Layangkan Amicus ke PN Denpasar, ICJR: Hakim Harus Memutus Bebas Jerinx

Erick Tanjung Suara.Com
Rabu, 18 November 2020 | 20:43 WIB
Layangkan Amicus ke PN Denpasar, ICJR: Hakim Harus Memutus Bebas Jerinx
Jerinx dalam sidang kasus ujaran kebencian. [Instagram]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hari ini, Rabu (18/11/2020) Perkumpulan Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Pengadilan Negeri Denpasar terkait perkara terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx, drumer band Superman is Dead.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan, hakim perlu sangat hati-hati dalam memutus kasus Jerinx. Sebab IDI yang dikritik dan ditanya oleh Jerinx adalah organisasi berdasarkan keahlian, sehingga terlalu jauh untuk dihubungkan dengan golongan penduduk ataupun dipersamakan, sejajar dengan agama suku dan ras yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Menurut ICJR, Jerinx merupakan seorang musisi juga seorang aktivis yang mendedikasikan dirinya menjadi penyambung aspirasi publik khususnya mereka yang suaranya tidak didengar oleh penguasa. Tak hanya mengkritik, namun ia juga melakukan kegiatan sosial berupa bagi-bagi pangan sejak Mei 2020 hingga sekarang, bahkan pada saat Jerinx ditahan sekalipun kegiatan bagi-bagi pangan masih terus berjalan.

Salah satu kebijakan yang dikritik keras oleh Terdakwa Jerinx terkait dengan tata kelola Covid-19 adalah kebijakan paksa rapid test yang digunakan syarat administrasi untuk memperoleh layanan kesehatan. Banyak ahli yang sudah menyatakan bahwa rapid test yang sekarang dijadikan syarat administrasi untuk seseorang bepergian ataupun syarat layanan kesehatan menimbulkan dampak negatif.

Baca Juga: ICJR: TNI-Polri Sudah Mendiskriminasi Anggotanya yang LGBT

Misalnya pemberitaan ibu hamil mengalami kesulitan untuk memperoleh layanan persalinan karena harus memenuhi prosedur rapid test yang harganya cenderung mahal. Bahkan juga terdapat kasus bayi dalam kandungan yang harus meninggal karena lambat diberikan layanan karena adanya kewajiban test ini.

"Bahwa pada saat Terdakwa Jerinx sudah ditahan pun kejadian Ibu hamil kesulitan memperoleh layanan yang mengakibatkan bayinya meninggal masih terjadi. Hal ini lah yang kemudian dipertanyakan oleh terdakwa Jerinx dalam unggahannya di Instagram pada 13 Juni 2020," kata Erasmus dalam keterangan pers yang diterima Suara.com.

"Dan terdakwa pertanyakan pada akun resmi IDI @ikatandokterindonesia, Terdakwa Jerinx meminta penjelasan IDI, yang jelas memiliki power untuk mengubah kebijakan atas dasar latar belakang keahlian yang bisa dipertanggungjawabkan," sambungnya.

Namun pada 16 Juni 2020 terdakwa justru dilaporkan ke kepolisian. Padahal apa yang dipertanyakan Jerinx menjadi diskursus publik. Kewajiban rapid test untuk syarat administrasi berbagai kegiatan diganti dalam kebijakan, misalnya sebagai syarat untuk berpergian diubah melalui Peraturan Menteri Kesehatan NOMOR HK.01.07/MENKES/413/2020 pada Juli 2020, pun juga dibuat kebijakan Surat Edaran No HK 02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi pada Juli 2020.

Dengan demikian, kata Erasmus, jelas diskursus tentang kebijakan rapid test adalah kepentingan publik yang seharusnya pendapat dan ekspresi atas hal ini dilindungi. Dakwaan terhadap Jerinx tidak perlu. Terlalu Jauh untuk menyatakan Organisasi Profesi sebagai “antargolongan” yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Menyamakan profesi dengan suku, agama dan Ras jelas merendahkan standar yang ingin dituju oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP.

Baca Juga: ICJR: Perjuangan Akhiri Pidana Mati di Indonesia Masih Panjang

Terlebih lagi, yang dikritik oleh terdakwa adalah IDI sebuah lembaga berbadan hukum yang tidak secara serta merta sama dengan golongan dokter pada umumnya.

"Hakim harus berhati-hati melihat bahwa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwa Jerinx sengaja menyerang dokter secara umum, jelas dalam persidangan, yang dituju oleh terdakwa Jerinx adalah kebijakan yang diambil terkait kewajiban rapid test," terangnya.

Selain itu hakim harus berhati-hati dengan logika Jaksa Penuntut Umum atau JPU, maka akan timbul pertanyaan, apakah nantinya bila ada orang yang dianggap mengkritik atau dalam batasan tertentu menghina sebuah organisasi berbadan hukum dengan anggota yang spesifik pada golongan tertentu itu berarti telah menyampaikan ujaran kebencian pada golongan itu?
Seandainya ada kritik pada kebijakan Gubernur Bali, apakah artinya itu telah menghina masyarakat bali? Apakah kalau ada krtitik pada lembaga demokratis seperti NU atau Muhamaddiyah artinya menghina Islam? Apakah mengkritik kebijakan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) artinya menghina agama kritsten protestan?

"Hakim harus sangat berhati-hati dan meluruskan kembali logika fatalistik dari Penuntut Umum tersebut," ujar Erasmus.

Oleh karena itu, lanjut Erasmus, ICJR sebagai Amici menyimpulkan bahwa dakwaan Penuntut Umum tidak cermat. Seharusnya dakwaan tersebut gugur, dalam tataran pokok perkara sekalipun.

"Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Jerinx sama sekali tidak memenuhi unsur yang dituntut oleh Penuntut Umum. Untuk itu kami meminta majelis hakim untuk menyatakan dakwaan penuntut umum gugur ataupun memutus bebas Jerinx," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI