Suara.com - Perusahaan industri mobil Volkswagen berkeras untuk melanjutkan pengoperasian pabriknya di Xinjiang, sebuah kawasan di China yang dituduh terjadi pelanggaran hak asasi manusia berskala besar oleh negara.
Bukti adanya ratusan ribu orang etnis Uighur dan minoritas lainnya ditahan di kamp-kamp, atau dijadikan pekerja paksa di pabrik-pabrik, telah menyebabkan sejumlah perusahaan multinasional memutuskan hubungan dengan wilayah tersebut, walaupun China berkukuh klaim tersebut tidak benar.
Para pengkritik Volkswagen menganggap bahwa perusahaan itu memiliki kewajiban moral tertentu untuk tidak terlibat dalam praktik semacam itu, karena latar belakang sejarah pendiriannya.
Perusahaan ini didirikan oleh Partai Nazi Jerman yang berkuasa pada 1937 dan menggunakan pekerja paksa - termasuk tahanan kamp konsentrasi - di sejumlah pabriknya selama Perang Dunia II.
Baca Juga: Gawat! 330 Silent Carrier Terdeteksi di Xinjiang China
Tetapi dalam wawancara dengan BBC di Beijing, pimpinan perwakilan Volkswagen di China, Stephan Wollenstein, membela kehadiran pabrik perusahaannya di ibu kota Xinjiang, Urumqi.
Di Urumqi, pabrik itu memperkerjakan 600 orang, serta memproduksi hingga 20.000 kendaraan setiap tahun.
"Apa yang terjadi di masa Nazi adalah sesuatu yang terjadi di pabrik kami, ketika kami mempraktikkan kerja paksa, orang-orang yang memproduksi mobil Volkswagen," katanya.
"Ini tentu saja situasi yang tidak dapat diterima. Karena itulah, kami memastikan tidak ada tempat produksi kami yang mempraktikkan kerja paksa, dan ini adalah sesuatu yang secara khusus kami periksa di Urumqi dan saya jamin, kami tidak memiliki pekerja paksa."
Tetapi ketika ditanya apakah dia benar-benar yakin dengan klaim itu dan menjamin tidak ada tenaga kerja di Urumqi - yang sekitar 25% terdiri dari etnis Uighur dan minoritas lainnya - pernah berada di kamp, Dr Wollenstein mengatakan dia tidak bisa memastikannya.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di China Masih Bertambah, Terbanyak dari Xinjiang
"Kami berusaha untuk mengontrol proses-proses terkait perusahaan kami, termasuk proses sumber daya manusianya, yang artinya kami merekrut karyawan dengan cara terbaik," ujarnya.
"Dan bagi kami, ini mengurangi risiko terjadi sesuatu yang tidak kami sukai dan tidak sesuai standar kami. Tapi saya kira kami tidak akan pernah bisa mencapai kepastian 100%."
Bagi para pengkritiknya, pembelaan seperti itu menunjukkan kegagalan perusahaan itu.
Viola von Cramon-Taubadel adalah anggota Partai Hijau di Parlemen Eropa dan sebelumnya anggota Parlemen Federal Jerman dari wilayah Lower Saxony - negara bagian tempat markas besar Volkswagen.
"Mengapa mereka tidak bisa memastikan? Mereka harus memastikan bahwa tidak ada hubungan antara kamp kerja paksa dan perusahaan itu," katanya kepada BBC.
Bahkan apabila VW dapat membuktikan secara pasti bahwa rantai pasokan mereka bersih dari tuduhan itu, ada kritikan yang jauh lebih mendalam.
Karena membuka pabrik mobil di Xinjiang membutuhkan kemitraan dan persetujuan dari otoritas China, ada kekhawatiran hal itu berisiko memberikan dukungan diam-diam terhadap kebijakan penahanan massal dan penindasan etnis, yang kini semuanya sudah terbukti secara kuat.
Data satelit, kesaksian para saksi, dan catatan pemerintah China sendiri memperjelas adanya skala pembangunan kamp dan praktek kerja paksa di balik keberadaan buruh-buruh di berbagai pabrik.
