Suara.com - Desa Lemban Tongoa yang berada di lembah Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menjadi perhatian dunia sejak Jumat 28 November 2020. Di desa yang bersebelahan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) itulah kelompok Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora membunuh empat warga.
Untuk mencapai desa tersebut, diperlukan waktu sekitar dua jam berkendara dari Kota Palu melalui jalur tanjakan yang curam dan berbatu, serta sisi jurang yang dalam. Akses kendaraan masuk ke dalam Desa Lemban Tongoa hanya bisa dilalui satu jalan akses kendaraan bermotor.
- Pasukan khusus TNI buru Ali Kalora pimpinan MIT, pengamat sarankan pakai strategi baru
- Polisi duga teroris MIT tewaskan satu keluarga di Sigi- Operasi Tinombala kembali dipertanyakan
- Ada Operasi Tinombala, mengapa kelompok teroris di Poso 'sulit' diberantas?
- Siapa Ali Kalora, pemimpin kelompok radikal Poso, yang 'tidak diperhitungkan'
Pemantauan wartawan Eddy Junaedy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Desa Lemban Tongoa sangat sepi setelah kejadian tragis tersebut.
Beberapa personel kepolisian tampak sesekali melintas untuk berpatroli menggunakan sepeda motor.
Baca Juga: Harap Tetap Tenang, Jangan Terpancing Penyerangan di Desa Lemban Tongoa
"Kami lebih memilih tinggal di dalam rumah. Kami masih merasa takut untuk keluar rumah setelah kejadian Jumat lalu," ungkap Deni, seorang warga Desa Lemban Tongoa yang sejak lahir sudah menetap di desa itu, pada Senin (30/11).
Di dalam rumah, warga tidak banyak kegiatan. Di wilayah tersebut tidak tersedia jaringan internet. Pun untuk menelpon, warga harus mencari tempat yang agak tinggi.
Tidak bisa pergi jauh
Pada Selasa (01/12) pagi, warga mulai berkegiatan. Dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki, mereka menuju ke kebun atau ke sawah.
Akan tetapi, lokasi kebun atau sawah yang dituju relatif dekat.
"Kami hanya bisa ke kebun dekat kampung," ucap seorang petani yang enggan disebutkan namanya.
Baca Juga: Satu Keluarga di Desa Lemban Tongoa Dibunuh Orang Tak Dikenal
Menurut Kepala Desa Lemban Tongoa, Deki Basalulu, warga tidak dapat pergi ke kebun yang jauh pascapembunuhan. Mereka hanya bepergian sekitar 200 meter dari kampung, demi keselamatan.
"Saat ini warga diminta untuk menanam di lahan kosong yang berada di sekitar rumahnya untuk menambah penghasilan," ujar Deki.
Hal ini, menurutnya, dikeluhkan banyak warga lantaran penghasilan mereka menurun.
Tidak ada konflik agama
Lepas dari permasalahan itu, Deki menegaskan tidak ada konflik agama di daerahnya.
Dia mencontohkan bagaimana warga desa membantu keluarga korban saat pelaksanaan acara di rumah duka.
"Saat membawa peti jenazah ke pekuburan, warga yang Muslim pun membantu. Begitu pula saat menggali kubur untuk korban, warga yang Muslim dan yang Nasrani bersama-sama membantu," ucapnya.
"Saat ibadah di rumah duka pun, warga yang Muslim datang, malah duduk di depan. Kami di sini saling menjaga. Keberagaman sejak berdirinya Lemban Tongoa pada 1982 tetap terjalin baik, tidak ada masalah," tambahnya.
Hal senada diucapkan Sarman (64) warga Dusun I, yang juga merupakan salah satu imam masjid di Desa Lemban Tongoa. Pria yang sejak 1986 tinggal di desa itu, mengatakan bahwa kerukunan di daerah tersebut sangat baik. Kerukunan di desa tersebut, menurutnya, justru dapat dijadikan contoh untuk Sulawesi Tengah.
"Selama ini kita tidak ada konflik. Di dalam satu keluarga, ada yang berbeda kepercayaan. Antar suku pun di wilayah ini tidak pernah ada konflik," ujarnya.
"Tidak ada saling curiga," imbuhnya.
Warga lain bernama Agustina menegaskan bahwa para pelaku pembunuhan itu adalah orang jahat, dan apa yang mereka lakukan tidak mewakili agama manapun.
"Mereka itu tidak mewakili siapa-siapa. Sedangkan korban orang yang tidak tahu apa-apa. Kita warga di Lemban Tongoa ini sangat kaget dan terharu," kata dia.
Di lokasi tempat pembantaian, warga dari berbagai suku dan agama bersama-sama membersihkan sisa puing bangunan milik korban yang terbakar.
Mereka akan membangun lagi rumah korban, untuk menghilangkan rasa trauma warga.
Sebanyak empat orang yang terdiri dari pasangan suami istri, anak, dan menantunya tewas di Dusun Tokelemo, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada Jumat (27/11).
Selain itu, pelaku membakar enam rumah.
Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengutuk kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora atas perbuatan mereka. PGI juga mengutuk pembakaran rumah yang biasa dipakai sebagai tempat ibadah umat Nasrani.
"Mengimbau masyarakat untuk tetap tenang, memelihara kerukunan dan persaudaraan, sambil sepenuhnya mendukung upaya pemerintah untuk menangani kasus ini," kata Humas PGI, Philip Situmorang.