Suara.com - Saat pasar piringan hitam mengalami lonjakan permintaan, para penikmatnya menghabiskan waktu dan uang untuk mendengarkan kembali bintang musik yang terlupakan di seluruh Asia, termasuk dari Indonesia.
Fariz Rustam Munaf, seorang musisi yang lebih dikenal dengan nama Fariz RM, adalah musisi top di Indonesia pada era 1980-an.
Kala itu, baik kaum remaja dan dewasa menyukai musik jazz fusion khasnya, yang menggabungkan elemen disko dan samba Brasil.
- Yon Koeswoyo 'Koes Plus': Perginya 'penerobos, pionir' musik Indonesia
- Allfy Rev: Ambisi 'menduniakan' Indonesia lewat musik
- Didi Kempot: Sang 'pembaharu' musik rakyat campur sari
Kini, label rekaman merilis ulang musiknya bagi pendengar generasi saat ini. Para disc jokey (DJ) secara rutin memainkan lagu-lagu hits Fariz dengan genre elektronik di pesta-pesta bawah tanah, mulai dari Jakarta hingga Ibiza di Spanyol.
Baca Juga: Manggung The 90's Festival, Fariz RM Irit Bernapas
"Perilisan ulang [piringan hitam] adalah pujian yang luar biasa," kata pria berusia 61 tahun itu.
"Ini adalah periode baru dalam karir saya. Saya merasa seperti dilahirkan kembali."
https://www.youtube.com/watch?v=bg05VhjGSIo
Diselamatkan dari ketidakjelasan
Di seluruh dunia, musisi-musisi lama seperti Fariz RM menikmati kebangkitan popularitas berkat melonjaknya perilisan ulang piringan hitam mereka.
Label rekaman dan kurator musik semakin mencurahkan sumber daya yang signifikan untuk merilis kembali lagu-lagu dari dekade sebelumnya dalam bentuk piringan hitam, CD, kaset, dan format digital, dengan harapan menjadikannya barang kolektor.
Baca Juga: Di Penjara, Fariz RM Garap Album Baru
Sementara sebagian besar pelirisan ulang cenderung berupa album klasik, seperti Abbey Road milik band The Beatles, pilihan lain yang terus bertambah adalah rilisan musik funk, psychedelia, dan musik tradisional dari negara berkembang.
Salah satu contohnya ialah Sweet as Broken Dates: Lost Somali Tapes from the Horn of Africa - sebuah kompilasi melodi Somalia dari periode 1970-an dan 1980-an. Perilisian ulangnya dilakukan oleh label musik Ostinato yang berbasis di New York, AS.
Album itu dinominasikan dalam penghargaan musik bergengsi Grammy pada 2018.
Beberapa label lain, seperti Soundway Records, Habibi Funk, Sofrito dan Strut Records, mengkhususkan diri pada perilisan ulang musik-musik Afrika, Karibia, Latin, Arab dan Asia dari tahun 1950-an hingga 1980-an.
Album yang bagus dan layak dirilis ulang menuturkan sebuah kisah, jelas Dean Chew dan Munir Harry Septiandry - dua DJ yang membuat kompilasi musik jazz, boogie, dan soul 1960-an-1980-an dari Asia utara dan tenggara.
Album itu, yang bertajuk Artifacts, akan dirilis tahun depan dan bertujuan untuk menyoroti periode kreativitas musik yang luar biasa di Asia. Namun proses pencarian musik bersejarah ini dan mendapatkan lisensi hak ciptanya merupakan hal yang sulit.
"Di Indonesia, misalnya, label-label rekaman yang merilis lagu yang kita cari sudah sangat tua," jelas Septiandry, yang memproduksi musik dance di kota Bandung dengan moniker Midnight Runners.
Septiandry baru-baru ini membuat kompilasi musik progressive rock dan pop Indonesia periode 1979-1991 untuk label rekaman AS, Culture of Soul, sebuah album yang ia yakini akan membantu menyebarkan minat global akan warisan musik Indonesia.
"Buruknya pengarsipan juga jadi masalah besar. Kecuali [label] besar, banyak label di sini yang tidak memiliki rekaman master," tambah Septiandry.
