Rugikan Petani, Walhi Desak KLHK Batalkan Permen Soal Program Food Estate

Minggu, 15 November 2020 | 17:33 WIB
Rugikan Petani, Walhi Desak KLHK Batalkan Permen Soal Program Food Estate
Puluhan pendemo dari Walhi menggelar aksi teatrikal penyemprotan disinfektan saat berdemo di gedung MPR/DPR RI. (dokumen Walhi).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai program food estate yang dicanangkan pemerintah hanya memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.

Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati mengatakan penerbitan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

“Lahirnya permen ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” kata Nur Hidayati, Minggu (15/11/2020).

Dalam catatan Walhi, 33,45 juta hektar atau 26,57 persen kawasan hutan saat ini telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi.

Baca Juga: Naik Motor Trail, Menteri PUPR Tinjau Sistem Irigasi Food Estate di Kalteng

Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis.

Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.

Terlebih, setelah diundangkannya Omnibus Law Cipta Kerja / CILAKA (UU 11/2020), munculnya aturan seperti P.24 tentu akan makin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.

"Justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup, dalam prakteknya dan pengalaman selama ini, pelepasan Kawasan hutan seringkali berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Praktek tersebut bisa dilihat dari pengalaman selama ini, sejak proyek PLG di Kalimantan, hingga MIFEE di Papua," lanjutnya.

Lalu, proyek food estate juga berpotensi menimbulkan konflik agraria dan menyingkirkan rakyat yang akan dihadapkan dengan korporasi. Bahkan proyek ini berpotensi merugikan negara jika gagal menjadi lumbung pangan yang akhirnya berubah menjadi perkebunan sawit.

Baca Juga: Pencinta Alam Bentang Spanduk Tolak UU Ciptaker di Jembatan Layang Pasopati

Nur menyebut ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi atau DR yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan. Hingga catatan BPK atas MoU Kementan-TNI dalam cetak sawah yang meninggalkan banyak catatan, dari pemborosan, ketidaksesuaian lokasi, hingga memotong Kawasan lindung.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI