Suara.com - Setidaknya 29 orang istri kepala daerah akan bertarung sebagai peserta pilkada tahun 2020. Jika terpilih, menurut pakar politik, suami mereka akan tetap memegang kekuasaan di daerah itu, walau secara informal.
Anggapan tersebut ditampik sejumlah istri kepala daerah yang namanya bakal tertera pada surat suara di berbagai daerah, 9 Desember mendatang.
BBC News Indonesia merangkum kontroversi ini dari Kabupaten Buru Selatan di Maluku dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dua wilayah di mana istri petahana kini berstatus calon kepala daerah.
- Pilkada: 'Mau coblos tapi tidak tahu kapan dan bagaimana' - dilema pemilih di tengah pandemi
- Pilkada: Cari tahu kandidat terkait dinasti politik di wilayah Anda
- Putra dan menantu Jokowi berniat ikut Pilkada, 'godaan kekuasaan sulit ditepis'
Jika Safitri Malik memenangkan pilkada Buru Selatan tahun ini, sejarah akan mencatat bahwa seluruh ajang pemilihan bupati di kabupaten itu dikuasai sepasang suami-istri.
Baca Juga: Rocky Gerung Nilai Habib Rizieq Bisa Runtuhkan Dinasti Politik Jokowi
Safitri adalah istri Tagop Sudarsono Soulisa. Sejak dibentuk menjadi kabupaten tahun 2008, baru dua kali pilkada digelar di Buru Selatan, yaitu tahun 2010 dan 2015. Tagop memenangkan dua pilkada itu.
Namun pertarungan yang dihadapi Safitri diprediksi tidak akan mudah. Sejumlah warga Buru Selatan mengaku tidak akan memilih Safitri karena kecewa dengan kepemimpinan suaminya dalam satu dekade terakhir.
"Selama 10 tahun ini tidak ada perubahan. Infrastruktur jalan belum maju. Mau periksa ke rumah sakit masih dirujuk ke luar, belum ada tindakan yang baik di RSUD," kata Hawa, warga desa Elfule.
"Saya tidak suka istrinya karena nanti akan sama saja dengan kepemimpinan 10 tahun petahana. Saya ingin ada pemimpin baru," ujar Hawa.
Pendapat serupa diutarakan warga Desa Ambalau bernama Gawi Moni. Menganggap petahana tak membangun kampungnya, Gawi tidak akan mencoblos Safitri pada hari pemungutan suara nanti.
Baca Juga: Dipecat Gegara Tolak Menantu Jokowi, 4 Kader PDIP Korban Dinasti Politik?
"Saya tidak mau lagi, sudah 10 tahun kami merasa sakit," kata Gawi.
"Kalau dia jadi bupati akan begitu-begitu saja. Di Ambalau tidak ada pembangunan, paling kalau ada hanya 50 sampai 100 meter.
"Jalan di Ambalau tidak betul. Kalau ombak datang, kami sudah tidak bisa jalan. Kami dari kampung ke kampung jalan kaki saja, naik gunung, bukan jalan rata," ujarnya.
Meski begitu, Safitri tetap memiliki basis dukungan untuk pilkada ini. Posisi Safitri sebagai satu-satunya calon bupati perempuan menjadi daya tarik yang tak dimiliki pesaingnya.
Hal ini dikatakan Nur Fatimah, warga Kecamatan Namrole.
"Saya memang suka Safitri, mungkin sesama wanita jadi kita bisa saling mengerti," ujarnya.
"Harapan ke depan, tolong lihat dan dengar keluhan pendukung, jangan cuma hanya perhatikan keluarga saja," kata Fatimah.
Menjawab keraguan terhadap kapasitas Safitri, tim suksesnya lantas merujuk pengalaman calon nomor urut tiga itu sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku.
Kedekatan personal Safitri dengan petahana pun, menurut tim suksesnya, Neo Usman Latuwael, akan melancarkan kelanjutan program pemerintahan yang selama ini digagas.
"Beta yakin kalau calon lain yang terpilih, mereka harus bangun pondasi baru, itu menandakan perlu energi yang baru," kata Neo.