Jika ada lagu-lagu yang belum pernah dirilis, atau label sudah tidak beroperasi, kata Septiandry, perlu penyelidikan intensif untuk menemukan sumber materi: "Kami mulai memburu musisi, teman, dan keluarganya - menggunakan kontak dari dunia musik lokal."
Itu adalah kasus yang terjadi pada Women Women Women, mahakarya musik synth moody karya musisi Korea Selatan Lee Dong Won, yang juga ditampilkan di album Artifacts.
https://www.youtube.com/watch?v=FYiOSSWY25s
"Kini semakin sulit untuk melisensikan lagu apa pun dari wilayah itu, jadi saya harus benar-benar menggali lebih dalam dan mendekati produser di Seoul - yang memiliki banyak pengetahuan dan dapat membantu saya mendapatkan hak cipta," kata Chew, yang ikut menjalankan label rekaman di Singapura bernama Darker Than Wax.
Pencarian menyeluruh untuk menemukan musisi yang tidak dikenal telah didokumentasikan dalam film seperti Searching for Sugarman dan Ata Kak: Time Bomb dan membutuhkan "waktu yang sangat panjang," tambah Jan Hagenkoetter, dari INFRACom Records Jerman.
Hagenkoetter telah membuat dua kompilasi musik Vietnam dari era1954-1975, bernama Saigon Supersound.
Album ini menelusuri perjalanan rock surf, balada pop, dan swing bernuansa Latin yang menonjolkan pengaruh AS yang jelas.
Hagenkoetter berharap proyek ini akan mengenalkan kembali kaum muda Vietnam dengan budaya mereka.
Bagi kaum muda Vietnam di negara itu dan luar negeri, musik jenis ini adalah apa yang didengarkan orang tua mereka dan tak dianggap keren, kata Hagenkoetter, yang tinggal di Ho Chi Minh selama bertahun-tahun.
"Saya ingin menunjukkan ada musik yang bagus yang bisa membuat kita bangga," katanya.
Perilisan ulang bukan fenomena yang baru, namun tak bisa dipungkiri bahwa jumlahnya terus mengalami kenaikan, di tengah permintaan vinil yang tinggi.
Tahun lalu, untuk 14 tahun berturut-turut, penjualan album melonjak di AS, menurut Nielsen Music/MRC Data.
Hal serupa terjadi di Inggris, di mana penjualan piringan hitam terus melonjak selama 12 tahun berturut-turut, dengan tahun 2019 menandai permintaan tertinggi sejak awal 1990-an, menurut British Phonographic Industry.
Hasilnya, harga rilisan ulang album edisi terbatas turut melambung.
Chew menjelaskan hal itu seperti situasi ayam-dan-telur: "Di satu sisi, Anda mendapati ada label khusus yang mengeluarkan banyak darah, keringat, dan air mata untuk perilisan ulang.
"Tapi di sisi lain, perilisan ulang menjadi sangat trendi sehingga mereka pasti membuka jalan bagi pengulangan yang tak terhitung jumlahnya yang akhirnya memenuhi pasar dan mengirim lonjakan harga pada platform seperti Discogs, di mana album telah menjadi komoditas di bursa saham."
Apa pun masalah ekonomi pasar yang rumit, dampak sosialnya terhadap musisi sangat positif. Kesempatan untuk diperkenalkan kembali ke publik di era teknologi adalah sebuah dobrakan, jelas Fariz RM.
Selama era 1980-an, legenda pop ini menulis sejumlah lagu dalam bahasa Inggris, dengan harapan bisa meraih penggemar musik di luar indonesia, namun dia tak bisa mengetahui apakah dia berhasil "karena tidak ada media sosial waktu itu".
"Saat itu, industri musik indonesia tak terpikir untuk masuk ke pasar internasional karena mereka percaya diri dengan banyaknya permintaan lokal," kata Fariz.
Kini, dengan dua albumnya yang dirilis ulang, Fariz kian terlihat ketimbang sebelum-sebelumnya.
"Saya mendengar dari para DJ, lagu saya Selangkah ke Seberang populer di Ibiza; orang-orang di Peru juga berkata mereka memainkan musik saya," ujarnya tersenyum.
"Saya senang - tapi tentu saja, saya harap itu terjadi lebih awal."