Suara.com - Pilkada 2020 merupakan pemilihan politik pertama di Indonesia yang digelar pada masa pandemi. Di tengah situasi ini, para kandidat menghadapi dilema: menciptakan kerumunan massa guna meraih dukungan namun berisiko membuat klaster penyebaran Covid-19 atau kehilangan potensi suara.
Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, para kandidat kepala daerah meyakini kampanye tatap muka lebih efektif meskipun tidak meninggalkan kampanye daring.
- Pilkada: 'Mau coblos tapi tidak tahu kapan dan bagaimana' - dilema pemilih di tengah pandemi
- Pemerintah diminta ‘konsisten’ pidanakan warga yang membuat kerumunan massa
- Pilkada 2020: Masa kampanye dimulai, cara tatap muka tetap dinilai 'paling efektif'
Badan Pengawas Pemilu mencatat pelanggaran protokol kesehatan dalam pilkada sebanyak 373 kasus pada periode 15-24 November. Namun, sanksinya sebatas administrasi: diberi peringatan hingga pembubaran.
Dari hal ini, harus ada harga yang dibayar. Ahli epidemiologi mengatakan pilkada yang berlangsung di 270 daerah di seluruh Indonesia kemungkinan akan membebani daerah dengan peningkatan kasus Covid-19.
Awan hitam menggelayut di langit Lantebung, di pesisir utara Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di kediamannya, Raba Ali, 63 tahun, menatap seng-seng atap rumahnya yang sudah bolong dan berkarat. "Ini bocor kalau hujan sudah datang," katanya saat ditemui wartawan BBC News Indonesia, Muhammad Irham, pertengahan November lalu.
Ali tinggal bersama istrinya, Masita, 71 tahun, di area kampung nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sepasang lansia ini mengandalkan pemberian anaknya yang bekerja sebagai tukang air keliling.
"Tiap minggu, biasa kasih Rp30.000, biasa juga kurang. Ndak cukup itu. Tapi biasanya keponakanku biasa kasih tambah-tambah. Kasih beras," kata Masita.
Dengan uang sebesar itu, terkadang mereka tidak makan sampai dua hari.
"Iya, biasa ku tak makan. Kusembunyi. Saya juga malu kalau sering dikasih. Lemas, gemetar kita punya badan. Banyak itu yang dirasa," kata Mustiah.
Ali dan Mustiah adalah potret kehidupan masyarakat pinggiran Kota Makassar. Setengah abad mengalami perubahan politik, pergantian kepala daerah, tapi mereka meyakini kehidupan makin sulit.
Setiap musim pemilu kepala daerah tiba, Ali mengaku biasa dikunjungi tim kampanye beberapa hari menjelang pemungutan suara, dengan pembagian uang dan barang-barang kebutuhan lainnya.
Ali menuturkan pengalamannya saat pilkada gubernur Sulawesi Selatan 2018 lalu. "Biasa didatangi. Ini sarung pemberian pilkada. Lama ini. Kalau tak salah ini (pilkada) gubernur," kata Ali sambil mengangkat kain sarungnya.
Lewat kampanye tatap muka, Ali mengaku lebih bisa mengenali wajah calon-calon kepala daerahnya.
Mantan nelayan dan isterinya itu mengatakan akan menerima semua pemberian dari calon kepala daerah. Tapi ketika sudah masuk ke dalam tempat pemungutan suara, maka Ali mengutarakan "batin yang menentukan".
Namun, beberapa pekan menjelang pemungutan suara wali kota Makassar 9 Desember mendatang, Ali mengaku belum ada satu pun tim kampanye kandidat yang datang ke rumahnya. "Belum ada. Tidak perlu saya bohong. Tidak ada," katanya.
Sejauh ini, Ali dan Mustiah belum menentukan pilihan. Bahkan masih pikir-pikir untuk datang ke TPS di tengah pandemi virus corona. "Belum tahu," katanya.
Warga Lantembung lainnya, Zaenal, 33 tahun, mengaku tidak begitu kenal dengan empat calon wali kota Makassar yang akan bersaing nanti. "Kalau secara keseluruhan tidak terlalu hapal," katanya.
Korban PHK di masa pandemi ini mengenali wajah-wajah calon wali kota Makassar lewat media sosial, saat acara debat. Tapi untuk visi dan misi, dia mengaku "tidak terlalu paham."
Zaenal berniat menggunakan hak pilihnya nanti. Tapi masih belum menjatuhkan pilihan dari para kandidat yang berlaga.
- Instruksi Mendagri soal penegakan protokol kesehatan disebut politis, Kemendagri: 'Itu hasil evaluasi pilkada serentak'
- Tahapan Pilkada tetap dilaksanakan meski dikritik banyak pihak, Nahdlatul Ulama: 'Nyawa harus diprioritaskan'
Lesunya partisipasi publik di pilkada 2020
Di pusat Kota Makassar, sejumlah warga mengaku lebih mengenal calon wali kota Makassar lewat baliho di jalan-jalan, dan kehadiran mereka langsung ke rumah-rumah warga, meskipun sebagian menyarankan agar kampanye dilakukan secara daring untuk menekan penyebaran virus corona.
"Karena masih pandemi, dan memang masih diterapkan social distancing, lebih bagus online saja dulu, biar covid-nya juga tidak menyebar, dari pada offline terjadi kerumunan," kata Yusma Indah, seorang mahasiswi.
Di tempat terpisah, warga Kota Makassar lainnya, Badariani, 30 tahun, menggambarkan kekhawatirannya tentang kerumunan yang akan terjadi saat pemungutan suara berlangsung.
"Khawatir itu kan namanya Pilkada sebelum-sebelumnya kan pasti banyak kerumunan, tapi sekarang lagi ada pandemi, takutnya kerumunan dibatasi, nantinya ada bentrok atau proses pilkada kurang (maksimal), tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Badariani.
Kegelisahan, ketidaktahuan, keragu-raguan dan kecemasan warga Makassar terkait pilkada di tengah pandemi Covid-19 menjadi sekelumit gambaran partisipasi masyarakat dalam pilkada.
Sejumlah lembaga survei meneropong akan terjadi penurunan tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak suaranya dalam Pilkada serentak 2020.
Seperti digambarkan survei Charta Politica yang dilakukan awal 6-12 Juli 2020, menunjukkan hanya 34,9% yang akan datang ke TPS, yang tidak datang ke TPS sebesar 10,2% dan yang tidak menjawab atau tidak tahu sebesar 55%.
Jajak pendapat serupa juga dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia. Dari jajak pendapat yang dilakukan 24-30 September 2020, menunjukkan hanya 43,9% masyarakat yang kemungkinan besar datang ke TPS. Sisanya menyatakan sangat kecil dan kecil kemungkinan untuk datang ke TPS.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khairunnisa Nur Agustiyati, menilai sejumlah hasil jajak pendapat ini menunjukkan pilkada bukanlah prioritas masyarakat.
"Karena ada pandemi ini, pilkada akhirnya bukan menjadi prioritasnya masyarakat, yang jadi prioritas itu ya soal kesehatan, soal ekonomi, soal pendidikan, jadi, ya masyarakat merasa pilkada itu nomor sekian sekarang," kata Nisa - sapaan Khairunnisa Nur Agustiyati kepada BBC News Indonesia, Selasa (2/12).
Pada pilkada serentak 2015 tercatat tingkat partisipasi masyarakat sebesar 69,14%, dan pilkada serentak 2017 naik menjadi 73,25%. Di tengah pandemi, KPU menargetkan partisipasi Pilkada 2020 sebesar 77,5%.
Namun, target ini dinilai terlalu ambisius karena menurut Nisa, ada kekhawatiran masyarakat terkait protokol kesehatan yang diabaikan oleh peserta dan penyelenggara pemilu. "Nanti kalau berpartisipasi, datang ke TPS tertular virus atau nggak. Karena di TPS kan itu ada maksimal 500 orang. Bisa ada penumpukan massa, nanti aman atau tidak. Itu beberapa hal yang membuat partisipasi masyarakat bisa menurun," katanya.
Seperti apa strategi para kandidat?
Pemilihan wali kota Makassar adalah satu dari 270 hajatan demokrasi daerah di tengah pandemi Covid-19.
Empat pasangan calon yang akan berlaga yaitu Mohammad Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi (Danny-Fatma), Irman Yasin Limpo-Andi Zunnun Nurdin Halid (IMUN), Syamsu Rizal-Fadli Ananda (DILAN), dan Munafri Arifuddin-Abdul Rahman Bando (Appi-Rahman).
Berbeda dari pilkada yang lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menempatkan Pilwakot Makassar di urutan ketiga pemilu daerah terpanas dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 74,94 setelah Pilkada Kabupaten Manokwari, Papua Barat (80,89) dan Pilkada Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (78,01).
Berdasarkan catatan Bawaslu, wilayah-wilayah yang ditempatkan pada 'level 6' ini memiliki kerawanan pelanggaran pemilu seperti intimidasi, perusakan fasilitas publik, unjuk rasa, bias penyelenggara pemilu, politik uang, konflik kerekasan antar pedukung, hingga posisi ASN/Polri/TNI yang berpihak pada pasangan calon tertentu.