"Tapi kalau melanjutkan program, Pak Tagop tahu betul tentang lobi-lobi ke pemerintah pusat, tinggal yang lain dilanjutkan oleh Ibu Safitri Malik.
"Dia layak karena kematangannya selama lima tahun berada di DPRD provinsi. Selaku istri bupati, dia juga bisa tahu mekanisme pemeritahan selama ini," ujar Neo.
Neo pun berusaha menyanggah sejumlah isu, dari soal 'perempuan tidak pantas menjadi pemimpin Buru Selatan' sampai politik dinasti yang berpotensi muncul di kabupaten itu.
"Dari sisi masyarakat dan adat, (masalah) perempuan jadi pemimpin itu omong kosong. Yang bisa dibatasi hanya posisi raja dan imam, tapi kalau pemerintahaan, kenapa harus dibatasi? Tidak ada batasan, tidak ada masalah," kata Neo.
Sementara soal dugaan politik dinasti, dia berkata, "suami memberikan kisi-kisi kepada istrinya tentang arah pembangunan, lobinya seperti apa, bagaimana meraih kesuksesan. Masalah dinasti sampai sekarang tidak dipermasalahkan," tuturnya.
Bagaimanapun, menurut dosen ilmu politik di Universitas Pattimura, Said Lestaluhu, partisipasi istri kepala daerah di pilkada memiliki basis hukum yang sah. Namun dia menilai tren itu sebagai upaya mempertahankan kekuasaan.
Said menyalahkan rekrutmen calon pemimpin via partai politik yang berbiaya mahal. Walau setiap orang berhak maju menjadi kepala daerah, kata dia, hanya yang memiliki modal besar yang akan muncul di surat suara.
"Memang ada kejenuhan di masyarakat melihat pola rekrutmen parpol dieksploitasi para petahana, terutama yang berkuasa dengan modal sosial, ekonomi, dan politik untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Said.
Merujuk penelitian Nagara Institute, sebuah lembaga kajian politik di Jakarta, terdapat 124 calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik pada pilkada 2020.
Dari angka itu, 67 merupakan laki-laki dan 57 perempuan.
Setidaknya 29 dari 57 peserta pilkada perempuan itu merupakan istri kepala daerah yang masih atau pernah menjabat.
Mahkamah Konstitusi lewat putusannya tahun 2015 menyatakan dinasti politik tidak haram. Setelah putusan itu dibuat, menurut perhitungan Nagara Institute, kandidat dengan rekam jejak dinasti politik terus meningkat setiap tahun.
Di Kabupaten Bandung, kursi bupati selama 20 tahun terakhir diduduki dua orang dari satu keluarga yang sama.
Tahun 2000 hingga 2010 kabupaten itu dipimpin Obar Sobarna. Satu dekade berikutnya, menantu Obar, Dadang Naser, yang menjadi bupati.
Pada 9 Desember nanti, istri Dadang, Kurnia Agustina, maju menjadi calon bupati Bandung. Kurnia adalah putri kandung Obar Sobarna.
Hubungan personal Kurnia dengan dua bupati sebelumnya itu dianggap Edieth Carolina, warga Bandung, keunggulan yang tak dimiliki dua kandidat lainnya.
Dia akan mencoblos Kurnia karena yakin politikus Golkar itu akan melanjutkan pemerintahan terdahulu yang dia anggap sukses.
"Dari Pak Obar, terus turun lagi ke Pak Dadang, terus bisa diteruskan Ibu Nia. Yang sudah saya rasakan, khususnya di Rancaekek Kencana, pembangunan maju, bagus, pesat.
"Mudah-mudahan yang belum terlaksana di pemerintahan sebelumnya bisa terlaksana di periode Ibu Nia," kata Edieth.
Namun kekerabatan itu juga yang membuat pemilih bernama Leni Sudarlina berharap Kurnia kalah.
"Bapaknya sudah 10 tahun, mantunya 10 tahun, masa harus dilanjutkan lagi sama anaknya. Calon pemimpin terbaik itu masih banyak. Bandung bukan punya satu keluarga.
"Kita bukan negara kerajaan. Ini kan demokrasi, minimal jangan dari keluarga itu-itu terus," kata Edieth.
Ayah dan suami Kurnia diklaim tak merestui langkahnya menjadi calon bupati Bandung. Ini dikatakan Cecep Suhendar, ketua tim pemenangan Kurnia dalam pilkada ini.
Namun akhirnya, kata Cecep, Kurnia maju karena Golkar menilai popularitas perempuan berusia 47 tahun ini paling tinggi ketimbang kader partai beringin lainnya di Bandung.
"Golkar punya mekanisme sendiri, salah satunya adalah fit and proper test dan survei oleh dewan pimpinan pusat," ujar Cecep.
"Di jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia, Bu Nia mendapatkan nilai tertinggi sehingga Pak Obar dan Pak Dadang dipanggil pimpinan Golkar dan akhirnya memberikan izin.
"Jadi saya kira ini bukan dinasti politik, tapi demokrasi dari kepercayaan masyarakat," kata Cecep.
Cecep juga merujuk pesaing Kurnia di Pilkada Kabupaten Bandung, yaitu Dadang Supriatna, yang keluarganya dia sebut bergantian memimpin Desa Tegalluar.
"Pak Dadang Supriatna pernah jadi kepala desa selama dua periode. Dia habis, diganti kakaknya, Haji Rasmana.
"Haji Rasmana meninggal digantikan isterinya, Bu Ema. Ibu Ema selesai, diganti adiknya. Panjang juga. Jadi menurut saya sampai kapan pun keluarga itu akan menguasai Desa Tegalluar karena berprestasi dalam membangun desa," ujar Cecep.
Kepemimpinan daerah yang berkutat di satu keluarga terjadi karena publik mengutamakan kenyamanan ketimbang hal-hal baru, menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran, Muradi.
Masyarakat Jawa Barat, kata Muradi, cenderung tak mempersoalkan isu dinasti politik. Tak cuma di Bandung, kursi kepala daerah yang berkutat di satu keluarga yang sama juga terjadi di Kabupaten Indramayu.
Salah satu bukti argumennya, kata Muradi, pemilih di Bandung mendaulat Dadang Naser meneruskan kepemimpinan pada pilkada 2015, walau maju dari jalur independen.
"Alasannya nyaman, tidak ada yang lain. Kedua, karena calon lain tidak memberikan alternatif yang lebih baik. Selama tidak keluar dari mainstream yang ada, berat bagi kompetitor untuk menang.
"Sudah Ketua PKK, Ketua KONI, ketua ini, itu, ketua majelis taklim, itu jadi keuntungan buat Nia ketimbang Dadang dan Yena. Walau secara normatif, mereka punya ruang untuk unggul, minimal mencuri kolam pemilih yang lain," kata Muradi.
Lebih dari itu, Muradi menyebut dinasti politik sebagai kegagalan partai politik mengedukasi publik. Karena hanya menyambangi pemilih saat musim pemilihan, partai disebut Muradi kalah langkah dari petahana yang setiap hari berurusan dengan warga lokal.
Jika tren ini terus terjadi di berbagai daerah, Muradi memprediksi regenerasi calon pemimpin di partai politik akan mandek.
"Kalau sudah begitu yang akan diuntungkan pasti yang punya relasi dengan petahana: anaknya, isterinya, menantunya, atau cucunya," kata Muradi.
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tentang Pilkada awalnya mengharuskan calon kepala daerah tidak berkonflik kepentingan dengan petahana. Artinya, mereka tidak boleh berhubungan darah, memiliki ikatan perkawinan atau dari satu garis keturunan yang sama.
Namun MK membatalkan pasal tersebut dengan alasan mengandung muatan diskriminasi. Sejak putusan MK, hingga tahun 2018, terdapat 86 kepala daerah memiliki ikatan darah dengan petahana.
Jumlah itu lebih tinggi, menurut kajian Nagara Institute, dari periode 2004-2014 yang terdapat 59 pemimpin daerah berstatus keluarga sangat dekat dengan pemegang jabatan sebelumnya.
---
Wartawan di Bandung, Yuli Saputra dan jurnalis di Ambon, Said Sotta, berkontribusi pada liputan ini.