Suara.com - Terdakwa Pinangki Sirna Malasari ternyata pernah menerima sanksi berupa penurunan pangkat saat masih bertugas di Kejaksaan Agung. Sanksi penurunan pangkat kepada Pinangki itu terjadi pada 2012 silam.
Fakta itu terungkap ketika jaksa penuntut umum menghadirkan Luphia Claudia Huae, pegawai Kejaksaan Agung memberikan kesaksian dalam sidang perkara gratifikasi kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) atas terdakwa Pinangki di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (30/11/2020).
Di ruang sidang, Luphia mengaku pernah memeriksa Pinangki dalam kapasitas sebagai Pemeriksa Intelijen pada Inspektorat V Jamwas Kejaksaan Agung. Pinangki diperiksa lantaran bertemu Djoko Tjandra yang kala itu masih berstatus buronan kasus cassie Bank Bali.
Pemeriksaan berangkat dalam unggahan salah satu akun Twitter dengan sebuah foto yang menunjukkan Pinangki bersama Djoko Tjandra. Dari pemeriksaan tersebut, Luphia mengetahui rekam jejak Pinangki sebagai jaksa di Kejaksaan Agung.
Baca Juga: Sekretaris Akui Disuruh Djoko Tjandra Setor 100 Ribu Dolar AS ke Tommy
Merujuk pada keputusan Wakil Jaksa Agung RI Nomor 014/b/wja/01/2012 tanggal 13 Januari 2012, Pinangki pernah dijatuhi hukuman disipilin tingkat sedang. Sanksinya, berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
"Maka ditemukan bahwa saudara terdakwa Dr Pinangki Sirna Malasari pada tahun 2012 berdasarkan keputusan Wakil Jaksa Agung RI Nomor kep-014/b/wja/01/2012 tanggal 13 Januari 2012, pernah dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah, selama 1 tahun," ujar Luphia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (30/11/2020).
Meski demikian, Luphia mengaku tidak mengetahui masalah apa yang menyebabkan Pinangki harus mengalami penurunan pangkat. Terkait pertemuan dengan Djoko Tjandra, Luphia menyatakan jika Pinangki diberikan sanksi berupa pembebasan dari jabatan struktural pada 29 Juli 2020.
"Kemudian ada penjatuhan hukuman disiplin terhadap terdakwa yakni pada 20 Juli 2020 dengan surat Wakil Jaksa Agung RI tanggal 29 Juli 2020 dengan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat, pembebasan dari jabatan struktutal," ucap Luphia.
Hal tersebut merujuk pada tindakan Pinangki yang melakukan perjalanan dinas tanpa izin pada 2019. Tercatat ada 9 perjalanan dinas tanpa izin yang Pinangki lakukan.
Baca Juga: Skandal Fatwa MA, Jaksa Bawa Adik Kandung Terdakwa Pinangki ke Sidang
"11 kali perjalanan dinas di tahun 2019 itu pada 26 Maret, 22 Mei, 1 Juni, 26 Juni, 9 Agustus, 3 September, 4 Oktober, 19 November, 10 November, 25 November, dan 19 Desember. Itu ada dua yang dapat izin yaitu pada tanggal 1 Juni dan 3 September, dengan demikian (sisanya-red) tidak dapat izin," ungkap Luphia.
Dakwaan Jaksa
Pinangki didakwa menerima uang senilai 500 ribu USD dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal itu dilakukan agar Djoko Tjandra --yang saat itu masih buron-- tidak dieksekusi dalam kasus hak tagih atau cassie Bank Bali.
Perkara ini dimulai saat Pinangki bertemu sosok Rahmat dan Anita Kolopaking pada September 2019. Saat itu, Pinangki meminta agar Rahmat dikenalkan kepada Djoko Tjandra.
Kemudian, Anita Kolopaking akan menanyakan ke temannya yang seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa bagi Djoko Tjandra. Guna melancarkan aksi itu, Djoko Tjandra meminta Pinangki untuk membuat action plan ke Kejaksaan Agung.
Pada tanggal 12 November 2019, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kepada Djoko Tjandra, Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurus upaya hukum.
Jaksa pun mendakwa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor.
Pinangki juga didakwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.