Suara.com - Duta Besar Malaysia di Jakarta dipanggil pemerintah Indonesia agar bisa meneruskan kecaman resmi menyusul kasus penyiksaan TKI di negeri jiran tersebut.
Kementerian Luar Negeri RI mengatakan tengah mendorong perundingan kembali nota kesepakatan antara dua negara terkait penempatan buruh migran yang lebih aman.
Kecaman serupa juga disampaikan Koalisi Reformasi Hukum Ketenagakerjaan (LLRC) yang berbasis di Malaysia kepada pemerintah setempat untuk menuntaskan serta menghentikan kasus-kasus kekerasan terhadap buruh migran.
Protes Indonesia disampaikan melalui Dubes Malaysia di Jakarta pada Kamis (03/12), menyusul terungkapnya kasus penyiksaan seorang TKI berinisial MH di Kuala Lumpur, yang diduga disiksa majikannya.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di Malaysia Dekati Angka 70.000
"Kita mengecam berulangnya kembali kasus-kasus penyiksaan terhadap pekerja migran Indonesia khususnya yang ada di sektor domestik," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia dari Kementerian Luar Negeri RI, Yudha Nugraha, kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/12).
Yudha mengatakan, MH saat ini dalam kondisi "stabil dan semakin membaik" dan sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit di Kuala Lumpur.
Kemenlu juga telah menyewa pengacara untuk memantau proses hukum bagi tersangka yang merupakan majikan dari MH.
"Berdasarkan informasi dari Duta Besar Malaysia, pada saat kita panggil, yang bersangkutan dikenakan pasal Undang Undang anti-trafficking," kata Yudha.
MH, 26 tahun, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga diselamatkan, pada Selasa (24/11) dari penyiksaan majikannya.
Baca Juga: Koran Malaysia Beritakan Gubernur DKI Positif Covid-19 Tapi Fotonya Ahok
Berdasarkan keterangan dari BWI-Malaysian Liaison Council (BWI-MLC), pihak berwenang menemukan korban dengan kondisi mengerikan dengan luka di sekujur tubuh.
Selain sayatan pisau di bagian dagu dan telapak tangannya, dia juga mengalami luka bakar di wajah, badan, kaki kiri dan dada.
"Pekerja rumah tangga ini disiksa hampir tiap hari oleh majikan, bahkan ditelantarkan di luar rumah selama delapan hari tanpa diberi makan," kata Direktur Regional BWI, Apolinar Tolentino dalam keterangan persnya.
"Ini hanya salah satu dari banyak contoh kekerasan pekerja rumah tangga yang terjadi di Malaysia," lanjut Apolinar.
Benda-benda yang diyakini digunakan majikan untuk melakukan kekerasan terhadap PRT seperti pisau, tangga kayu, gunting, kursi, tongkat rotan, dan pot telah disita pihak berwenang untuk membantu penyelidikan mereka. Korban saat ini sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Kuala Lumpur.
Koalisi Reformasi Hukum Ketenagakerjaan (LLRC) yang mengambil bagian dari tim advokasi kasus ini telah mengeluarkan pernyataan kepada pemerintah Malaysia untuk memperhatikan kasus kekerasan yang berulang terhadap buruh migran.
"Kita menunggu respon dari kerajaan (pemerintah) Malaysia. Sebab isu seperti ini, bukan satu isu yang luar biasa, senatiasa berlaku (selalu terjadi). Meskipun kita beri beberapa tekanan kepada kerajaan, tetapi kasus ini masih berlaku, ini yang kita tak puas hati," kata Wakil Ketua LLRC, Gopal Kishnam kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/12).
Mengapa kasus penyiksaan TKI di Malaysia terus terjadi?
LLRC mencatat buruh migran yang bekerja di sektor domestik dari sejumlah negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam di Malaysia sebanyak 300.000 orang.
Dari ratusan ribu orang ini, lembaganya kesulitan untuk memantau persoalan ketenagakerjaan di dalam rumah tangga.
"Masalahnya kalau mereka kerja di company (perusahaan), dan mereka semuanya kumpul di suatu tempat, apa-apa kesalahan boleh kita tahu, tapi sebab oleh mereka ini kerja dalam rumah," kata Gopal.
Selain itu, menurutnya proses hukum terkait kasus kekerasan terhadap buruh migran di Malaysia terkesan lambat ditangani. "Masalahnya law enforcement yang mana sangat lambat. Kita buat laporan kepada polisi, mereka ini lambat banget," lanjut Gopal.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan Malaysia menjadi negara nomor satu yang sering mendapat laporan dari buruh migran Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Laporannya terkait dengan persoalan upah tak dibayar, pemalsuan dokumen, perdagangan orang, ingin dipulangkan, pelecehan seksual hingga tindak kekerasan dari majikan.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia dari Kementerian Luar Negeri RI, Yudha Nugraha ,mengatakan pengawasan buruh migran Indonesia di luar negeri, termasuk tanggung jawab dari perusahaan penempatan pekerja migran (P3MI).
P3MI, kata Yudha, harus terus menerus memantau buruh yang mereka kirim ke luar negeri.
"Ini bukan mengirimkan barang, ini mengirimkan manusia. Jadi ketika sudah selesai dikirim, bukan lantas tidak dimonitor, itu tetap tanggung jawab P3MI untuk selalu memonitor," katanya.
Momentum Memperbarui Nota Kesepakatan
Di sisi lain, Kemenlu juga menjadikan momentum kasus MH sebagai peringatan mengenai pentingnya membangun koridor aman untuk migrasi pekerja migran dari Indonesia ke Malaysia.
Indonesia dan Malaysia telah memiliki Nota Kesepakatan (MoU) mengenai penempatan buruh migran sektor domestik, namun sudah kadaluarsa pada 2016. MoU ini berisi tentang teknis perlindungan buruh migran di Indonesia.
"Ini menjadi urgensi Indonesia mendorong agar segera dilakukan percepatan proses negosiasi, agar segera dapat disepakati MoU yang baru mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran kita," kata Yudha.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menilai kasus kekerasan terhadap buruh migran sektor domestik di Malaysia terus terjadi karena negara tersebut belum menandatangi ratifikasi Konvensi Pekerja Migran.
Menurut Anis, hal ini yang membuat aturan-aturan ketenagakerjaan tidak berpihak kepada buruh migran.
"Dari sisi itu komitmennya terhadap perlindungan pekerja asing itu memang masih dipertanyakan," kata Anis.
Selain segera mendorong MoU baru dengan Malaysia, Anis juga meminta pemerintah Indonesia memberikan perlindungan dan perawatan trauma kepada korban. Sebab, kata dia, proses persidangan nanti juga sangat tergantung dari mental dan kesiapan korban untuk bersaksi di persidangan.
"Karena semua korban punya kondisi berbeda dalam menghadapi proses hukum. Ada yang siap ada yang mereka traumatik, tidak siap. Ini yang harus dipersiapkan pemerintah untuk kesaksiannya, menjadi alat bukti (di persidangan) yang sginifikan," kata Anis.
Sebelum kasus MH, juga terdapat kasus penyiksaan TKI Adelina Lisau di Penang hingga meninggal pada 2018.
Pelakunya dibebaskan pengadilan, akan tetapi proses hukumnya masih berjalan di tingkat banding di Mahkamah Persekutuan.
Dalam kasus penyiksaan lainnya, yaitu TKI Suyanti Sutrisno, pelakunya, Datin Rozita, akhirnya kembali dijerat dalam penjara.