Suara.com - Indonesia dapat kehilangan pasar tekstil dari Jepang dan Korea Selatan akibat dampak ketatnya persaingan dalam perjanjian perdagangan terbesar di dunia, Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Sementara, Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa masuknya Indonesia ke dalam lingkungan perdagangan yang kompetitif akan menghasilkan keuntungkan yang meluas, termasuk mendongkrak kualitas produk dan produktivitas industri dalam negeri.
Namun, ekonom Indef mengatakan dampak dari RCEP tidak akan terlihat sebelum Indonesia mengonsolidasi antara produk di level produksi dengan perdagangan, karena Indonesia masih terfokus di komoditas, sementara tertinggal dari sektor manufaktur yang menjadi prioritas global.
- China anggap kesepakatan dagang terbesar di dunia sebagai kemenangan China anggap kesepakatan dagang terbesar di dunia sebagai kemenangan
- RCEP: Mendulang peluang di tengah-tengah perang dagang AS-China
- Berharap keuntungan dari kerja sama perdagangan RCEP
RCEP diharapkan dapat menghilangkan berbagai tarif impor dalam waktu 20 tahun ke depan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartika mengatakan Indonesia kemungkinan akan kehilangan pasar Jepang dan Korea Selatan, dengan dihilangkannya halangan perdagangan dengan China melalui kesepakatan RCEP.
Dengan adanya RCEP, akses perdagangan China ke Jepang dan Korea Selatan akan terbuka lebar, mengingat sebelumnya ada rintangan tarif, kata Jemmy.
"Kita tahu semua industri tekstil ini sekarang mayoritas itu bahan bakunya, seperti poliester dan rayon, itu berpusat ada di China.
"Jadi China itu major produsen buat poliester dan rayon. Dengan ditandatangani RCEP, yang produk China ke Jepang dan ke Korea, yang dulunya dikenakan tarif, ini tarifnya bisa 0, dengan ada RCEP ini," kata Jemmy kepada BBC News Indonesia, Senin (16/11).
"Sebelumnya, anggota asosiasi kita itu ada yang bahan bakunya dari China, diproses di Indonesia, dijahit di Indonesia, diekspor ke Korea dan diekspor ke Jepang.
"Karena Indonesia dan Jepang, Indonesia dan Korea sudah ada perjanjian trade agreement, jadi tarif barang dari Indonesia ke Korea dan Jepang 0.
"Mungkin setelah RCEP ini, China ke Jepang, China ke Korea Selatan menjadi 0. Mungkin market Indonesia ke Jepang dan Korea agak sedikit terganggu," tambahnya.
Dikhawatirkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut akan kalah bersaing dengan China, mengingat produk dari China jauh lebih murah.
Dengan demikian, dikhawatirkan pula ekspor Indonesia ke Jepang dan Korea Selatan akan berkurang drastis dan menambah gap neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT).
Menurut data API, di antara negara-negara anggota RCEP, Jepang menempati urutan pertama sebagai tujuan ekspor TPT Indonesia, yakni senilai Rp18,6 triliun pada 2019.
Ini disusul China pada urutan kedua dengan nilai ekspor Rp10,6 trilliun pada 2019 dan Korea Selatan pada urutan ketiga dengan Rp8,5 trilliun di tahun yang sama.
Apa tantangan bagi Indonesia?
RCEP, yang ditandatangani pada Minggu (15/11) lalu, melibatkan 10 negara anggota ASEAN, ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.
Zona perdagangan bebas ini membentuk hampir sepertiga dari populasi dunia dan menyumbang 29% dari produk domestik bruto dunia.
Dalam konferensi pers menyusul penandatangan itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdanganan Internasional di Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo, menyatakan bahwa sebagai bagian dari langkah persiapan, Indonesia mesti memitigasi tantangan yang muncul dari implementasi perjanjian untuk sektor-sektor yang diperkirakan mengalami persaingan lebih ketat, dimana termasuk di antaranya industri tekstil.
Upaya mitigasi itu bertujuan agar Indonesia menjadi unggul di pasar domestik, yang akan turut menjadi pasar internasional, katanya.
Menurut World Trade Statistical Review 2020 yang dipublikasikan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia tergolong dalam daftar 10 negara terbesar pengimpor tekstil di dunia sepanjang 2019 dengan porsi 2,1 persen secara global.
Sementara, China, Korea Selatan dan Vietnam memasuki peringkat 10 besar negara-negara eksportir tekstil terbesar, masing-masing dengan porsi sebesar 39,2%, 3%, dan 2,9%.
Pengamat ekonomi: 'Persoalan bukan di perjanjiannya, tapi di dalam negeri'
Di sisi lain, peneliti senior Indef (Institute For Development of Economics and Finance), Enny Sri Hartati, mengatakan Indonesia harus mengonsolidasi produk yang disiapkan di perdagangan internasional sebelum bisa mengharapkan kesepakatan RCEP akan membuahkan hasil.
Sebab, menurut Enny, Indonesia masih terfokus pada komoditas, sementara prioritas ekspor global terletak di manufaktur.
