Suara.com - Nasib Lebanon belum menentu lantaran kebuntuan negosiasi dana bantuan internasional. Tiga bulan pasca ledakan Beirut, elit politik masih meributkan pemerintahan baru, dan tenggelam dalam kisruh politik tak berkesudahan.
Waktu menjadi barang langka di Beirut. Prancis, Amerika Serikat (AS) dan negara donor lain mulai kehabisan sabar dan mendesak elit politik Lebanon agar secepatnya membentuk pemerintahan yang kredibel, atau mengucap selamat tinggal pada dana pinjaman internasional.
Hingga kini faksi-faksi politik di Beirut masih berkutat menentukan calon perdana menteri. Lebanon belum memiliki pemerintahan baru sejak ledakan di pelabuhan, memaksakan kejatuhan kabinet PM Hassan Diab, Agustus silam.
Dalam sebuah pertemuan di Beirut pekan lalu, Patrick Durel, penasehat Presiden Prancis Emmanuel Macron, menegaskan bahwa Paris masih memegang komitmen terhadap Lebanon.
Tapi “kami tidak akan membantu kecuali ada langkah reformasi,” menurut dua sumber yang hadir dalam pertemuan tersebut. “Masa-masa itu sudah berlalu,” katanya merujuk pada kucuran duit bantuan dari Prancis yang berulangkali mengisi kas Lebanon sejak Perang Saudara 1975-1990.
Kepada kantor berita Reuters, seorang diplomat barat mengklaim Prancis berencana menggelar konferensi negara donor untuk Beirut pada akhir November. Tapi “belum ada perkembangan baru,” terkait acara tersebut.
“Politisi Lebanon kembali melakukan kebiasaan mereka dan apa yang mengkhawatirkan adalah ketidakpedulian kepada masyarakat,” tutur sumber yang tidak ingin disebut namanya itu.
Manuver Bassil Lumpuhkan Konsensus Politik
Saad Hariri, bekas perdana menteri dari kelompok Sunni, saat ini sedang berupaya mengumpulkan dukungan politik bagi pemerintahannya.
Baca Juga: Sinopsis Film Beirut, Thriller Politik Berlatar Perang Sipil di Lebanon
Tingkat kepercayaan publik terhadapnya tergolong rendah, karena dianggap ‘tokoh lama’ yang dinilai ikut bertanggung jawab membawa Lebanon ke situasi saat ini.