Suara.com - Kubu Djoko Tjandra menghadirkan seorang saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara surat jalan palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (24/11/2020). Sosok tersebut adalah ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir.
Dalam hal ini, Mudzakir memaparkan hal-hal mengenai pembuatan surat jalan palsu yang merujuk pada 263 ayat 1 dan 2 KUHP. Dia berpendapat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus menunjukkan surat palsu sebagaimana yang didakwakan -- sebab surat palsu itu seharusnya dijadikan barang bukti primer.
"Kalau doktrin hukum pidana adalah surat palsu, maka demikian kalau itu tidak ada surat palsu, atau dokumen arsip tidak ada, bagaimana buktikan kalau surat palsu itu produk dari kejahatan," ungkap Mudzakir di ruang persidangan.
Merujuk pada Pasal 263 KUHP, papar Mudzakir, setiap pembuatan sebuah surat palsu, tentunya ada yang dinamakan surat yang asli. Artinya, ada sesuatu yang orisinil dan kemudian ada kegiatan pemalsuan.
Baca Juga: Djoko Tjandra dan Brigjen Prasetijo Hadirkan Saksi Ahli dari UII
"Padahal dia sesuatu yang pokok sesuai Pasal 263, setiap membuat surat palsu, maka harus ada namanya surat palsu asli, surat yang dipalsukan asli," jelas dia.
"Sehingga fokus pembuktian satu pidana jelas, bahwa ini loh surat palsu, dan ini loh surat yang dipalsukan," tambah Mudzakir.
Mudzakir melanjutkan, jika perkara surat palsu hanya berdasar dari keterangan salah satu saksi, maka keterangan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti pokok. Dia menyebut, Penuntut umum harus menunjukkan surat jalan yang disebut dipalsukan itu.
"Keterangan saksi tidak bisa dijadikan alat bukti dalam arti bahwa surat yang dijadikan produk hukum namanya alat bukti primer atau pokok yang tentukan dari ada atau tidaknya pidana itu. Objek utama ini harus ada surat palsu, tanda tangan asli juga harus ada," jelas Mudzakir.
Dengan demikian, dalam proses pembuktian yang mempunyai ketentuan primer, harus ada bukti surat asli -- yang kemudian dipalsukan. Sehingga, suatu hal yang disebut sebagai surat palsu bisa dikuatkan dengan alat bukti yang lain.
Baca Juga: Saksi Ungkap Ada Permintaan Hapus Nama Djoko Tjandra Dalam ECS
"Atas dasar itu maka dalam proses pembuktian yang miliki ketentuan primer itu ada (surat) asli, sehingga dengan demikian surat tadi akan dikuatkan dengan alat bukti yang lain," ucapnya.
Bunyi Pasal 263 ayat 1 KUHP:
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 263 ayat 2 KUHP:
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dalam perkara kasus surat jalan palsu, Djoko Tjandra disangkakan melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP. Dia diancam hukuman lima tahun penjara.
Sedangkan, Brigjen Prasetijo disangkakan Pasal 263 Ayat 1 dan 2 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1e KUHP, Pasal 426 KUHP, dan/atau Pasal 221 Ayat 1 dan 2 KUHP. Jenderal bintang satu itu diancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Sementara, Anita Kolopaking dijerat dengan Pasal 263 Ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu dan Pasal 223 KUHP tentang upaya membantu kaburnya tahanan.