Kisah Pemuda NTT Lestarikan Resep Lama dari Se'i sampai Sambal Lu'at

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 08 Desember 2020 | 14:04 WIB
Kisah Pemuda NTT Lestarikan Resep Lama dari Se'i sampai Sambal Lu'at
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang pemuda asal daerah pegunungan Nusa Tenggara Timur  menarik perhatian ribuan warganet dengan kepiawaiannya mengolah dan memperkenalkan makanan lokal. Ia bermimpi suatu saat nanti, tak ada lagi gizi buruk di provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia itu.

Sekitar jam makan siang, foto-foto makanan yang tertata cantik kerap menghiasi akun media sosial Dicky Senda, pemuda asal Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, NTT.

Dalam satu unggahan, ia memamerkan foto pizza yang dibuatnya pada lebih dari 10.000 pengikutnya di Twitter.

Pizza itu berhiaskan pisang, tomat, juga se'i (daging asap) sapi yang dibuatnya sendiri sehingga mustahil ditemukan di gerai-gerai penjual pizza di kota besar.

Baca Juga: Wisata ke Lasem Jawa Tengah? Ini Daftar Makanan yang Bisa Kamu Santap

Laki-laki berumur 33 tahun itu menuliskan, semua bahan, kecuali keju, dibuatnya sendiri—termasuk tepung fermentasi singkong sebagai bahan adonan.

Di lain waktu, pendiri komunitas kewirausahaan sosial Lakoat.Kujawas itu mengunggah foto sayuran berwarna-warni yang didapatnya dari lingkungan sekitar.

Di antaranya ada tomat, bunga rosela, juga daun kemangi.

"Iris semua bahan, campur dengan sambal lu'at belimbing wuluh fermentasi dengan usia 6 bulan. Beta ambil airnya saja untuk sensasi pedas dan harum sambal lu'at. Sudah enak banget ini," kata Dicky di akun Instagramnya.

"Kalau cek ke medsos katering panganan sehat dan organik, menu beginian bisa seharga Rp45.000-50.000 per porsi kecil.

Baca Juga: Program Raskin Sebabkan Masyarakat Maluku Mulai Tinggalkan Sagu

"Sementara di sini, siapa yang peduli. Tabuang-buang sonde (tidak) ada nilai."

Temukan bahan makanan yang 'hilang'

Dicky adalah penulis yang sudah menerbitkan tiga buku kumpulan cerpen dan kerap diundang sebagai pembicara acara-acara literasi, termasuk KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival.

Namun tak hanya meramu kata, ia kini sibuk meramu bahan pangan bersama dengan komunitas bentukannya: Lakoat.Kujawas.

Awalnya, komunitas bentukannya ini fokus pada literasi, kebudayaan dan seni, serta ekonomi kreatif.

Belakangan, komunitas ini juga mengarsip pengetahuan lokal terkait pangan dan kuliner.

Dicky menceritakan kecintaannya pada dunia masak memasak menurun dari neneknya, orang pertama yang kata Dicky membuka warung makanan di daerahnya.

Mollo, ujarnya, dulu merupakan daerah yang ramai didatangi pedagang cendana, sapi, hingga madu.

Banyak juga pedagang-pedagang China yang mencari peruntungan di sana, hal yang kemudian mempengaruhi cara orang-orang Mollo mengolah makanan mereka.

Masih jelas di memorinya rasa biskuit buatan neneknya, yang diyakini Dicky terpengaruh cara memasak China dan Belanda saat itu.

"Biskuit asin itu pakai minyak babi sebagai pengganti butter. Biskuit itu dibakar di atas arang. Simple dan khas, itu seperti teringat terus dari masa kecil sampai sekarang.

"Itu menjadi tradisi keluarga. Saya juga sedang belajar bagaimana supaya biskuit yang saya buat seenak yang dibikin nenek saya," katanya.

Melihat ke masa lalu tak hanya membantunya melestarikan resep-resep lama, tapi juga menemukan kembali bahan-bahan makanan yang seakan menghilang karena jarang digunakan.

Salah satunya, sorgum, tanaman yang cocok tumbuh di lahan NTT yang kering.

Dari orang-orang tua di daerahnya, Dicky, yang sebelumnya berprofesi sebagai guru itu, mendapat informasi bahwa dulu sorgum adalah salah satu makanan andalan penduduk.

Namun, ketergantungan yang kuat pada nasi, yang dimulai tahun 1980-1990'an, membuat lambat laut sumber makanan itu makin jarang ditanam warga.

Padahal, menurut data Profil Kemiskinan di Provinsi NTT Maret 2020, beras merupakan komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan di provinsi tersebut.

