Suara.com - Terdakwa Djoko Tjandra sempat marah-marah terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung. Pemicu terpidana kasus kasus cassie Bank Bali itu meradang karena 10 action plan untuk mengurus fatwa MA dibuat oleh Pinangki dan Andi Irfan Jaya.
Cerita itu diungkap eks pengacara Djoko Tjandra saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara gratifikasi kepengurusan fatwa MA yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Rabu (25/11/2020). Dalam sidang kali ini, Anita duduk sebagai saksi untuk terdakwa Pinangki Sirna Malasari.
"Awal September Pak Djoko kirim action plan ke saya, beliau (Djoko Tjandra) marah," ungkap Anita di ruang persidangan.
Saat itu Djoko Tjandra menyampikan jika sosok Pinangki dan Andi Irfan Jaya hendak menipu. Kepada Anita, Djoko Tjandra mengingatkan agar jangan berhubungan dengan kedua sosok tersebut
Baca Juga: Anita Bisa jadi Pengacara Djoko Tjandra Berkat Jasa Terdakwa Pinangki
"Anita jangan urusan sama Pinangki dan Andi Irfan Jaya, mereka mau nipu saya. Jangan hubungan lagi sama dia, ini (action plan) apa-apaan ini. Ini Andi Irfan kirim kayak gini, apa ini? Saya tidak mau berurusan sama mereka" lanjut Anita menirukan Djoko Tjandra.
Anita mengatakan, kemarahan Djoko Tjandra berlangsung dalam sambungan telepon. Dari iformasi yang diperoleh Djoko Tjandra, action plan itu dibuat oleh Andi Irfan.
"Dia (Djoko Tjandra) bilang sih dari Andi Irfan tapi, pasti Andi Irfan kenal sama pinangki," papar Anita.
Tak hanya itu, Anita juga mengaku tidak mengetahui soal kesepakatan fee action plan sebesar 10 juta Dollar AS. Dia mengaku baru mengetahui proposal tersebut dari sosok Rahmat.
Hal tersebut disampaikan oleh Anita dalam menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait informasi kalau Pinangki mengajukan proposal sebesar 100 juta Dollar AS. Tak hanya itu, JPU turut menanyakan bayaran jasa Anita sebagai kuasa hukum Djoko Tjandra sebesar 200 ribu Dollar AS.
Baca Juga: Dibawa ke Sidang, Terdakwa Anita dan Andi Irfan Bersaksi untuk Pinangki
"Setelah pertemuan 19 November 2019, saudara Rahmat pernah infokan ke saudara bahwa terdakwa ajukan proposal untuk jasa terdakwa sebesar USD 100 juta, namun yang disetutui hanya USD 10 juta, sedangkan jasa saksi hanya USD 200 ribu?" tanya jaksa KMS Roni.
"Detailnya tidak. Tapi Pak Rahmat bilang iya proposal tidak disetujui. (Terkait permintaan USD 100 juta-red) tidak tahu saya, karena saya tahu dari mulut Rahmat," jawab Anita.
Dakwaan Jaksa
Pinangki didakwa menerima uang senilai 500 ribu USD dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal itu dilakukan agar Djoko Tjandra --yang saat itu masih buron-- tidak dieksekusi dalam kasus hak tagih atau cassie Bank Bali.
Perkara ini dimulai saat Pinangki bertemu sosok Rahmat dan Anita Kolopaking pada September 2019. Saat itu, Pinangki meminta agar Rahmat dikenalkan kepada Djoko Tjandra.
Kemudian, Anita Kolopaking akan menanyakan ke temannya yang seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa bagi Djoko Tjandra. Guna melancarkan aksi itu, Djoko Tjandra meminta Pinangki untuk membuat action plan ke Kejaksaan Agung.
Pada tanggal 12 November 2019, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kepada Djoko Tjandra, Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurus upaya hukum.
Jaksa pun mendakwa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor.
Pinangki juga didakwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.