Suara.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan anggota Polri bernama AKBP Yogi Yusuf Napitupulu sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan gratiifikasi kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Senin (16/11/2020) hari ini.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, suami dari terdakwa Pinangki Sirna Malasari itu berurai air mata saat memberikan sejumlah kesaksian.
Yogi yang menjawab pertanyaan jaksa bercerita jika hubungannya dengan Pinangki mengalami keretakan. Sebagai pasangan suami dan istri, keretakan itu terjadi saat keduanya tinggal bersama di Ibu Kota.
Diketahui, Yogi beberapa tahun lalu berdinas di Bengkulu. Sedangkan Pinangki bertugas di Kejaksaan Agung.
Baca Juga: Boyamin MAKI Kecewa King Maker Tak Diungkap di Sidang Kasus Pinangki
"Bahwa memang semenjak kami tinggal di Jakarta, mulai ada permasalah dalam rumah tangga. Dari awal-awal ketemu sebulan sekali, tahunya yang indah saja. Begitu bersama banyak persoalan rumah tangga yang kecil, kami emosional, menjadi keributan dalam rumah tangga," kata Yogi.
Biduk rumah tangga Yogi mulai renggang sekitar tahun 2019. Sambil menitikan air mata, Yogi mengaku jarang berkomunikasi dan jarang tidur seranjang.
"Saat 2019, hubungan saya dengan Pinangki agak kurang baik, kami kurang berkomunikasi, tidur tidak sekamar," sambungnya.
Alasan tersebut lah yang membuat Yogi tidak banyak mengetahui soal perkara yang merundung istrinya. Terlebih, saat proses penyidikan, Yogi juga ditanya oleh penyidik terkait perkara tersebut.
"Saya ditanyakan Penuntut Umum masa saya tidak tahu sih? Jujur, saya nanya gitu saya sudah malas. pasti jadinya ribut. suasana ini yang mungkin tidak dipahami suami apaan? tapi itulah yang ada," ungkap Yogi.
Baca Juga: Ngaku Tak Pernah Dapat Uang dari Anita, Emosi Jaksa Pinangki Meledak
"Kalau bapak tahu perasaan saya saat itu, boro-boro saya mau nanya pak. Jadi tolong dipahami lah," pungkas dia.
Dakwaan
Pinangki didakwa menerima uang senilai 500 ribu Dolar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal itu dilakukan agar Djoko Tjandra --yang saat itu masih buron-- tidak dieksekusi dalam kasus hak tagih atau cassie Bank Bali.
“Terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah menerima pemberian atau janji berupa uang USD 500.000 dari sebesar USD 1.000.000 yang dijanjikan Joko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee yaitu supaya terdakwa mengurus fatwa Mahkamah Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana,” kata Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan.
Perkara ini dimulai saat Pinangki bertemu sosok Rahmat dan Anita Kolopaking pada September 2019. Saat itu, Pinangki meminta agar Rahmat dikenalkan kepada Djoko Tjandra.
Kemudian, Anita Kolopaking L akan menanyakan ke temannya yang seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa bagi Djoko Tjandra. Guna melancarkan aksi itu, Djoko Tjandra meminta Pinangkk untuk membuat action plan ke Kejaksaan Agung.
"Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Joko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut," lanjut jaksa.
Pada tanggal 12 November 2019, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kepada Djoko Tjandra, Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurus upaya hukum.
Jaksa pun mendakwa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor. Pinangki juga didakwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.