Suara.com - Tim Kemanusiaan untuk Papua menyatakan bahwa pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada September 2020 masuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat. Pembunuhan yang diduga dilakukan oleh oknum TNI itu juga dianggap bukan tindakan acak.
Ketua Tim Kemanusiaan untuk Papua, Haris Azhar mengatakan kesimpulan itu diperoleh dari hasil investasi dari Oktober hingga Desember 2020.
"Apa yang terjadi pada pendeta Yeremia Zanambani adalah peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran HAM yang berat dari sisi peristiwa sebetulnya itu ada pembunuhan lalu juga ada penyiksaan," kata Haris dalam diskusi publik dan peluncuran Laporan Duka Hitadipa secara daring, Senin (7/12/2020).
"Dan juga punya rentetan dengan peristiwa penghilangan orang secara paksa," tambahnya.
Penyiksaan, pembunuhan dan upaya penghilangan orang secara paksa menjadi tiga bentuk tindakan pelanggaran HAM berat sesuai dengan hukum berlaku. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Di dalam pasal tersebut diberikan definisi apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk atau bagian dari pelanggaran HAM yang berat," ujarnya.
Menurut Haris bentuk-bentuk tindakan tersebut menjadi unsur definisi kejahatan dalam kemanusiaan.
"Yaitu pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa, yang mana semua peritiswa tersebut terjadi atau ditemukan di dalam hasil investigasi kami," tuturnya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM juga mengungkapkan laporan investigasi mereka, atas kematian Pendeta Yeremia Zanambani (68) di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 19 September 2020. Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, mengerucut ke satu nama terduga pelaku yakni wakil danramil, Alpius.
Baca Juga: Distribusi Logistik Pilkada Kabupaten Keerom
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan, Pendeta Yeremia disiksa sebelum ditembak dari jarak dekat saat memberi makan ternak babinya di Kampung Bomba.