Suara.com - Harry Sidabuke alias HS selaku tersangka pemberi suap dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan bansos Covid-19 di Kementerian Sosial membantah telah terjaring operasi tangkap tangan atau OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bantahan itu dilontarkan oleh Harry seusai diperiksa oleh penyidik KPK. Harry keluar Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (6/12/2020) sekira pukul 12.30 WIB.
Ketika itu, Harry tak banyak bicara.
Dia yang mengenakan rompi oranye itu hanya menyampaikan pesan bahwa dirinya bukanlah bagian dari orang yang terjaring OTT KPK Sabtu (5/12) dini hari kemarin.
Baca Juga: Mensos Juliari Tersangka Korupsi Bansos, Anak Buah Sri Mulyani: Durjana!
"Enggak ada (yang mau disampaikan). Cuma, tolong di-benarin saya bukan yang kena OTT kemarin," ujar Harry.
KPK sebelumnya mengamankan enam orang dalam OTT terkait kasus dugaan korupsi dana bansos Covid-19 di Kementerian Sosial.
Keenam orang tersebut, yakni Matheus Joko Santoso alias MAS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementrian Sosial, Wan Guntar alias WG selaku Direktur PT Tiga Pilar Agro Utama, Ardian I M alias AIM selaku pihak swasta, Harry Sidabuke alias HS selaku pihak swasta, Shelvy N alias SN selaku Sekretaris di Kementerian Sosial, dan Sanjaya alias SJY selaku pihak swasta. Mereka terjaring OTT KPK di beberapa wilayah di Jakarta pada Sabtu (5/12) sekira pukul 02.00 WIB.
Dalam perkara ini, penyidik KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni tiga selaku penerima dan dua sebagai pemberi suap.
Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara, Matheus Joko Santoso, dan Adi Wahyuno sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan, dua tersangka lainnya selaku pemberi suap, yakni Ardian I M dan Harry Sidabuke.
Baca Juga: Mensos Juliari Jadi Tersangka Korupsi Bansos, PKS: Jokowi Harus Minta Maaf!
Korupsi Bansos Corona
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan perkara tersebut diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.
"JPB (Juliari P Batubara)selaku Menteri Sosial menunjuk MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan," ungkap Firli.
Diduga disepakati adanya "fee" dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
"Untuk "fee" tiap paket bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bansos," tambah Firli.
Selanjutnya Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang diantaranya Ardian IM, Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," ungkap Firli.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima "fee" Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar.
"Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SH (Shelvy N) selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB (Juliari Peter Batubara)," lanjut Firli.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang "fee" dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.
Dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu, 5 Desember di beberapa tempat di Jakarta, petugas KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp 14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar Rp 11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp 2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp 243 juta).