Salsabila Khairunisa, Remaja Indonesia Penggerak Mogok Sekolah untuk Hutan

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 01 Desember 2020 | 15:51 WIB
Salsabila Khairunisa, Remaja Indonesia Penggerak Mogok Sekolah untuk Hutan
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gelombang protes besar yang dimulai Greta Thunberg di Eropa menginspirasi seorang remaja asal Indonesia, Salsabila Khairunisa. Tepat pada 13 Januari 2020, remaja 17 tahun ini untuk kali pertama melancarkan aksinya: 'Mogok Sekolah Untuk Hutan'.

Sebelumnya ia membangun sebuah platform di media sosial bernama Jaga Rimba —yang menjadi wadah bersama bagi anak-anak seumurnya berdiskusi tentang perlindungan masyarakat adat dan bagaimana menjaga hutan. Apakah segala aksinya berdampak?

Senin pagi, 13 Januari tahun 2020, takkan pernah dilupakan Salsabila Khairunisa.

Remaja 17 tahun itu untuk kali pertama melancarkan aksinya, bolos sekolah demi menjaga lingkungan. Dari rumahnya di daerah Jakarta Selatan, ia naik bus TransJakarta menuju satu tempat, Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta Pusat.

Baca Juga: Deforestasi Hutan Amazon Meluas, UU Lingkungan Presiden Brasil Disorot

Begitu sampai, ia membentangkan sepotong kardus bertuliskan 'Mogok Sekolah Untuk Hutan' tepat di muka pintu Menteri Siti Nurbaya berkantor.

Tak sampai dua jam berdiri di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Abil dikerubuti satpam dan polisi dari Polres Tanah Abang.

Ia dicecar tentang maksud dari aksinya.

"Setelah agak alot, akhirnya jam 10 pagi itu saya pulang. Kardus saya disita dan humas KLHK suruh saya bikin surat audiensi. Saya manggut-manggut aja," ceritanya sambil terkekeh mengingat kejadian itu.

Selang tiga hari, tepatnya 17 Januari 2020, remaja yang biasa disapa dengan sebutan Abil ini kembali datang dan lagi-lagi diusir. Awalnya dia berkeras tak mau pulang, namun belakangan dia mengalah dengan berdemonstrasi di luar gedung.

Baca Juga: Pilkada 2020 Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut

"Dari situ saya selalu kirim surat ke Polsek Tanah Abang kalau mau aksi, jadi nggak bisa asal usir."

"Saya juga kirim surat audiensi ke Menteri."

Dari dua hari bolos sekolah itu, pihak SMA Negeri 34 Jakarta menanyakan kabar muridnya tersebut ke orang tua.

Orang tua Abil menagih janji anak sulungnya itu agar bertanggung jawab atas tindakannya dan berani menanggung akibatnya. Abil menawarkan solusi tak terduga, keluar dari sekolah.

Farida, ibu Abil, membenarkan cerita itu. Ia bahkan mendatangi wali kelas dan teman-teman Abil agar mengurungkan niat anaknya.

Tapi Abil keras pada sikapnya dan perempuan 45 tahun ini tak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Karena dia semangat banget, nggak bisa disetop atau dilarang dan dia meyakinkan saya akan terus sekolah. Ya sudah saya izinkan dia dan mendukung karena kegiatannya positif," ucap Farida.

Kepala sekolah, kata Abil, sebenarnya berharap ia tetap bersekolah di sana. Tapi tekadnya sudah bulat untuk terus menjalankan kampanye 'Mogok Sekolah Untuk Hutan'.

Pada 30 Januari 2020, Abil pun resmi berhenti menjadi siswa IPA Kelas 3 di SMA Negeri 34 Jakarta dan beralih ke homeschooling.

Mengapa tertarik pada persoalan lingkungan?

Alam dan lingkungan bukan hal baru bagi anak Jakarta ini. Setiap kali libur sekolah, ia diajak orang tuanya liburan ke kampung halaman mereka di Bandung, Jawa Barat.

Tiap kali menjelajahi kawasan dengan penduduk terbesar di Indonesia itu, Abil selalu takjub pada gunung, air terjun, dan hamparan hutan.

Suatu kali, ia mendengar kampanye SaveCiharus yang digaungkan kelompok masyarakat Sadar Kawasan.

"Jadi hutan lindung Ciharus mau diturunkan statusnya menjadi Taman Wisata Alam. Waktu saya ikut aksi ke hutan Ciharus, saya merasa tidak berdaya. Saya lihat langsung pembangkit listrik panas bumi dekat dengan cagar alam."

"Hutan yang menjadi rumah bagi satwa dimasuki motor trail. Itu seminggu saya nangis karena kok ada manusia sejahat itu," imbuh Abil.

Kesadarannya akan makna penting hutan menguat ketika melihat video-video masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah dan kebakaran hutan di Kalimantan pada 2019.

'Men-Jaga Rimba'

Karena pernah memimpin organisasi di sekolah dan terlibat di organisasi lingkungan, Abil terpikir membangun sebuah platform di media sosial yang menjadi wadah bersama bagi anak-anak seumurnya berdiskusi tentang perlindungan masyarakat adat dan bagaimana menjaga hutan.