Kecukupan stok beras di daerah itu pun masih ditutupi dari luar pulau.

Dalam wawancara dengan BBC, Dicky mengatakan komunitasnya mencoba mengolah berbagai makanan dengan sorgum, yang bisa dikonsumsi sebagai pengganti nasi.

Seorang warga Mollo, yang juga aktif dalam komunitas Lakoat.Kujawas, Linda Nau, menceritakan bagaimana caranya mengolah sorgum.

"Sorgum dilepas dari tangkai kemudian ditumbuk. Cara tumbuknya beberapa kali, sekitar sampai enam sampai tujuh kali.

"Sampai saat ini, kami baru bisa masak saja, belum bisa buat semacam sereal atau apa. Orang tua dulu hanya masak saja seperti nasi," katanya Linda.

Tak hanya mengolah sorgum, kini komunitas itu juga mulai menanam sejumlah benih, dari sorgum hingga sejumlah kacang-kacangan lain, yang dalam waktu lama tak lagi dikonsumsi warga.

Dicky menduga bahan makanan itu "menghilang" karena perubahan iklim atau hutan-hutan yang berubah fungsi.

"Orang tua dulu, nenek moyang kami ya supermarketnya di hutan. Hilangnya hutan mengubah perilaku dan menghilangkan banyak sekali pengetahuan lokal.

"Salah satu yang kami lakukan adalah menanam kembali," katanya, seraya menambahkan komunitasnya berharap bisa membuat "perpustakaan benih" agar bahan-bahan makanan di daerah itu tak lagi hilang.

Ia pun mengembangkan kegiatan Mnahat Fe'u Heritage Trail, yang menawarkan jasa perjalanan pada wisatawan untuk mengenal lebih jauh kebudayaan di Mollo, termasuk kulinernya.

Kegiatan itu, disebutnya memotivasi mereka untuk terus menanam.

"Mau tidak mau kami harus menanam karena kalau bahan baku makanannya tidak ada, kami mau cari di mana?" kata Dicky.

Fermentasi dan pengeringan

NTT, salah satu daerah dengan skor ketahanan pangan terendah di Indonesia, sebetulnya mewarisi kecerdasan para leluhur terkait pangan.

Orang Timor mengidentifikasi diri mereka sebagai 'Atoni Meto', yang secara harafiah berarti 'manusia kering'.

Daerah itu mengalami kemarau panjang dan minimnya curah hujan. Namun, kata Dicky, mereka menemukan cara untuk beradaptasi dengan alam yang keras.

Salah satunya, kata Dicky, adalah dengan metode fermentasi yang membuat makanan bisa awet dalam waktu lama.

Metode itu masih digunakan untuk membuat sambal lu'at, yakni sambal khas NTT.

Dicky mengatakan sambal itu paling enak dikonsumsi tiga bulan setelah dibuat, bahkan tetap nikmat dimakan setelah satu tahun.

Bahan dasarnya adalah cabai, garam, bawang putih, dan jeruk.

Namun, dengan keanekaragaman herba dan jeruk di Mollo, sambal lu'at di sana rasanya unik, misalnya jika dibandingkan dengan lu'at ala Kupang.

"Dengan fermentasi itu, kapan pun orang Mollo mau makan sambal, mereka tinggal ambil. Dahulu orang-orang menaruhnya di dalam bambu dan digantung di rumah tradisional Ome Kebubu," ujarnya.

Sambal itu pun dijual oleh Lakoat.Kujawas baik secara langsung atau melalui internet.

Dicky mengatakan ada cara memasak yang perlu dilestarikan apa adanya dan ada yang bisa dilakukan dengan pendekatan baru.

Untuk lu'at, pendekatan lamalah yang lebih baik, seperti diceritakan Linda Nau.

"Pengalaman masa kecil saya, orang tua tumbuk saja cabai. Ketika saya pake blender ternyata banyak sambalnya yang rusak, tidak bertahan lama," ujarnya.

Lakoat.Kujawas juga membuat fermentasi buah khas Mollo, lakoat (sejenis plum), dengan sopi Timor Noemuti usia empat bulan.

Minuman itu kemudian dicampur air jeruk, kujawas (jambu biji), bunga rosela, juga daun mint. Hasilnya adalah liquor yang juga jadi andalan komunitas itu.

Selain fermentasi, ada juga metode pengasapan makanan, seperti dalam pembuatan se'i.

Daging itu tidak dibakar, kata Dicky, tapi diletakkan sekitar dua meter dari api.

"Jadi justru matangnya karena asap, bisa dibilang seperti teknik slow cooking, masaknya bisa berjam-jam bahkan setengah hari. Setelah itu daging disimpan, jadi kapan mau dimakan tinggal diambil," ujarnya.

