Pemerintah versus Oposisi dalam Pemilu Venezuela

Minggu, 06 Desember 2020 | 12:30 WIB
Pemerintah versus Oposisi dalam Pemilu Venezuela
Pendukung oposisi membawa bendera Venezuela saat mengikuti aksi menentang pemerintahan Presiden Nicolas Maduro di Karakas, Venezuela, Sabtu (2/2/2019). (REUTERS/Adriana Loureiro)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemilu legislatif kembali diadakan di Venezuela. Anak dari Presiden Venezuela Nicolas Maduro Guerra atau Nicolasito  mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Kabar yang sampai ke oposisi ini membuat pihaknya berusaha untuk menjatuhkan dinasti itu.

"Kami datang ke sini untuk menunjukkan wajah kami, untuk mengatakan kebenaran, berjalan dengan Anda sehingga Anda dapat memberi tahu masalah Anda, dan kami dapat menyelesaikannya," teriak kandidat Nicolasto kepada sekitar 500 orang di pantai Karibia di La Guaira seperti yang dirangkum oleh BBC News Indonesia.

"Saya tidak datang ke sini untuk menjanjikan kastil dan rumah mewah, tapi saya berjanji kita akan berhasil melewati ini," imbuhnya.

Terlepas dari hubungan kekayaan keluarganya, Nicolasito kemungkinan akan menang. Dia akan mendapatkan satu dari 277 kursi di Majelis Nasional pada hari Minggu.

Baca Juga: CEK FAKTA: Benarkah Hanya 4 Persen Orang Kaya Menguasai Ekonomi Makassar?

Pertarungan akan menjadi lebih mudah karena oposisi memboikot pemungutan suara.

"Merupakan tugas semua rakyat Venezuela untuk menggunakan hak pilihnya," kata Darwin Quintero pendukung Nicolasto.

Namun, banyak di antara kerumunan itu yang merasa terpaksa harus memilih.

"Saya harus memilih karena saya adalah pegawai pemerintah," kata seorang perempuan yang tak ingin namanya dicantumkan.

Dan bagaimana dengan oposisi?

Baca Juga: Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar Terancam Penjara 1 Tahun

"Tidak ada oposisi di sini, hanya ada Tuhan," katanya Nicolasito.

Kecewa dengan Politik

Hampir dua tahun, setiap harinya jutaan orang di Venezuela harus berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup. Mereka sedang menghadapi inflasi tahunan di atas 5.000% dan sekitar lima juta orang telah meninggalkan negara itu untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih stabil.

Pandemi memperparah masalah di negara itu.

Pada Januari 2019, Juan Guaido ketua Majelis Nasional yang memimpin pihak oposisi mengatakan bahwa dia akan mengakhiri pemerintahan Presiden Maduro Moros.

Dia berjanji memimpin negara itu menuju pemilihan yang bebas dan adil. Merujuk konstitusi yang memungkinkan dia untuk mengambil alih kekuasaan dan membuat banyak negara dengan cepat mendukungnya sebagai pemimpin sah Venezuela.

Puluhan ribu orang pun turun ke jalan untuk mendukungnya. Survei menunjukkan lebih dari 60% responden sepakat dengannya.

Tapi sejak kejadian itu, popularitas Juan Guaido anjlok hingga sekitar 25%. Presiden Maduro masih berada di Istana Miraflores, namun Venezuela tak jalan ke mana-mana, seperti menghadapi jalan buntu.

Guaido tetap bersikeras melakukan apa yang dia bisa, hingga memutuskan untuk mengadakan 'consulta popular' antara 7 dan 12 Desember nanti.

Menurut Guaido ini adalah referendum dengan pertanyaan kepada warga tentang masa depan politik negara.

Akan tetapi, menurut sejarawan Margarita Lopez Maya mengatakan ini merupakan situasi terburuk bagi para pemimpin dan partai politik oposisi sejak masa Hugo Chavez karena tak banyak warga yang terlihat antusias.

Chavez adalah orang yang memulai revolusi Bolivarian.

"Saya akan tinggal di Caracas untuk menentang rezim. Kami tahu tujuan utama Maduro dan kediktatoran adalah untuk memusnahkan alternatif demokratis. Saya dipilih oleh rakyat, lalu oleh parlemen," jelas Guaido.

"Yang penting adalah tujuannya, bukan siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Ini bukan hanya tentang satu orang, ini sebuah gerakan," lanjutnya.

Ditulas ulang dari liputan asli Wartawan Katy Watson,  BBC News, Venezuela.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI