Suara.com - Deklarasi pemerintahan sementara Papua Barat - yang mencakup Papua dan Papua Barat - oleh Gerakan Pembebasan, ULMWP dianggap 'tidak memiliki legimitasi' oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua, TPNPB-OPM.
Kendati begitu, keduanya menentang otonomi khusus kedua yang diklaim pemerintah Indonesia akan mempercepat pembangunan Papua.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TNPBP-OPM) - sayap militer OPM yang berulang kali melakukan kontak senjata dengan militer Indonesia - tidak mengakui klaim ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua - ULMWP) Benny Wenda sebagai presiden sementara Papua Barat.
Langkah Benny Wenda dianggap justru "tidak akan menguntungkan keinginan rakyat Papua untuk merdeka secara penuh" dari Indonesia.
Baca Juga: Benny Wenda Bikin Negara dalam Negara: Apakah Dia Berwenang?
Benny Wenda mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Papua Barat pada Selasa (01/12), bertepatan dengan momen yang diyakini sejumlah kalangan sebagai hari kemerdekaan Papua.
- PBB soroti kasus-kasus HAM di Papua, Pemerintah RI: 'penanganan tertunda karena pandemi Covid-19'
- Mengapa ratusan akun 'palsu' berbahasa Belanda muncul mendukung Otsus Papua?
- TPNPB-OPM bantah klaim tiga kelompok bersenjata di Papua Barat telah bersatu
Dia menegaskan pihaknya "tak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta" dan "mulai menerapkan konstitusi dan mengklaim tanah kedaulatan" Papua Barat.
Namun, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mempertanyakan dasar legimitasi ULMWP membentuk pemerintah sementara.
Sementara Kantor Staf Presiden menegaskan kembali bahwa pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan kesejahteraan untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua, melalui otonomi khusus yang dianggap sebagai "jalan tengah" penyelesaian masalah Papua.
Akan tetapi, kelanjutan otonomi khusus yang sudah berlangsung selama dua dekade itu ditentang oleh gerakan pro-kemerdekaan dan sejumlah warga Papua.
Baca Juga: Jangan Terprovokasi Benny Wenda, Polri: Papua - Papua Barat di Bawah NKRI
"Sudah saatnya negara Indonesia pergi"
ULMWP, gerakan prokemerdekaan Papua yang mengkoordinir langkah-langkah politik di luar negeri, mendeklarasikan pemerintahan sementara Papua Barat, yang bertujuan untuk memobilisasi rakyat Papua Barat untuk mencapai referendum kemerdekaan.
Ketua ULMWP Benny Wenda menyebut pembentukan pemerintahan sementara ini adalah "satu-satunya jalan menuju kebebasan".
"Kami siap untuk mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami," ujar Benny Wenda dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia.
Benny Wenda, yang dalam pengasingan di Inggris, akan berperan sebagai presiden pemerintahan sementara Papua Barat. Sementara kabinet akan diumumkan dalam beberapa bulan mendatang.
"Kami memiliki konstitusi kami sendiri, hukum kami sendiri, dan pemerintahan kami sendiri sekarang. Sudah saatnya negara Indonesia pergi," tegas Benny Wenda, seraya menegaskan pihaknya menolak perpanjangan otonomi khusus di Papua.
ULMWP mengklaim pemerintahan sementara tersebut didukung oleh semua kelompok pro-kemerdekaan yang mewakili mayoritas rakyat.
Akan tetapi, sayap militer organisasi Papua merdeka, TPNPB-OPM, menolak klaim Benny Wenda atas pemerintahan sementara Papua Barat.
Mosi tidak percaya kepada Benny Wenda
"TPNPB tidak akui klaim Benny Wenda, karena Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi," ujar juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom.
"TPNPB-OPM juga tidak bisa akui klaim Benny Wenda, karena Benny Wenda adalah warga negara Inggris dan menurut hukum international bahwa warga negara asing tidak bisa menjadi presiden republik Papua Barat," tegasnya.
Ia justru beranggapan klaim Benny Wenda tidak akan menguntungkan keinginan warga Papua untuk merdeka penuh dari apa yang disebutnya sebagai "pemerintah kolonial Indonesia". Maka dari itu, pihaknya mengumumkan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda.
"Jelas-jelas Benny Wenda merusak persatuan dalam perjuangan bangsa Papua," ujar Sebby, seraya menambahkan "hal ini pertentangan dengan prinsip-prinsip revolusi untuk kemerdekaan bagi bangsa Papua."
Ketika dikonfrontir terkait penolakan TPNPB-OPM atas klaim Benny Wenda, ULMWP enggan berkomentar.
"Tidak mendapat dukungan penuh"
Peneliti Tim Kajian Papua pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rosita Dewi menjelaskan bahwa pemerintahan sementara Papua Barat ini merupakan kampanye ULMWP di luar negeri, namun dia memandang itu tak akan berdampak banyak dengan apa yang terjadi di Papua.