Wadah itu pun lahir pada Maret 2019 dan dinamai Jaga Rimba.

https://www.instagram.com/p/Bu5jcNfATwX/

Mula-mula, hanya segelintir kawan-kawan sekelasnya yang tertarik pada ide Abil.

Tapi karena promosi dari mulut ke mulut, pengikut Jaga Rimba membesar dan kini hampir 4.000 pengikut di Instagram.

"Intinya saya mau belajar lewat medium ini tapi juga merangkul teman-teman yang punya concern yang sama tanpa takut dibilang 'ah anak kecil, sok tau'."

Mulai dari saling kenal di Instagram berlanjut ke kongko bersama, Abil dan teman-temannya berdiskusi mengenai kondisi hutan di Indonesia. Dari situ mereka mulai mengampanyekan persoalan Cagar Alam Ciharus dan masyarakat adat Laman Kinipan di Instagram Jaga Rimba.

Kini, Jaga Rimba mencoba menyuarakan perjuangan masyarakat adat yang hidup di hutan Akejira di Maluku Utara.

https://www.instagram.com/p/CHz8ITunY0F/

"Selain itu ada rusaknya hutan di Sumatera Utara, food estate, dan deforestasi di Papua. Tahun depan kami mau fokus ke sana," kata Abil.

Segala permasalahan itu, diakui Abil tak gampang dicerna anak muda. Apalagi anak-anak muda Jakarta.

Itu mengapa ia menggunakan media sosial terutama Instagram untuk menggaet perhatian dengan bahasa yang mudah dicerna dan infografis yang kekinian.

Kadang-kadang, teman-teman di Jaga Rimba mengambil alih ruang kelas untuk mempresentasikan isu-isu mereka.

"Tapi yang paling ampuh media sosial."

"Bagaimana kami bisa kemas jadi suatu bacaan yang enak dicerna teman-teman seumuran. Kira-kira bosan nggak yah kalau baca begini..."

"Misalnya kerusakan hutan dikonteks-kan dengan banjir di Jakarta. Dari situ kan kayak, 'gila juga kalau banjir terus gua nggak bisa main, nonton..."

Salah satu teman di Jaga Rimba, Thoriq Yahya, ikut gerakan ini sejak tahun lalu. Ia terdorong karena isu yang dibawa bersentuhan dengan kehidupan sosial.

"Di Jaga Rimba nggak hanya bahas hutan yang harus dilindungi tapi masyarakat adat dibahas. Isu-isu sosial berkaitan dengan hutan," ucap Yahya.

Lewat Jaga Rimba jugalah, pandangan remaja 17 tahun ini terhadap masyarakat adat berubah.

"Saya dulu nggak punya ide apa itu masyatakat adat. Yang saya tahu mereka tinggal di hutan dan primitif. Setelah join, saya pada ide bagaimana kunci perlindungan hutan adalah masyarakat adat."

Dikira 'Greta Wanna Be', tapi 'saya punya cerita sendiri'

Gelombang protes dan mogok sekolah tiap Jumat yang digaungkan seorang gadis muda asal Swedia, Greta Thunberg, pada September 2019, menyadarkan Abil bahwa "ia tak sendirian".

Baginya, tak apa mengorbankan apa yang baginya penting kala itu, yakni sekolah asalkan keresahannya didengar.

Lagi pula, masa depan tak melulu soal kerja di perusahaan ternama dan hidup mapan.

"Masa depan apa yang menunggu saya ketika keluar sekolah? Sementara kerusakan hutan terus terjadi," kata  Abil.

Meluasnya gerakan bolos sekolah tiap Jumat oleh Greta, setidaknya menginspirasinya melakukan hal serupa, Mogok Sekolah Untuk Hutan.

Setiap Jumat, Abil dan kawan-kawannya mogok di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta Pusat.

Karena poster tulisan Mogok Sekolah Untuk Hutan itu, kadang pejalan kaki atau pengendara motor menepi dan bertanya apa maksud kata-kata itu.

Abil senang kalau ada yang bertanya, sebab paling tidak aksinya menarik perhatian.

Dari kelakuan mereka pula, audiensi yang dilayangkan ke Menteri Siti Nurbaya membuahkan hasil.

Pada 5 Februari 2020, Jaga Rimba beraudiensi dengan Wakil Menteri Alue Dohong. Saat itu, belasan anak-anak sekolah menyampaikan konflik hutan adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah dan persoalan di hutan lindung Ciharus Jawa Barat.

https://www.instagram.com/p/B8O2_rqF550/

Sejak melancarkan 'Mogok Sekolah Untuk Hutan' Abil acap disangka Greta-nya Indonesia. Tapi ia menolak sebutan itu.

"Saya kurang suka disamakan dengan Greta, karena saya punya identitas sendiri dan punya cerita sendiri yang berbeda dengan cerita Greta," imbuhnya.

"Dengan label Greta Wanna Be, secara tidak langsung menghapus suara teman-teman yang tidak terdengar."

Ia pun berharap makin banyak anak muda yang peduli pada lingkungan sebagai tabungan masa depan.

BBC 100 Women mengangkat 100 perempuan berpengaruh dan inspiratif setiap tahun dan membagikan kisah mereka. Temukan kami di Facebook, Instagram dan Twitter, dan gunakan # BBC100Women.

REKOMENDASI

TERKINI