Tahapan Kampanye Pilkada Terkendali, Diharap Tak akan Jadi Kluster Baru

Selasa, 17 November 2020 | 16:52 WIB
Tahapan Kampanye Pilkada Terkendali, Diharap Tak akan Jadi Kluster Baru
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal. (Dok : Kemendagri)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kekhawatiran bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) akan jadi kluster penyebaran Covid-19 diharapkan tidak terbukti. Hingga  saat ini, tahapan kampanye pilkada masih terkendali, namun begitu, semua pihak harus tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Safrizal, yang juga Wakil Ketua Satgas Penanganan Covid-19 mengungkapkan hal itu dalam konferensi pers terkait dengan Monitoring Pilkada dan Penegakan Protokol Kesehatan, di Operation Room Gedung B Lantai 2, Jakarta, Selasa (17/11/2020).

Menurutnya, tahapan pilkada selalu dievaluasi dan belum terbukti  akan menimbulkan kluster baru.

"Berdasarkan data yang kami kumpulkan, malah terjadi penurunan zonasi risiko. Kami kasih contoh, pada awal kita menyelenggarakan kampanye, kami start-nya dari tanggal 6 September, sudah mulai menyelenggarakan kampanye pilkada. Zonasi daerah merahnya itu pada 45 daerah, dari 309 daerah menyelenggarakan pilkada, baik pilkada bupati/wali kota maupun gubernur," ujarnya.

Baca Juga: Pilkada di Tengah Covid-19, Kemendagri : Berjalan Kondusif dan Terkendali

Namun berdasarkan data terakhir per 8 November, zona merah di daerah yang menggelar pilkada, atau dari 309 daerah itu menunjukkan penurunan zonasi risiko. Zona merah menjadi 18 daerah.

Artinya, dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan di daerah pilkada, maka kekhawatiran bakal jadi kluster baru bisa dihilangkan.

" Tapi tentu saja dengan protokol kesehatan yang kuat ya, dan tentu saja dengan kerja sama semua pihak. Kita melakukan evaluasi mingguan terhadap daerah yang melakukan pilkada. Kita lakukan evaluasi, artinya dari 309 daerah yang melakukan pilkada dilakukan evaluasi. Ada 2 provinsi yang tidak kita ikutkan, karena sama sekali tidak ada pilkada di wilayahnya, yaitu Aceh, tidak ada kampanye provinsi dan tidak ada pula pilkada bupati/wali kota, kemudian Provinsi DKI Jakarta," tutur Safrizal.

Selain Aceh dan DKI Jakarta, kata Safrizal, 32 provinsi lainnya ada pilkadanya, baik pemilihan gubernur, bupati/wali kota. Evaluasi dilakukan secara reguler. Semuanya dibahas, mulai dari perkembangan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, juga data terkait pelanggaran protokol kesehatan.

"Data pelanggaran yang terbanyak ketika kampanye belum dimulai. Itu sebelum tanggal 6 September, dan pada waktu itu peraturan KPU Nomor 10 baru saja diterbitkan dan belum disosialisasikan,sehingga terjadi kerumunan dimana-mana. Akhirnya apa yang terjadi? Mendagri menegur 82 kepala daerah yang melakukan atau membiarkan juga ikut berkumpul berkerumun karena mengumpulkan massa yang banyak," kata Safrizal.

Baca Juga: Tentukan Nasib Anies Gegara Hajatan Rizieq, Kemendagri Tunggu Kabar Polisi

Tegurannya pun, kata dia, bukan lisan, tapi tertulis. Sementara terkait monitoring pelaksanaan pilkada di masa pandemi, dilakukan setiap minggu. Setelah itu digelar rapat evaluasi setiap bulannya yang dipimpin oleh Menkopolhukam, dan setiap 2 minggu sekali, rapat dipimpin oleh Mendagri.

"Ketika sebelum 6 September, itu ada teguran sebanyak itu, dan tentu saja Mendagri tidak dapat menegur pasangan calon karena di luar kewenangan. Jadi yang ditegur adalah kepala daerah yang merupakan kewenangan Mendagri, " katanya.

Sementara saat memasuki masa kampanye, lanjut Safrizal, monitor terhadap pasangan calon dilakukan oleh Bawaslu. Selama masa kampanye berlangsung, Bawaslu telah menegur hampir 306 pelanggaran protokol kesehatan.

Pelanggaran terhadap protokol kesehatan, mulai dari berkerumun dan tidak disiplin menggunakan masker.

"Tentu saja peraturannya berdasarkan PKPU Nomor 10. Dari 13.646 pertemuan atau kampanye tatap muka, pelanggaran ada 306, dan semuanya telah diberikan tindakan oleh Bawaslu sesuai dengan kewenangan di masa kampanye. Artinya, pelanggaranya 2,2 persen, dan ini tentu saja menurut penilaian kampanye, tidak cukup signifikan. Tidak ada juga pelanggaran yang masif sampai ribuan, karena jumlah berkumpul adalah 50 orang berdasarkan peraturan Bawaslu," ujarnya.

Yang menarik, kata Safrizal, justru di daerah yang tidak menggelar pilkada menunjukkan kenaikkan zonasi. Misalnya Aceh.

Zona kuning dan oranye di Aceh naik terus, padahal di Aceh tidak ada pilkada. Kemudian di DKI Jakarta.

Walaupun rata-ratanya sudah bisa dikendalikan, sebab rata-rata positif di ibu kota sekitar 1000-an, namun angkanya belum menunjukkan turun, walaupun sedikit fluktuatif.

"Oleh karenanya, kita tetap terus mengawal proses peningkatan disiplin protokol kesehatan di daerah pilkada, sehingga pelaksanaan pada 9 Desember  bisa dijalankan. Kami pastikan, dengan usaha yang sungguh-sungguh oleh semua pihak, semua sudah memiliki masker. Kenapa? gerakan masif bagi masker dan pakai masker justru terjadi di daerah yang menyelenggarakan pilkada, karena membagi bahan kampanye berupa masker, hand sanitizer, sabun, alat/mesin cuci tangan dan sebagainya masuk ke dalam golongan bahan kampanye yang diizinkan oleh KPU. Hari ini sudah kami cek seluruh pasangan calon, sudah memproduksi masker, boleh menampilkan gambar, nama dan nomor urut mereka, " ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI