Suara.com - Pengamat politik Rocky Gerung menyebut penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo oleh KPK bisa dijadikan sebagai sinyalemen bahwa Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tak lagi dibutuhkan oleh Istana. Prabowo dan Edhy merupakan menteri dari Partai Gerindra.
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan kasus penangkapan Edhy merupakan persoalan hukum, bukan permasalahan politik.
"Saya kira tidak benar. Ini bukan persoalan politik, ini persoalan hukum," ujar Donny saat dihubungi Suara.com, Kamis (26/11/2020).
Donny menuturkan, masyarakat yang melanggar hukum harus diproses. Apalagi korupsi yang sudah merugikan keuangan negara.
Baca Juga: Prasangka Baik soal Kasus Edhy, Gerindra: Bisa Terjadi ke Semua Parpol
"Semua apakah itu pejabat, bukan pejabat atau warga negara yang merupakan subjek hukum. Jadi bersalah ya diproses secara hukum," tutur dia.
Menurutnya penangkapan Edhy bukan perkara Prabowo dibutuhkan atau tidak dibutuhkan pemerintah. Ia menyebut dalam penegakkan kasus korupsi yang dilakukan KPK terhadap tangan kanan Prabowo itu.
"Ini bukan perkara Prabowo dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, ini kan penegakan hukum oleh KPK," katanya.
Sebelumnya pemikir politik Rocky Gerung menilai penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo atas kasus dugaan korupsi merupakan sinyalemen politik dari istana atau Presiden Jokowi.
Rocky menafsirkan, penangkapan Edhy bisa saja menjadi pertanda Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tak lagi dibutuhkan oleh Istana.
Baca Juga: Soal Bantuan Hukum ke Edhy Prabowo, Gerindra: Sudah Disiapkan Keluarga
Untuk diketahui, Prabowo kekinian masih menjabat Ketua Umum Partai Gerindra sementara Edhy Prabowo adalah wakil ketua umumnya.
Hal itu disampaikan oleh Rocky melalui kanal YouTube miliknya Rocky Gerung Official.
Rocky mengatakan, kasus ditangkapnya Edhy Prabowo dengan mudah diduga sejak awal. Sebab, kecurigaan adanya tindak korupsi sudah dibongkar oleh majalah Tempo, di mana ada kecurigaan terhadap Edhy sejak awal.
Meski demikian, di balik operasi tangkap tangan KPK tersebut, Rocky menilai ada pesan-pesan politik tersendiri.
"Semua orang berpikir, di balik OTT ada pesan-pesan politik tersendiri. Tapi saya anggap, kita rayakan saja dengan pesan seafood hari ini. Ada big fish tertangkap karena umpan udang," kata Rocky seperti dikutip Suara.com, Rabu (25/11/2020).
Rocky menduga ada kode yang ingin ditampilkan Istana bahwa Prabowo sudah tak lagi diperlukan.
Dugaan tersebut diperkuat dengan keanehan postur politik di Istana pascakepulangan Prabowo dari Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Salah satu yang disoroti adalah ketiadaan poin khusus yang disampaikan Prabowo kepada publik, seusai melakukan pertemuan dengan Menteri Pertahanan AS.
Edhy Prabowo dan enam lainnya resmi ditetapkan sebagai tersangka suap terkait izin tambak, usaha atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Politikus Gerindra itu ditetapkan tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan bersama 17 orang lainnya termasuk istri Edhy, Iis Rosita Dewi, Rabu (25/11/2020). Namun dalam penetapan tersangka Istri Eddy, dilepaskan dan tidak dijadikan tersangka.
KPK telah menetapkan tujuh tersangka yakni Menteri KKP Edhy Prabowo, staf khusus Menteri KKP, Andreu Pribadi Misata, Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Syafri; pengurus PT ACK, Siswadi, staf Istri Edhy, Ainul Faqih; dan Amril Mukminin.
Sedangkan, tersangka pemberi suap yakni, Suharjito selaku Direktur PT DPP.
Dalam kasus ini, Edhy dan kelima tesangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan Suhartijo dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.