Suara.com - JPU menghadirkan saksi advokat Rahmat Santoso, dalam sidang lanjutan terdakwa eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Rabu (18/11/2020) malam.
Kepada majelis hakim, Rahmat mengaku sempat dijanjikan uang Rp 10 miliar oleh Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara melawan PT KBN di Peninjauan Kembali atau PK.
Hiendra kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat sebagai penyuap Nurhadi dan Rezky.
"Saya diminta jadi PH (penasihat hukum) lakukan PK. Kira-kira Rp 10 miliar (untuk bayar fee ), itu lima miliar dulu setelah sukses 5 miliar lagi," kata Rahmat di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (18/11/2020).
Baca Juga: KPK Lelang Aset Milik Terpidana Eks Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnain
Adik kandung dari istri Nurhadi, Tin Zuraida itu menjelaskan awalnya Hiendra mendatangi kantornya Rahmat And Partner di Surabaya. Hiendra pun menjelaskan permasalahan perkara itu.
"Ketika itu dia menceritakan apa yang terjadi. Terus saya minta berkas pada pengacaranya Onggan (terdahulu). Saya sempat ke kantornya di Jakarta," ucap Rahmat.
Kemudian, kata Rahmat, terjadi kesepakatan. Rahmat pun langsung diberikan cek untuk nantinya dapat dicairkan.
"Diberikan cek oleh Hiendra datang kekantor saya setelah saya mendapatkan berkas, dia mengatakan cek ini dapat dicairkan setelah mendaftarkan kuasa dan lain sebagaimanya," ungkap Rahmat.
Jaksa pun menanyakan berapa nilai cek yang diberikan Hiendra kepada saksi Rahmat.
Baca Juga: Jaksa KPK Hadirkan Adik Ipar Nurhadi Jadi Saksi Sidang
"Rp 5 miliar. Iya (fee yang disepakati di awal)," ucap Rahmat.
Selanjutnya jaksa KPK pun kembali menanyakan berapa kali bertemu Hiendra. Rahmat pun menjawab sekiranya dua sampai tiga kali melakukan pertemuan terkait mengurus perkara itu.
Rahmat mengaku bahwa dalam pendaftaran PK dalam perkara milik Hiendra dilakukan oleh tim hukum Rahmat di Jakarta. Lantaran Rahmat sendiri masih berkantor di Surabaya.
"Yang mendaftar adalah teman saya. Saya tiket pesawat terlalu jauh. Makanya penyidik juga bingung nggak ada tanda tangannya (menjadi kuasa). Saya jawab , yang daftar partner saya di Jakarta. Kebetulan dia advokat di jakarta partner saya namanya Agus," ucap Rahmat.
Kemudian terkait PK itu, Rahmat menyebut telah mengurus pendaftaran dan mengurus semuanya. Sehingga, Rahmat menghubungi Hiendra untuk mencairkan cek Rp 5 miliar yang diberikan itu.
"Jadi, ketika sudah mendaftar kita jalankan semuamya. Saya mau mencairkan cek yang Rp 5 miliarnya itu. Saya telpon kepada Hiendra. Pak ceknya mau saya jalankan," ucap Rahmat saat menelpon Hiendra
Ternyata, kata Rahmat, Hiendra meminta cek itu jangan dicairkan. Alasan Hiendra, karena dirinya telah dibantu oleh pengacara di Jakarta.
"Jadi, saya sudah dicabut secara lisan (kuasanya). Perkara itu mau menang mau kalah jungkir balik lah. Saya enggak ada urusan. Nggak ada kaitannya. Cuma nama saya melekat," kata Rahmat
"Kedua. Dia (Hiendra) mau narik cek nggak bisa karena saya belum dibayar," tambah Rahmat
Jaksa pun kembali menanyakan Rahmat berapa yang akhirnya dibayar Hiendra kepadanya itu.
"Kalau nggak salah hanya Rp 300 juta," kata Rahmat
Kepada Jaksa KPK, Rahmat pun tak mengetahui siapa yang mengurus perkara Hiendra itu di PK.
Namun, Rahmat mengaku kaget ternyata baru mengetahui yang mengurus ternyata menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono ketika Rahmat diperiksa di KPK.
"Saya tau setelah setelah disidik oleh KPK. Ternyata saudara saya Rizki. (Rezky Herbiyono) saya sampai enggak mengerti sama sekali," tutup Rahmat.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky didakwa menerima suap sebesar Rp 45,7 miliar dari Dirut PT MIT, Hiendra. Uang suap diterima Nurhadi itu untuk membantu perusahaan Hiendra melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN).
Selain suap, Nurhadi juga didakwa menerima uang gratifikasi mencapai Rp 37.287.000.000.00. Uang gratifikasi itu, diterima Nurhadi melalui menantunya Rezky dari sejumlah pihak.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Nurhadi dan Riezky didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.