Suara.com - Bangladesh tengah merancang undang-undang yang mengatur hak warisan dimana seorang transgender dapat mendapat bagian warisan keluarga.
Meskipun negara berpenduduk 168 juta itu secara resmi sekuler, undang-undang warisan masih mengikuti hukum agama yang menyebutkan sebagian besar transgender dilarang mewarisi harta ketika orang tua mereka meninggal.
Menyadur Times Now News, Perdana Menteri Sheikh Hasina mengatakan pada pertemuan kabinet minggu ini bahwa undang-undang warisan baru untuk transgender sedang dirancang.
Kelompok transgender di Bangladesh dikenal sebagai hijra, istilah umum yang merujuk pada seseorang yang lahir sebagai laki-laki tetapi tidak menyebut diri mereka sebagai laki-laki atau perempuan.
Baca Juga: 4 Publik Figur Indonesia Ini Serukan Boikot Produk Prancis
"Kami mencoba untuk menyusun undang-undang sesuai dengan hukum syariah Islam dan konstitusi kami yang akan menjamin hak milik bagi anggota keluarga transgender," kata Menteri Hukum Anisul Huq kepada AFP.
RUU tersebut belum diusulkan di parlemen tetapi diharapkan dapat lolos dengan nyaman di badan legislatif.
Bangladesh telah mengizinkan transgender, yang berjumlah sekitar 1,5 juta orang, yang diidentifikasi sebagai jenis kelamin terpisah sejak 2013.
Tahun lalu kaum transgender diizinkan mendaftar untuk memilih sebagai jenis kelamin ketiga. Awal bulan ini, Bangladesh membuka sekolah Islam pertamanya untuk transgender Muslim.
Namun, komunitas LGBTQI masih menghadapi diskriminasi seiring dengan undang-undang era kolonial yang masih diberlakukan dimana pelaku seks gay dihukum.
Baca Juga: Ini Deretan 5 Produk Laris Asal Prancis Diboikot di Sejumlah Negara Muslim
Aktivis HAM menyambut baik langkah tersebut tetapi skeptis tentang apakah undang-undang tersebut akan dapat ditegakkan dengan banyak keluarga yang masih menolak keturunan transgender mereka.
"Sebagai seorang aktivis, saya senang masalah ini menjadi fokus. Tapi ini bukan hanya masalah undang-undang, melainkan membutuhkan perubahan di seluruh masyarakat," kata Ananya Banik, ketua kelompok hak transgender SadaKalo.
Banik mengatakan dia bergaung dengan kelompok dan menyatakan ia seorang transgender ketika dia berusia 16 tahun.
"Saya harus meninggalkan keluarga saya karena tekanan yang mereka terima dari keluarga lain ketika saya tumbuh dewasa. Dan saya tidak sendiri, ada ratusan ribu anggota komunitas kami yang harus meninggalkan keluarganya," jelas Banik.
Dia mengatakan banyak waria meninggalkan rumah mereka di usia muda, sering diusir dari keluarga, dan menghadapi kekerasan jika mereka kembali untuk mengklaim warisan.
Kelompok hak asasi juga takut akan reaksi dari kelompok garis keras agama. Pada 2015, ekstremis Islam membunuh seorang aktivis gay terkemuka dan editor majalah LGBTQI.