialisasi baik kepada Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara (KPPS) maupun kepada masyarakat tentang tata cara pemilihan di masa pandemi.
Sudah beberapa kali menjadi panitia pemilu, ia berharap tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada kali ini meningkat.
"Jadi kami ingin memberikan kepastian, atau memberikan sosialisasi pada masyarakat, bahwa walaupun pemilu dilakukan dalam masa pandemi Insya Allah kami melakukan sebaik-baiknya sehingga pemilu ini akan sehat dan aman," ujarnya.
Baca Juga: Jelang Pilkada Serentak, KPU Sukabumi Mulai Siapkan APD hingga Logistik
Seperti apa '12 hal baru' di TPS?
Dalam situasi pandemi, KPU memperkenalkan 12 hal baru di TPS untuk melindungi penyelenggara dan pemilih dari virus corona.
Penyelenggara dan pemilih diberikan APD berupa masker dan sarung tangan. Khusus panitia, diberikan pelindung wajah atau face shield.
Di tiap-tiap TPS juga disediakan bak cuci tangan, sabun, cairan pembersih tangan, disinfektan serta alat semprotnya, termometer tembak atau thermo gun, serta satu baju hazmat.
Baju hazmat itu untuk digunakan panitia saat membantu pemilih yang pingsan atau menunjukkan suhu tubuh di atas 37,3 derajat celsius.
Tahun ini, jumlah pemilih di setiap TPS dibatasi paling banyak 500 orang. Waktu kedatangan pemilih ke TPS diatur dalam surat pemberitahuan atau C-pemberitahuan, supaya tidak menimbulkan kerumunan.
Hal-hal tersebut setidaknya mengurangi kekhawatiran beberapa calon petugas TPS.
"Sebenarnya insecure, tapi karena sudah ada protokol kesehatan yang sudah diterapkan pemerintah seperti menggunakan sarung tangan, dan sebagainya. Jadi saya sih enggak merasa khawatir," kata Nila (32) petugas TPS di kelurahan Wonokusumo.
Jawaban senada juga dilontarkan Erina (20), petugas TPS di kelurahan Kebraon, yang mengaku menjadi petugas TPS setelah orang-orang yang biasa jadi panitia pemilu di kampungnya ditolak KPU karena berusia di atas 50 tahun - rentang usia yang disebut lebih rentan terjangkit Covid-19.
"Karena kalau enggak saya, siapa lagi. Soalnya enggak ada orang. Jadi daripada enggak terlaksana ya saya juga enggak apa-apa," ungkapnya.
Risiko penularan masih tinggi
Bagaimanapun, epidemiolog dari Universitas Airlangga, Atoillah Isfandiari, memperingatkan bahwa risiko penularan Covid-19 di kota Surabaya masih tinggi.
Surabaya saat ini masih berstatus zona oranye, dan menjadi kota dengan kasus kumulatif terbanyak di Jawa Timur - kendati pertambahan kasus harian menurun dalam dua bulan terakhir.
Juni lalu, Surabaya sempat menjadi episentrum penyebaran Covid-19 sehingga dijuluki sebagai 'zona hitam'.
Atoillah berpendapat bahwa dalam situasi pandemi, jargon "protokol kesehatan" kerap berfungsi seperti stampel yang menyatakan seolah-olah suatu kegiatan itu aman. Namun, belum tentu dilaksanakan dengan baik di lapangan.
"The devil is in the detail," ujar wakil dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair itu.
Pelanggaran protokol kesehatan, menurut Atoilah, boleh jadi bukan pada saat pelaksanaan pilkada itu sendiri melainkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyertainya.
"Karena tentunya pada saat Pilkada itu banyak pihak yang akan menyoroti pelaksanaan protokol kesehatan ini. Tetapi yang perlu diingat ialah ketika rapat-rapat persiapan [pada] malam hari oleh KPPS dan lain sebagainya. Kemudian di situ ketika orang merokok, harus membuka masker, dan itu bisa terjadi secara berkelompok tentunya.
"Di situlah risiko transmisi itu terjadi. Dan itu tidak termasuk pengawasan dari Bawaslu," ia menjelaskan.
Lebih jauh, Atoillah menilai tingkat kepatuhan warga Surabaya dalam memakai sudah masker sekitar 70%. Namun mereka umumnya kesulitan menjaga jarak.
Berdasarkan survei yang dilakukan kelompok masyarakat LaporCovid19 dan Social Resilience Lab Nanyang Technological University pada Juli lalu, warga Surabaya memiliki indeks persepsi risiko yang rendah, dengan 59% merasa kecil kemungkinan mereka tertular Covid-19.
Kehidupan di kota itu pun kurang-lebih sudah kembali normal. Banyak orang menggunakan masker namun tidak begitu memperhatikan untuk menjaga jarak. Adapun di pasar, pelaksanaan protokol kesehatan jauh lebih minim.
Menurut Atoillah, kapasitas fasilitas kesehatan di Jawa Timur saat ini sekitar 53%. Rumah sakit masih mampu menangani kasus-kasus Covid-19 dengan gejala sedang. Namun untuk kasus berat, yang membutuhkan ICU dan ruang tekanan negatif, beberapa RS di Surabaya sudah mulai kewalahan.
Ia memberi contoh, dalam dua pekan terakhir bulan November - sekitar tiga minggu setelah libur panjang cuti bersama pada akhir Oktober - okupansi di RS Lapangan Indrapura naik empat kali lipat.
"Ini adalah tanda alam yang harus diwaspadai," kata Atoillah.
Sulit mengubah kebiasaan
Ketua KPU kota Surabaya, Nur Syamsi tidak memungkiri bahwa masih ada pelanggaran protokol kesehatan dalam beberapa kegiatannya. Namun menurutnya itu dilakukan tanpa sadar karena merupakan kebiasaan yang sudah menahun.
Nur Syamsi mengatakan, sekalipun tidak bisa menjamin protokol kesehatan dipatuhi dalam setiap tahapan pemilihan kepala daerah, setidaknya pihaknya bisa memastikan bahwa semua orang yang terlibat dalam tahapan tersebut sudah teredukasi.
"Sekalipun tidak bisa lakukan perubahan secara frontal, tapi perlahan-lahan kemudian siapapun yang terlibat dalam setiap tahapan itu teredukasi untuk menerapkan protokol kesehatan yang merupakan sebuah kebiasaan baru.
"Kenapa saya sebut masih kebiasaan baru, karena baru kita terapkan sekitar bulan Maret. Padahal kita punya kebiasaaan lama yang sudah bertahun-tahun, yang itu sudah mendarah daging bahwa jaga jarak itu sesuatu yang aneh. Kebiasaan lama itu kan orang tidak salaman saja itu kan dibilang sombong," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Bagaimanapun, beberapa warga Surabaya tetap merasa khawatir meski mengatakan akan tetap menggunakan hak pilih mereka. Contohnya Arum (46) yang yakin bahwa kerumunan pasti akan terjadi pada hari pemilihan.
"Saya akan pakai masker, bawa hand sanitizer, dan pagi-pagi saya akan ke sana (TPS) karena belum ada banyak orang," ujarnya.