"Keberadapan ULMWP, Benny Wenda sebagai ketua ULMWP tidak diakui secara penuh juga di Papua, tidak mendapat dukungan penuh. Apalagi gerakan bersenjata seperti OPM jelas tidak mendukung keberadaan gerakan ini."
"Ini juga tidak akan berdampak besar pernyataannya Benny Wenda terkait dengan dia mendeklarasikan diri sebagai presiden," ujar Rosita.
Lebih jauh Rosita menegaskan bahwa kendati banyak organisasi di Papua yang sama-sama mendukung kemerdekaan Papua, namun memiliki jalan yang berbeda-beda.
"Banyak sekali faksi-faksi, organisasi-organsiasi pro-merdeka. Itu juga yang kemudian belum tentu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Benny Wenda," cetusnya.
OPM mengklaim sebagai kelompok pro-kemerdakaan Papua tertua, yang didirikan pada 1965 untuk memisahkan diri dari Indonesia yang menguasai Papua sejak 1963.
Sementara itu, ULMWP dibentuk pada 2014 untuk menyatukan tiga gerakan pro-kemerdekaan Papua, yakni Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat melalui Deklarasi Saralana.
Apa sikap pemerintah Indonesia?
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, membantah legitimasi Wenda dan langkah ULMWP untuk membentuk pemerintahan sementara.
Sementara, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Kedeputian V bidang Politik, Hukum dan Pertahanan Keamanan, dan HAM, Laus Deo Calvin Rumayom, menegaskan bahwa otonomi khusus (otsus) sebagai 'jalan tengah' penyelesaian masalah Papua.
"Kami di KSP fokus pada persoalan pembangunan yang mandek," kata Laus.
"Isu utama di Papua adalah isu pembangunan dan bagaimana kita bisa melakukan percepatan sehingga kita keluar dari ketertinggalan yang selama ini dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat kita di Papua dan Papua Barat, terkait dengan prioritas-prioritas pembangunan yang ada di otsus, yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, infrastruktur dan lain-lain," jelas Laus kemudian.
Lebih lanjut, Laus menjelaskan selama dua puluh tahun penerapan otsus sejak 2001 silam "masih ada banyak kekurangan yang dibenahi" dengan "pendekatan antropologis dan kesejahteraan".
"Tentu otsus harus dievaluasi dari sisi keuangan dan kewenangan, yang belum secara maksimal terakomodir dalam undang-undang Otsus. Perbaikan itu akan dilakukan secara bertahap," kata dia.
Sejak tahun 2002 hingga 2020 ini, Papua dan Papua Barat telah memperoleh dana otonomi khusus (otsus) yang jumlahnya mencapai sekitar Rp94 triliun.
Tiap tahunnya, dana yang diperoleh kedua provinsi itu pun meningkat. Pada 2021, pemerintah menganggarkan Rp7,8 triliun untuk dua provinsi itu, meningkat 3,3% dari tahun 2020.
Di sisi lain, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otsus secara keseluruhan diperlukan, tak hanya soal dana.
Pasalnya, kata Timotius, banyak hal yang diatur dalam otsus yang hingga saat ini belum terlaksana.
Beberapa di antaranya adalah mengenai pembentukan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, hingga Komisi Hukum Ad Hoc.
Akan tetapi, gelombang penolakan otsus hingga kini masih terjadi.
Meski berbeda pandangan terkait pemerintahan sementara Papua Barat, kedua organisasi pro-kemerdekaan Papua, ULMWP dan TPNPB-OPM sepakat menentang otsus.
"Kami menolak perpanjangan 'Otonomi Khusus' dari Jakarta bersama dengan para pemimpin gereja Protestan dan Katolik, kelompok masyarakat, dan 102 organisasi yang mendukung petisi massa menentang pembaruannya," ujar ketua ULMWP Benny Wenda dalam keterangan tertulis.
Sementara juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom menegaskan ada atau tidak ada otonomi khusus, "tidak ada pengaruh sama sekali pada perjuangan" demi kemerdekaan Papua.
"Itu kan program pemerintah Indonesia, tidak ada pengaruh sama sekali," kata dia.
"Itu Indonesia yang kasih, itu gula-gula manis," cetusnya.
Sementara, pegiat HAM Papua, Yan Christian Warinussy memandang apapun kebijakan dan langkah politik yang dilakukan terkait Papua, semestinya "membawa dampak yang positif bagi pemenuhan hak asasi rakyat Papua"
"Karena mereka selalu menjadi korban dari kepentingan dua kelompok ini, kelompok pemerintah Indonesia dan kelompok perlawanan, termasuk yang diwadahi oleh ULMWP itu sendiri," ujarnya.