Suara.com - Hingga 200 ribu pengungsi diyakini akan menyeberang ke Sudan, demi menghindar dari perang saudara yang berkecamuk di kawasan Tigray. PBB mengkhawatirkan bencana kelaparan bagi sekitar dua juta penduduk di daerah konflik.
Pemerintah Sudan mengantisipasi lonjakan arus pengungsi dari Ethiopia yang didera perang saudara. Operasi militer yang digalang pemerintah pusat Ethiopia terhadap kawasan Tigray di utara diprediksi bakal memicu sekitar 200.000 warga sipil untuk meninggalkan kampung halamannya.
Hingga berita ini diturunkan, sudah sekitar 6.000 penduduk Ethiopia yang mengungsi ke Sudan, termasuk korban luka. Sejak operasi militer dilancarkan, arus pengungsi dikabarkan semakin deras.
Di dalam Tigray, antrian pembeli memenuhi toko-toko penjual kebutuhan pokok seperti roti. PBB melaporkan rombongan truk pengangkut bantuan kemanusiaan masih terdampar di pintu perbatasan, kata Sajjad Mohammad Sajid, Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di Ethiopia.
Baca Juga: Pembantaian Tewaskan 54 Orang di Ethiopia, Ternak Dijarah dan Rumah Dibakar
“Kami membutuhkan akses bantuan kemanusiaan secepat mungkin,” katanya kepada kantor berita AP.
“Bahan bakar dan bahan pangan sangat dibutuhkan segera.”
Menurutnya hingga dua juta penduduk yang bertahan di Tigray akan menghadapi “masa yang sangat, sangat sulit,” termasuk mereka yang mengungsi di negeri jiran.
Lintas komunikasi dari dan ke Tigray saat ini dilaporkan lumpuh, sejak PM Abiy Ahmed memerintahkan operasi militer sepekan lalu.
Dia bersikeras menuduh partai politik lokal duluan yang mendalangi serangan terhadap pasukan pemerintah. Akibatnya sekitar 900 petugas bantuan kemanusiaan terjebak di kawasan konflik, tanpa bisa menghubungi dunia luar.
Baca Juga: 50 Orang Tewas Saat Protes Penembakan Penyanyi Ethiopia
“Sembilan badan PBB, termasuk 20 LSM, semua bergantung dari dua kantor” di Tigray untuk berkomunikasi, tutur Sajjid.
Perang sulitkan penyaluran bantuan Abiy yang di awal masa jabatannya mendapat hadiah Nobel Perdamaian bersikeras tidak akan menerima negosiasi damai dengan pemerintah daerah Tigray yang dianggapnya ilegal.
Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) sebelumnya mengabaikan larangan pemerintah dengan menggelar pemilihan umum regional, September silam.
Uni Afrika mendesak perdana menteri meredakan eskalasi konflik yang mengancam stabilitas di kawasan strategis, namun rawan konflik tersebut.
Inggris juga melobi pemerintah di Addis Abeba agar menyepakati gencatan senjata. Adapun AS belum memberikan komentar apapun.
Sejauh ini perang belum berhenti berkecamuk. Armada jet tempur Ethiopia masih lalu lalang di langit Tigray, meninggalkan ratusan mayat warga sipil yang tewas dalam serangkaian serangan udara.
Adapun penutupan bandar udara dan blokade terhadap semua jalan penghubung utama mempersulit ruang gerak penduduk untuk mengevakuasi diri. Sejak pekan lalu sambungan telepon dan internet sudah diputus pemerintah.
Kepala kantor bantuan kemanusiaan PBB di Addis Abeba, Sajjid mengeluhkan blokade jalan “menyulitkan tugas kami untuk memastikan pasokan bantuan kemanusiaan untuk hampir dua juta orang.”
“Sayangnya situasi ini mungkin tidak bisa diatasi oleh semua pihak dalam satu atau dua pekan,” tutur Sajjid.
“Kelihatannya ini akan jadi konflik yang panjang.”
Pemerintah federal Ethiopia dan pemerintah regional Tigray saling menyalahkan siapa yang memulai konflik. Masing-masing pihak menuduh pihak lain tidak memiliki mandat atau ilegal.
Konflik antaretnis di Ethiopia TPLF merupakan partai penyangga koalisi pemerintahan Ethiopia, sebelum langkah reformasi Abiy mengasingkan petinggi partai, dan memaksa TPLF meninggalkan koalisi.
Reformasi Abiy banyak dikritik karena dianggap mencederai konstitusi. Menurut UU Dasar Ethiopia, kekuasaan dibagi rata terhadap sembilan wilayah etnik, termasuk Tigray.
Sejak awal etnis Tigray bersikap skeptis terhadap seruan persatuan nasional yang digembar-gemborkan Abiy. Bagi kawasan berpenduduk lima juta orang itu, kekuasaan sang pemenang nobel lebih dianggap sebagai ancaman ketimbang harapan, lapor Financial Times, Maret tahun lalu.
Sejak mengusir rezim junta militer yang dibenci pada 1991 lalu, TPLF mendominasi politik lokal di Tigray. Hingga kini kelompok yang masih tercantum dalam Daftar Terorisme versi AS itu masih mempertahankan kekuatan tempurnya, dan sebab itu diyakini akan mampu menyeret pemerintah dalam perang tidak berkesudahan.
Kawasan Tigray saat ini diprediksi menampung seperempat juta gerilayawan bersenjata. Sementara dari enam divisi lapis baja militer Ethiopia, empat di antaranya berbasis di Tigray.
Mereka adalah sisa kekuatan tempur yang ditanam di kawasaan itu dalam perang di perbatasan dengan Eritrea.
PM Abiy sendiri membangun reputasi dunia sebagai juru damai antara lain berkat kiprahnya menyepakati gencatan senjata dengan jiran di utara.
Meski begitu, Eritrea hingga kini belum sepenuhnya berdamai dengan TPLF. Selasa (10/11) lalu, presiden Tigray menuduh Eritrea bersekongkol dengan pemerintah Ethiopia mendalangi serangan militer terhadap wilayahnya.
“Perangnya berlanjut ke ronde yang berbeda,” kata dia.
Pemerintah Ethiopia sendiri enggan mengomentari tuduhan tersebut. Sementara itu, Sudan meminta lembaga-lembaga bantuan PBB mempercepat respon terhadap arus pengungsi di provinsi Kassala dan Qadarif yang terletak di perbatasan Ethiopia.
“Semakin banyak perang, termasuk yang luka dalam perang, masih akan datang,” kata Al Sir Khalid, Kepala Lembaga Bantuan Pengungsi PBB di Kassala.
“Mereka datang dalam kondisi lelah dan kehausan. Mereka kelaparan karena harus berjalan di kawasan yang tandus,” kata dia sebelum menambahkan bahwa situasi kemanusiaan di perbatasan memburuk dengan cepat. rzn/gtp (ap, rtr, afp)