Jika tidak, ia mengatakan Indonesia tidak akan merasakan keuntungan RCEP. Enny menjelaskan bahwa permasalahan fundamental efektivitas kerja sama perdagangan internasional, multilateral maupun bilateral, terletak di dalam negeri, bukan pada kerangka perjanjian perdagangannya itu sendiri.
"Jadi impor yang diperdagangkan di pasar global, 72,8%, adalah barang-barang manufaktur. Dari situ aja sudah ketahuan. Karena ekspor Indonesia, mostly, adalah komoditas.
"Jadi ketika Indonesia mengikuti berbagai macam perjanjian Free Trade Agreement - apakah itu RCEP, MEA atau bilateral sekalipun - itu persoalannya bukan di FTA-nya sebenarnya, tapi persoalannya di dalam negeri Indonesia," kata Enny, via telpon (16/11).
Contoh barang-barang komoditas primer dari Indonesia adalah seperti hasil eksplorasi tambang antara lain batu bara dan nikel, maupun dari perkebunan seperi minyak sawit mentah dan karet.
"Sehingga, sebenarnya yang diperlukan adalah konsolidasi antara produk di level produksi dengan perdagangan. Artinya industri dan perdagangan ini harus menjadi satu kesatuan.
"Jadi kalau kita melihat peluang-peluang ekspor, sehingga kita fasilitasi dengan berbagai menghilangkan kendala perdagangan, baik melalui tarif, maupun juga non-tarif, dan berbagai macam insentif, maka yang paling utama kan kita punya barang dulu yang diperdagangkan," tambah Enny.
Ia memberi contoh Vietnam yang berkembang menjadi salah satu pengkespor terbesar teksil dan produk tekstil.
"Di awal mengikuti perdagangan bebas, mereka impor juga untuk berbagai macam bahan baku untuk TPT, atau industry tekstil dan produk tekstil. Bahkan benang pun diawal-awal Vietnam impor," tutur Enny.
Apa keuntungan bagi Indonesia?
Juru bicara Kementerian Perdagangan, Fithra Fasial Hastiadi, mengatakan bahwa RCEP diperkirakan akan berkontribusi pada perkembangan perekonomian Indonesia sebesar 0,05% hingga 2032.
Sebaliknya, tambah Fithra, bila tidak ikut, produk domestik bruto Indonesia diperkirakan turun 0,07% pada periode yang sama.
"Tapi itu basis simulasi yang sebenarnya sifatnya masih sangat baseline, yang artinya konservatif, dan kalau misalnya bisa mengeluarkan best effort bahkan bisa lebih lagi dari 0,05% itu," kata Fithra, melalui sambungan telpon (16/11).
Keterlibatan Indonesia dalam kesepakatan dagang terbesar di dunia itu, tambah Fithra, akan menghasil apa yang ia sebut sebagai pull factor, yaitu faktor yang akan menarik Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya.
"Dengan kita joining the big league, ini sebenarnya menciptakan semacam pull factor buat kita untuk meningkat secara kualitas," ujar Fithra.
Hal ini disebabkan oleh manfaat yang akan diterima Indonesia dari memasuki lingkungan dengan persaingan yang lebih ketat.
"Karena, misalnya, dengan kita semakin terlibat dalam jaringan produksi dengan China dan juga Jepang, itu ada spill-over effect, ada knowledge spill-over.
"Bagaimana kita berkongsi dengan cukup solid dan ini bisa menjadi semacam topangan di jangka menengah dan panjang," tuturnya.
Lebih lagi, kesepakatan ini akan juga berdampak langsung terhadap peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
"Jadi dalam RCEP itu ada klausul cooperation - cooperation dari sisi peningkatan kapasitas teknis, terutama untuk sektor UMKM.
"Tapi saya rasa akan bisa lebih berkembang daripada itu. Jadi peningkatan compatibility, bagaimana produk-produk kita bisa comply dengan pasar global dan juga regional, ada pendampingan teknis dan seterusnya," kata Fithra.
Setelah ditandatangani, RCEP masih harus melalui tahapan ratifikasi sebelum diimplementasi.
'Jika tak tepat implementasinya, Indonesia hanya menjadi pasar'
Namun, ekonom dari LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Riefky, memperingatkan Indonesia harus hati-hati dalam menurunkan penerapan perjanjian, sebab jika tidak tepat implementasinya, ujungnya Indonesia akan jadi pasar, akibat kalah saing.
"Kalau kita terlambat dan tidak melakukan implementasi secara tepat, kita bisa kalah saing. Artinya, Indonesia dengan penduduk yang mencapai 270 juta penduduk ini, ujungnya hanya akan menjadi pasar, tidak menjadi tempat kita berproduksi.
"Jadi kita akan dibanjiri produk-produk asing yang ujung-ujungnya produsen domestik kita itu sendiri jadi makin tertinggal," kata Teuku.
"Jadi ini memang sebuah peluang, tapi peluang ini memang banyak tantangannya. Dan memang kita harus menyikapi ini dengan mindset yang positif karena memang ini sudah waktunya.
"Semua negara di dunia, tidak hanya negara maju namun juga negara berkembang, memang sudah berkompetisi ke arah situ.
"Jadi jangan sampai memang kita ketinggalan dalam transformasi yang progresif ini," tutupnya.