Suara.com - Eks Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dihadirkan sebagai saksi dalam perkara penghapusan red notice atas terdakwa Djoko Tjandra, Kamis (3/12/2020).
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, dia mengaku sempat mengirimkan surat ke Kejaksaan Agung pada 14 April 2020.
Surat tersebut dilayangkan guna mengetahui apakah red notice Djoko Tjandra -- yang saat itu masih buron -- masih dibutuhkan oleh Korps Adhyaksa atau tidak. Tak lama, pihak Kejaksaan Agung membalas surat tersebut pada 21 April 2020.
"Bahwa Kejagung masih membutuhkan subjek red notice tersebut (Joko Tjandara) untuk menjadi daftar red notice," kata Slamet Wibowo di ruang sidang.
Jaksa penuntut umum (JPU) lantas bertanya kepada Slamet, terkait sifat surat yang dikirim Kejaksaan Agung. Karena Slamet mengaku tidak ingat, JPU lantas mengingatkan jika surat tersebut sifatnya sangat rahasia dan sangat segera.
"Apakah kemudian dengan adanya surat dari Kejaksaan Agung tanggal 21 April 2020 yang bersifat sangat rahasia dan sangat segera, apakah kemudian Divhubinter menindaklanjuti surat tersebut?" tanya Jaksa Bima Suprayoga.
"Betul," jawab Slamet, singkat.
Slamet melanjutkan, bentuk tindak lanjut tersebut adalah balasan dari Polri yang meminta agar Kejaksaan Agung mengajukan permohonan pengajuan penerbitan red notice. Hanya saja, balasan surat itu baru dilakukan oleh Polri pada bulan Juni 2020.
Hakim ketua Muhammad Damis lantas bertanya kepada Slamet, mengapa surat dari Kejaksaan Agung tidak segera dibalas.
Baca Juga: Urus Status DPO di Interpol, Djoko Tjandra Curhat Bayar Uang Rp 10 Miliar
Slamet mengakui surat tersebut tak langsung dibalas lantaran Divisi Hubungan Internasional Polri tengah berencana menjemput Maria Pauline Lumowa -- buronan pembobolan kas Bank Negara Indonesia cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.