Di tengah proyeksi menurunnya tingkat partisipasi publik dan kerasnya persaingan, empat pasangan calon wali kota Makassar harus berpikir keras dalam mendulang suara. Hal ini karena cara kampanye di saat pandemi berbeda dengan pilkada sebelum-sebelumnya.
Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) No.13/2020, para kandidat didorong untuk berkampanye secara daring, tapi jika terpaksa melakukan tatap muka harus mengikuti protokol kesehatan.
Pertemuan tatap muka dibatasi maksimal 50 orang dengan ketentuan penjaga jarak satu meter. Selain itu, seluruh peserta yang hadir wajib menggunakan masker, dan penyelenggara acara menyediakan sarana sanitasi.
Calon wali kota Makassar, Munafri Arifuddin, melakukan kombinasi kampanye daring dengan tatap muka. Caranya, tim kampanye nomor urut 2 ini menyediakan perangkat panggilan video di sejumlah titik kumpul warga. Dari situ, warga yang sudah berkumpul bisa mendengarkan kampanye.
"Sarana dan prasarananya memang harus kami siapkan, seperti screen-nya, projector-nya, speaker-nya. Ini yang kami buat, supaya kami mampu menyerap atau mendekati pemilih kami di masa pandemi ini," kata Appi-sapaan Munafri Arifuddin saat ditemui BBC News Indonesia di Menara Bosowa.
Namun, kampanye tatap muka juga tetap dilakukan. "Bahwa kita turun kampanye offline iya, tetap jalan, sampai 7-8 titik per hari."
Sementara itu, calon wali kota nomor urut 1, Mohammad Ramdhan Pomanto juga menggunakan kampanye daring sekaligus tatap muka. Namun, kata Danny Pomanto—sapaan Mohammad Ramdhan Pomanto, "Kampanye offline sentuh hati, orang perlu tatap muka... Orang perlu sentuh tangan."
Saat ditemui, Danny sedang berkampanye tatap muka dengan warga. Saat berjalan kaki di perkampungan, ia dikelilingi para pendukungnya. Tantangannya adalah menghindari kerumunan dari para pendukung saat itu.
"Semua orang mau ketemu, padahal waktu sudah sempit, dan kami cuma dua orang. Jadi nggak bisa berbagi. Karena orang tetap mau bertemu, mau tetap foto bersama. Foto secara online itu tidak afdal. Sehingga orang mau berfoto langsung," kata Danny.
Calon petahana ini juga menggunakan jaket berbahan antiair yang ia yakini bisa menekan risiko penyebaran Covid-19 saat berkampanye tatap muka. "Sehingga kami sengaja, membuat jaket seperti ini. Jaket ini kan sebenarnya waterproof [antiair], sehingga sentuhan itu tidak menyebabkan.. lebih hygiene [higienis] lah," katanya.
Di tempat terpisah, calon wali kota Makassar nomor 3, Syamsu Rizal secara lugas mengaku kampanye tatap muka lebih efektif dibandingkan daring. "Karena ada human touch di situ," katanya saat ditemui BBC News Indonesia di salah satu posko pemenangannya di Makassar.
"Karena sekarang ini belum IT minded semua orang. Masyarakat menengah ke bawah itu mengedepankan sentuhan-sentuhan yang sifatnya personal. Mereka bisa bertatap muka melihat langsung, sekaligus membangun komitmen-komitmen secara langsung," kata Deng Ical—sapaan Syamsu Rizal.
Strategi yang digunakan untuk penerapan protokol kesehatan, Deng Ical mengatakan tim-nya akan datang terlebih dahulu ke lapangan untuk mensosialisasikannya.
"Ada tim advance yang mengurus duluan, yang memberi edukasi duluan, terutama meminta tolong jangan sampai ada anak-anak yang masuk di area kampanye, tolong supaya tidak lebih dari 50 orang," katanya.
Sementara itu, calon wali kota Makassar nomor urut 4, Irman Yasin Limpo, mengaku dilematis dengan aturan kampanye pilkada di tengah pandemi. "Secara personal was-was juga terhadap Covid. Kedua, kita juga cemas kita sebagai carrier bagi masyarakat. Demikian pula sebaliknya," katanya.
Irman mengaku sudah melakukan langkah-langkah pencegahan penyebaran Covid-19 saat kampanye terbuka tapi "kadang-kadang fakta di lapangan, hal itu terabaikan."
"Kita juga tidak mungkin mengusir banyak masyarakat yang mau ketemu kita. Kita juga agak segan menolak berjabat tangan. Kultur Bugis-Makassar, berjabat tangan itu silaturahmi erat, tiba-tiba kita tolak, itu merugikan bagi calon," kata Irman.
"Protokol Kesehatan kita sudah tegakkan 50 orang. Tapi yang berkumpul datang. Siapa yang disalahkan? Pasti calon yang disalahkan. Padahal seberapa besar kemampuan calon untuk sadar diri. Dia butuh voters. Dia butuh simpati," lanjut Irman.
- Pilkada 2020: Ratusan dugaan pelanggaran protokol kesehatan, 'evaluasi total atau ditunda'
- Bagaimana kesiapan Indonesia menjalankan sistem elektronik rekapitulasi untuk Pilkada di tengah pandemi Covid-19?
- Mendagri 'tegur keras' 51 kepala daerah terkait pendaftaran calon pilkada yang 'tidak mematuhi protokol kesehatan'
Bagaimana penegakan hukum protokol kesehatan di masa pilkada?
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat pelanggaran protokol kesehatan sebanyak 373 kasus pada periode 15-24 November. Pelanggaran protokol kesehatan tersebut langsung diberikan peringatan kepada peserta yang melanggar.
"Bawaslu menerbitkan sebanyak 328 surat peringatan dan melakukan pembubaran terhadap 39 kegiatan. Pembubaran dilakukan oleh Bawaslu dan bekerja sama dengan Satpol PP maupun kepolisian," kata Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin dalam keterangan kepada media, Kamis (26/11).
Khusus di Kota Makassar, dugaan pelanggaran terkait protokol kesehatan hanya terdapat 1 kasus. Menurut Ketua Bawaslu Sulawesi Selatan, Laode Arumahi, pihaknya tak bisa memberikan sanksi ketika terjadi kerumunan di luar area kampanye, misalnya saat kandidat berjalan kaki berkeliling kampung.
"Ketika mereka masih di luar, itu Bawaslu tidak bisa masuk ke sana, yang kita awasi adalah kampanyenya," kata Arumahi saat ditemui BBC News Indonesia di kantornya.
Menurutnya itu menjadi tanggung jawab Kepolisian dan Satpol PP untuk memproses secara hukum pelanggaran protokol kesehatan. "Bisa polisi bisa Satpol PP, karena Covid ini diatur juga di Perda dan Pergub," kata Arumahi.
"Jangan samakan kasusnya. Ini kan ceritanya sekarang masalah apa, pentahapan (pendaftaran pilkada). Itu kan urusannya pilkada, ada siapa pengawasnya, (Bawaslu) iya. Jadi prosesnya kan ada, undang-undangnya kan ada, peraturan kan ada," kata Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono.
Berdasarkan UU Karantina Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular, siapa pun yang menghalangi upaya penanggulangan suatu wabah diancam pidana enam bulan hingga satu tahun penjara.
Akan ada harga yang harus dibayar
Menurut pengamatan Ketua Tim Konsultan Satgas Penanganan Covid-19 Sulsel, Prof Ridwan Amiruddin, seluruh kandidat telah melanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada di wilayahnya termasuk Makassar.
"Dari sisi pelanggaran protokol, sebenarnya semua melanggar. Karena ada batasnya, tidak boleh terjadi kerumunan. Bahkan, tidak boleh lebih dari 5 orang pada saat terjadi debat, nah itu tak bisa dihindarkan, kadang mereka lebih 10 - 20 orang," kata Prof Ridwan saat ditemui di kantornya.
Kasus Covid-19 di Sulawesi Selatan berada di urutan nomor 5 se-Indonesia. Dengan jumlah kasus per 30 November 2020 sebanyak 20.657 kasus terkonfirmasi. Sementara yang masih aktif tercatat 1654 kasus dengan total jumlah meninggal 494 kasus.
Makassar menjadi penyumbang setengah dari kasus di seluruh Sulawesi Selatan dengan total terkonfirmasi 10.438 kasus.
Berdasarkan catatan dari Satgas Penanganan Covid-19 Sulsel, terdapat 25% kasus yang berasal dari kluster keluarga dan sedang menjalani isolasi mandiri. Keberadaan orang dengan Covid-19 ini tak bisa dipantau selama masa pilkada.
"Itu akan jadi pemicu di daerah, kemudian dia ikut kampanye, dia ikut sosialisasi dengan lepasnya mereka di masyarakat, kasus ini akan meledak," kata Prof Ridwan.
Sejauh ini, pakar epidemiologi dari Universitas Hasanuddin ini mengaku belum melihat peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan disumbang dari tahapan pilkada. Namun, melihat kondisi di lapangan terkait dengan kampanye tatap muka, ia khawatir ini akan menjadi beban daerahnya.
"Kalau penularan yang tinggi terjadi di 12 kabupaten, itu artinya kasus kami akan meledak. Kalau kasus kasus kami meledak, itu artinya beban untuk Sulawesi Selatan," katanya.