Namun, metode memasak maupun bahan makanan dari zaman leluhur tak semuanya sudah diketahui dan bisa diadaptasi ke kehidupan sekarang.

Pengetahuan itu, kata Dicky, seakan "terputus" karena perubahan zaman.

Maka, ia dan komunitasnya pun berupaya belajar dari warga-warga yang lebih tua di desanya untuk menyelamatkan pengetahuan mengenai pangan.

Setelah itu, Dicky mengatakan, eksperimen dan trial and error pun dilakukan untuk mengolah pangan yang berkualitas dan enak rasanya.

'Seharusnya tak ada gizi buruk, stunting'

Cara-cara memasak seperti itulah yang kerap dibagikan Dicky di media sosial, yang kata Dicky sangat efektif untuk mempromosikan gerakannya

Meski begitu, ia menyadari gerakan yang dibidaninya itu kecil dan baru berdampak bagi komunitas saja.

Menurutnya, perlu peran pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada pangan lokal untuk membuat gerakan ini signifikan.

"Kami sadar bahwa kami tergantung dengan makanan-makanan dari luar. Lewat program ini, kami harap kesadaran untuk memanfaatkan makanan di sekitar bisa tumbuh dan menular ke tetangga, saudara, dan lingkungan yang lebih luas.

"Pada akhirnya bicara tentang makanan di Timor, seharusnya tak ada gizi buruk, stunting karena sumber gizinya sangat banyak dan melimpah. Tinggal bagaimana orang terhubung dengan pengetahuan yang terputus tadi.

"Tugas kami menghubungkan pengetahuan yang terputus tadi," pungkasnya.

Menurut data Kementerian Kesehatan, NTT adalah provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia, yang mencapai 43,82% di tahun 2019.


Garam dari tanaman di Papua

Tak hanya Dicky Senda, di Papua, Charles Toto, pendiri komunitas Jungle Chef juga melakukan pendataan dan penelusuran bahan-bahan masakan yang dikembangkan masyarakat adat. Aktivitasnya juga sering ia unggah di akun media sosialnya.

Charles, di antaranya sudah menemukan sejumlah garam yang bisa diolah dari tanaman, salah satunya pelepah pisang, seperti yang dilakukan warga Lembah Baliem.

Warga merendam pelepah pisang dengan air asin dari Gunung Jayawijaya.

"Ketika direndam, air asin akan terserap ke pelapah pisang, baru kemudian dijemur hingga kering lalu di bakar," kata Charles menjelaskan pembuatan garam hitam itu.

Pembuatan garam semacam itu lah yang diadaptasi Charles dalam masakan-masakannya.

Selain itu, dia juga mendata cara pembuatan garam dari sagu.

"Orang tahunya garam itu dari laut, tapi ternyata dari tanaman juga bisa. Ini adalah teknologi tradisional, tapi lebih modern dari manusia modern," katanya.

Kini ia mengelola Ungkea Jungle Resto, rumah makan yang terletak di tengah hutan sagu di Distrik Waibhu, Kabupaten Jayapura, untuk memperkenalkan makanan-makanan otentik masyarakat adat yang dipelajarinya.

Ia berharap ke depannya warga semakin bisa berdaya dengan bahan-bahan makanan di sekitar mereka dan tak terus bergantung pada pasokan makanan dari luar pulau.

"Kita tidak akan bisa kekurangan pangan dengan menanam. Bahan-bahan makanan, seperti umbi-umbian, perlu dikembangkan. Sagu juga harus diangkat sehingga kita tak tergantung bantuan dari pusat.

"Kita bisa bergerak dari bawah, penuhi kebutuhan kita dari bawah," pungkasnya.


'Fenomena baru'

Lie Tangkepayung, aktivis dan pemerhati lingkungan hidup, mengatakan fenomena mempromosikan makanan lokal melalui media sosial adalah hal yang relatif baru.

"Tentu saja ini merupakan fenomena baru di kalangan anak-anak muda di Timur Indonesia. Rasa bangga akan menu lokal, yang belum banyak diketahui karena belum cukup terpublikasi, mendapatkan kesempatan dan ruang melalui media sosial," ujarnya.

Lie, menambahkan, hal seperti yang dilakukan di NTT maupun di Papua itu bisa mendorong pelestarian pangan lokal.

"Masyarakat kembali mengkonsumsi pangan lokal dan tentu saja akan mendukung pelestarian sumber pangan lokal tersebut," ujar Lie, yang fokus pada masalah lingkungan hidup di Papua itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI