Hadapi Tsunami: Teknologi Secanggih Apapun Tak Berguna Kalau Warga Tak Siap

Siswanto Suara.Com
Jum'at, 13 November 2020 | 12:42 WIB
Hadapi Tsunami: Teknologi Secanggih Apapun Tak Berguna Kalau Warga Tak Siap
[Suara.com/Aldie Syaf Bhuana]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Teknologi secanggih apapun tidak akan bermanfaat secara maksimal jika masyarakat tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana tsunami yang kemungkinan akan terjadi, kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati.

"Semua teknologi, super komputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda," kata Dwikorita ketika membuka webinar dalam rangka peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia, Jumat (13/11/2020).

Dalam webinar Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang diperingati setiap 5 November, Dwikorita mengatakan aspek kultur, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.

Menurut dia, apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.

Baca Juga: Prediksi Ahli: Jika Terjadi Patahan Megathrust Mentawai, akan Gempa 8,9 SR

BMKG telah membangun sistem peringatan dini tsunami, yaitu Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak 2008.

Perwakilan Unesco Indonesia Ardito M. Kodijat dalam acara itu mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.

"Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan," ujar Ardito.

Dia mengatakan dalam keadaan darurat tsunami, risiko kehilangan nyawa dan harta benda masyarakat pesisir dengan tingkat kesiapan rendah atau tidak ada sangat tinggi.

Selain itu, rantai peringatan yang lemah atau terputus, sehingga informasi tidak sampai ke masyarakat juga tidak ada arahan untuk masyarakat mengevakuasi diri. Hal itu bisa karena ketidaksiapan SDM, prosedur atau masalah teknologi.

Baca Juga: Waspadai Gempa Kembar Mentawai, Ingat Tsunami 2010

Menurut dia, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.

Skenario terburuk

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat mengatakan berdasarkan pendapat para ahli jika terjadi patahan Megathrust Mentawai, akan terjadi gempa bumi berkekuatan 8,9 magnitudo.

"20 sampai 30 menit kemudian disusul gelombang tsunami di Kota Padang setinggi enam hingga 10 meter dengan jarak dua hingga lima kilometer," kata Kepala Bidang PK BPBD Provinsi Sumatera barat Syahrazad Jamil dalam diskusi virtual terkait upaya pengurangan risiko bencana tsunami di Sumatera Barat.

Bencana alam tersebut diprediksi setidaknya berdampak pada 1,3 juta penduduk. Dengan menggunakan skenario terburuk, diperkirakan 39.321 jiwa meninggal dunia, 52.367 hilang dan 103.225 mengalami luka-luka.

"Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandara Minangkabau hancur, itu prediksi para ahli," katanya.

Pulau Sumatera sudah mengalami beberapa kali bencana tsunami. Khusus di Sumatera Barat, tsunami terjadi di Kepulauan Mentawai pada 25 Oktober 2010 dengan menelan korban jiwa hingga 408 orang.

Guna mewaspadai kemungkinan terburuk tersebut, Provinsi Sumatera Barat melakukan berbagai upaya, di antaranya membangun kemitraan dan koordinasi bersama non governmnet organization nasional maupun internasional termasuk lembaga swadaya masyarakat.

Pemerintah Sumatera Barat juga bekerja sama dalam pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana dan kelompok siaga bencana hingga tingkat desa atau kelurahan.

Selanjutnya, kerja sama dengan TNI dan Polri terus diperkuat dalam hal penanggulangan bencana termasuk dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta di provinsi tersebut.

Tidak hanya itu, program dan kegiatan pengurangan risiko bencana juga terus dikuatkan dengan membentuk satuan pendidikan aman bencana, kelompok siaga bencana, latihan evakuasi mandiri dan pembangunan sarana mitigasi serta evakuasi berupa shelter, peta jalur evakuasi, dan peringatan dini.

"Bantuan shelter yang kita bangun memberikan rasa aman bagi masyarakat. Apalagi, sejak kejadian gempa 2009 sudah menjamur bangunan seperti hotel yang memberikan rasa aman," katanya.

REKOMENDASI

TERKINI