Ketika China berkeras memberikan pelatihan de-ekstremifikasi bagi kelompok minoritas Muslim di Xinjiang, dan menjalankan skema penciptaan lapangan kerja berskala besar, agaknya tujuan sebenarnya adalah upaya paksa asimilasi identitas dan budaya bagi mereka yang tidak loyal terhadap negara.
Adanya kecaman dunia internasional dan kelompok hak asasi, dan sejumlah perusahaan merk terkenal menjauhkan diri, Volkswagen kehabisan langkah di Xinjiang.
"Bahkan dengan menempatkan pabrik di sana, tentu saja Partai Komunis mendapat legitimasi yang lebih besar," kata Von Cramon-Taubadel.
"Volkswagen mengetahui hal ini - mereka melakukannya secara pasti, demi mendapatkan keuntungan komparatif. Ini adalah masalah politik sejak awal - secara ekonomi tidak ada gunanya, sama sekali tidak masuk akal."
Volkswagen menyangkal keputusannya membuka pabrik di Xinjiang pada 2013 karena alasan politik ketimbang ekonomi.
Perusahaan asal Jerman ini juga menyatakan mereka melihat peluang jangka panjang yaitu pertumbuhan pasar yang menggiurkan dengan membuka pabrik di Xinjiang, China.
Lantaran jumlah mobil yang diproduksi di Xinjiang kurang dari 10% dari kapasitas 32 pabrik lainnya di China, Dr Wollenstein mengatakan mereka "senang untuk memproduksi lebih banyak lagi."
"Tetapi pasarnya masih belum sebesar yang seharusnya," katanya.
Ada hal lain yang tampaknya membedakan operasional pabrik VW di Xinjiang dengan pabrik mereka lainnya di China.
Tidak lama setelah produksi dimulai, sebuah laporan dari China menyebutkan bahwa pabrik tersebut melakukan kesepakatan dengan sebuah unit dari kesatuan polisi paramiliter.
Perusahaan tersebut akan menyumbangkan kendaraan dan sebagai gantinya, People's Armed Police- sebuah organisasi yang berperan di garis depan dalam melakukan pengamanan di Xinjiang - akan memberi karyawan VW berupa "pelatihan militer" dan "pendidikan patriotik" - frasa yang sering dikaitkan dengan program kamp yang lebih luas.
Dr Wollenstein mengatakan kepada BBC bahwa hanya dua mobil yang disediakan untuk unit tersebut - atas nama mitra China Volkswagen di pabrik Xinjiang, Saic Motor Corporation Ltd - dan dia tidak mengetahui adanya pelatihan semacam itu yang berlangsung di pabriknya.
Tetapi ketika didesak apakah itu bisa dilakukan di luar lokasi pabrik, dia mengakuinya, "kami mungkin tidak akan tahu".
"Saya mengatakan semua yang terjadi di luar pagar di semua lokasi produksi kami di seluruh China, dan apa yang terjadi pada karyawan kami pada waktu luangnya, itu berada di luar kendali kami."
Bagi para pengkritik Volkswagen, ini adalah persoalan sebenarnya yang mungkin merupakan salah satu dari sekian banyak kesuksesan.
Dominasi perusahaan ini di pasar China, di mana mereka menjual seperlima dari semua mobil-mobil baru, berisiko menjadikannya seperti sandera.
Von Cramon-Taubadel mengatakan bahwa dalam pertemuannya baru-baru ini dengan para eksekutif senior perusahaan itu, mereka mengakuinya.
"Mereka mengatakan kepada saya, syarat untuk setiap ekspansi perusahaan di China adalah setidaknya satu pabrik harus berbasis di wilayah barat," katanya.
"Dan mereka mencoba meyakinkan saya bahwa jika VW memutuskan secara sepihak untuk menutup [pabriknya di Xinjiang], mereka tidak dapat kembali memproduksi satu mobil pun di China."
Di depan publik, setidaknya, Volkswagen menegaskan dominasinya di pasar China menempatkannya pada posisi yang kuat.
"Kami telah terlibat di negara ini selama 37 tahun," kata Dr Wollenstein.
"Dan sebanyak kita bergantung pada China, mungkin China juga bergantung pada kami.
"Kami sangat percaya pada perspektif global, dan perdagangan bebas, serta melakukan bisnis sesuai dengan standar etika kami, akan membantu setiap negara di mana kami terlibat."