Suara.com - Rapat dengar pendapat Majelis Rakyat Papua atau MRP tentang otonomi khusus batal digelar karena direpresi dan mengalami kriminalisasi oleh aparat kepolisian. Sebanyak 55 orang, termasuk dua anggota MRP ditangkap dengan tuduhan melanggar Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.
Staf MRP Wensislaus Fatubun menuturkan kronologi represi aparat kepolisian. Berawal dari tekanan yang dilayangkan Kapolres Merauke sebelum serangkaian rapat digelar pada 17-18 November 2020 di Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.
Pada 15 November 2020, sekitar pukul 22.00 waktu Papua, Kapolres Merauke menemui Pastor Hengki Kariwob, MSC (Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam, Pr (Sekretaris Uskup) dan Pastor Anselmus Amo, MSC (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan yang meminta keuskupan tidak memfasilitasi kegiatan rapat MRP.
"Pastor Anselmus Amo lalu menelpon Bapa Uskup Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke Mgr. Canisius Mandagi, MSC dan Bapa Uskup menegaskan bahwa RDP MRP dapat dilakukan di Vertenten Sai sebab itu bukan kegiatan politik," kata Wensislaus dalam keterangannya, Rabu (19/11/2020).
Baca Juga: Beri 10 Masukan ke Maruf Amin, MRP: Aparat Tidak Cocok di Papua
Selang setengah jam setelah penolakan itu, sekelompok polisi datang ke hotel Grand Mandala, Pankat dan hotel Valentine.
"Kami dari MRP diminta untuk ke Polres malam itu juga untuk bertemu dengan Kapolres," ucapnya.
Namun setibanya di Kantor Polres Merauke, Kapolres sudah pulang dan pertemuan ditunda hingga esok hari pukul 09.00 WIB. Keesokan harinya, pukul 08.57 WIB, Fatubun bersama Tim RDP MRP tiba di kantor Polres Merauke untuk bertemu Kapolres sesuai janji semalam.
Lagi-lagi, Kapolres ingkar janji, ia tidak berada di tempat. Mereka hanya diterima ajudan yang menyampaikan bahwa Kapolres sedang keluar dan tidak tahu kapan kembali ke kantor, yang bersangkutan hanya meminta nomor kontak untuk koordinasi jika Kapolres sudah siap bertemu.
Karena tak kunjung datang, Tim RDP MRP pergi untuk mengantar surat ke Bupati di kantor Bupati, Dandim di Kodim, Uskup Merauke di Keuskupan dan Ketua DPRD di kantor DPRD.
Baca Juga: Mahasiswa Papua Pilih Pulang, MRP Siapkan Kampus untuk Menampung
Sesampainya di kantor Bupati pukul 11.00 WIT, Tim RDP MRP disambut oleh pemandangan sekelompok orang dari Buti melakukan aksi demo menolak rencana kegiatan mereka.
"Kapolres dan Bupati terima mereka di halaman depan kantor Bupati. Aspirasi mereka adalah tolak RDP MRP, lanjutkan Otsus dan pemekaran Propinsi Papua Selatan," ungkapnya.
Selesai dari sana, Tim RDP MRP langsung pulang ke hotel untuk koordinasi dan diputuskan bahwa RDP dibatalkan karena situasi tidak kondusif. Wenslaus menyebut sejak saat itu tim mereka selalu dipantau di hotel, sekitar pukul 22.00 WIT sudah mulai muncul anggota polisi yang berjaga di hotel.
"Diantara mereka ada yang membawa senjata laras panjang," terangnya.
17 November 2020, pukul 08.00 WIT, seorang pria berbaju merah yang dicurigai sebagai intel duduk di depan hotel sekitar 30 menit, lalu pergi begitu saja.
Tak lama berselang, muncul dua orang menggunakan kendaraan roda dua datang ke hotel, bertemu resepsionis dan pemilik hotel, meminta keterangan tentang jumlah kamar dan berapa banyak penghuni kamar.
"Kami mendapat informasi dari karyawan hotel bahwa mereka adalah intel polres pukul 09.45 waktu Papua, mereka meninggalkan hotel," tuturnya.
Pukul 10.00 WIB, Fatubun duduk di depan hotel, tiba-tiba Kapolres Merauke datang, bersama anak buahnya bersenjata laras panjang tanpa basa-basi langsung menggeledah hotel.
"Mereka menggeledah kamar saya, menangkap dan memborgol saya bersama penghuni hotel lainnya. Ketika sebelum menangkap saya, Kapolres bertanya kepada saya tentang asal saya, pekerjaan saya, apa kepentingan saya di Merauke. Saya sempat debat dengan kapolres dan bersitegang, karena mereka minta KTP saya," ungkap Fatubun.
Penggeledahan berlangsung cepat, mereka langsung masuk ke mobil polisi dengan tangan terborgol; handphone, dompet, laptop, kecuali pakaian, semuanya disita polisi sebagai barang bukti.
"Di mobil dalmas, selain saya ada beberapa anggota MRP, staf dan peserta RDP yang menginap bersama kami. Saya melihat bahwa Koordinator Tim RDP MRP, Dua staf MRP dan seorang peserta diborgol seperti saya," jelasnya.
Mereka dibawa ke Polres Merauke sekira pukul 10.55 WIT, lalu dikumpulkan di aula, borgol baru dilepas ketika mereka memeriksa barang-barang, lalu dipaksa untuk tanda tangan berita acara barang bukti.
"Setelah itu kami duduk saja. Kami beli makan siang sendiri. Juga air minum, kami beli sendiri," lanjut Fatubun.
Pukul 16.00 WIT, mereka mulai diperiksa, Fatubun diperiksa tersendiri di ruang terpisah.
"Saya ditanya tentang identitas pribadi, keluarga, RDP MRP, pekerjaan saya dan sumber biaya RDP MRP. Saya beri keterangan tetapi menolak untuk tanda tangan," ungkap Fatubun.
Selesai pemeriksaan mereka masih ditahan di aula, menginap satu malam, tanpa protokol kesehatan pandemi COVID-19
18 November 2020, pagi hari, Fatubun kembali diperiksa, dia minta polisi menjelaskan tentang buku pedoman RDP MRP, polisi fokus menanyakan poin ketiga dari tujuan kegiatan RDP MRP, poin ketiga itu tertulis tentang RDP MRP untuk orang asli Papua menentukan nasib sendiri.
"Saya beri penjelasan bahwa menentukan nasib sendiri perlu dimengerti dengan baik dan bukan sekedar referendum tapi perlu dihubungkan juga dengan HAM, khususnya prinsip FPIC ( Free, Prior,Informed and Concent)," terangnya.
Siang hari pukul 14.00 WIT, mereka diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat oleh kepolisian lalu dinyatakan bebas pada 16.45 WIT, namun beberapa barang dan sejumlah uang sitaan masih ditahan.
"Pukul 19.36, saya, koordinator Tim RDP, anggota MRP dan seorang staf meninggalkan polres Merauke. Kami diminta kembali pada esok hari untuk bicara tentang barang yang ditahan. Saya masih diperiksa bersama dengan laptop saya," pungkas Fatubun.
Penangkapan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa RDP MRP di Merauke adalah bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.
"Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin. Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia," Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Usman menegaskan bahwa Majelis Rakyat Papua adalah perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus.
hak atas kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.