Suara.com - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai fenomena penyambutan kepulangan Habib Rizieq Shihab menunjukkan adanya "kekosongan kepemimpinan yang dapat menyerap aspirasi masyarakat luas.”
Menanggapi polemik yang muncul setelah Jusuf Kalla berkata demikian, menurut analis kebijakan publik dari Political and Public Policy Studies Jerry Massie sebenarnya yang terjadi di Indonesia bukan kekosongan kepemimpinan, tetapi, "barangkali kebijakan-kebijakan yang mulai melenceng dan pendelegasian wewenang yang kerap salah aplikasikan di oleh pembantu Jokowi."
Jerry mengatakan mengatur dan mengurus bangsa memang tak mudah, dibutuhkan kecepatan dan ketepatan.
Jerry menyebut ada banyak kebijakan yang tumpang-tindih. "Plin-plan serta kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.:
Baca Juga: Respons Sindiran JK: Habib Rizieq Jadi Pendulum Baru, Bisa Iya, Bisa Tidak
Menurut analisa Jerry, pernyataan Jusuf Kalla merupakan sindiran halus atas keadaan seperti itu.
"Barangkali ini pesan JK maka hadir HRS seakan ada harapan bagi kaum oposisi."
"Contoh jelas dimana job description terhadap wakil presiden yang tak terlihat. Mulai dari tupoksinya, tapi di lapangan justru didominasi oleh sejumlah pembantu Jokowi."
Jerry mengatakan narasi "kekosongan kepemimpinan" yang diucapkan Jusuf Kalla hanya sebuah bahasa "majas" bisa juga sebuah analogi politik yang disampaikan atau bahasa filosofis.
Akan tetapi menurut Jerry, jangan kemudian ada yang bersikap arogan. Habib Rizieq, menurut dia, perlu belajar dari pengalaman.
Baca Juga: JK Sebut Kekosongan Kepemimpinan, Dedek: Ngaku Ajalah Pak JK
Jerry menambahkan kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945, tapi jangan kebablasan berpendapat. "Itu bahaya."
"Untuk mencerdaskan umat itu justru baik apalagi reformasi akhlak. Antara perkataan dan perbuatan harus seimbang."
Sedangkan analis politik dari lembaga Indo Strategi Research and Consulting Arif Nurul Imam mengatakan, "membaca pernyataan Pak JK mengenai kekosongan kepemimpinan dan kehadiran HRS menjadi pendulum baru, bisa iya dan bisa tidak."
Yang pasti, menurut Arif, kehadiran Habib Rizieq akan menambah motivasi dan kepercayaan diri kekuatan politik yang merepresentasikan Islam, dimana Habib Rizieq merupakan aktor yang ada dispektrum itu.
"Kalau jadi pendulum baru, saya kira belum tentu, namun ketokohan HRS memang bisa menjadi vote better politik," kata Arif kepada Suara.com.
Dalam sejarah politik Indonesia, kata Arif, kekuatan politik yang merepresentasikan Islam terus menyusut atau minimal stagnan, bukan makin membesar.
"Jadi kemungkinan menjadi pendulum baru, peluangnya tak begitu besar," kata dia.
Apa makna kekosongan kepemimpinan yang dimaksud Jusuf Kalla? "Kepemimpinan secara formal tentu ada, tetapi kepemimpinan kultural mungkin saja yang terjadi penggerusan sehingga mengarah kekosongan kepemimpinan kultural," katanya.
Jusuf Kalla diminta jujur
Supaya jelas maksud dan tujuannya, politikus Partai Solidaritas Indonesia Dedek Prayudi meminta Jusuf Kalla untuk berterus terang saja kepada publik.
"Buat sebagian, opini Pak JK diarahkan ke Pak Anies, buat sebagian lain diarahkan ke Pak Jokowi. Buatku, FPI sengaja diciptakan dan dipelihara pihak tertentu untuk jadi 'anjing penggigit' dan vote getter. Ngaku ajalah Pak JK," kata Dedek.
Namun, politikus Ferdinand Hutahaean mengatakan Indonesia sebenarnya tidak dalam kekosongan kepemimpinan, tetapi ada sekelompok orang yang kecewa dalam "kontestasi demokrasi." Ferdinand menganggap Jusuf Kalla terlalu berlebihan dalam memaknai keadaan sekarang.
"Tidak ada fenomena, tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pak JK berlebihan menilai sesuatu. Yang terjadi itu hanya sekelompok yang kecewa karena kalah dalam kontestasi demokrasi sehingga melakukan pembangkangan dan berupaya mengaduh-aduk situasi."
"Bapak tentu sangat paham tentang ini, iya kan?" kata Ferdinand.
Ferdinand juga tidak sependapat dengan penilaian Jusuf Kalla bahwa ada yang salah dengan sistem demokrasi Indonesia. Yang salah, menurut Ferdinand, "yang menggunakan politik identitas untuk mengejar kekuasaan. Jualan agama, ayat dan Tuhan serta surga. Itu memang salah dalam demokrasi."
Menurut kesimpulan Ferdinand, sebenarnya Jusuf Kalla tahu dan paham siapa yang melakukan itu sejak pilkada Jakarta tahun 2017 dan pemilu presiden 2019.