Apa yang Terjadi Jika Trump Tolak Tinggalkan Gedung Putih?

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 10 November 2020 | 18:29 WIB
Apa yang Terjadi Jika Trump Tolak Tinggalkan Gedung Putih?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sepanjang 244 tahun sejarah berdirinya Amerika Serikat, belum pernah ada presiden yang menolak hengkang dari Gedung Putih setelah kalah pada pemilihan umum.

Peralihan kekuasaan secara tertib, sah, dan damai adalah salah satu keunggulan dalam demokrasi Amerika.

Karenanya, ketika Donald Trump menyatakan dirinya menolak menerima kekalahan dari Joe Biden, tercipta situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sekaligus meresahkan masyarakat Amerika Serikat.

Para analis kemudian ditantang untuk menyusun sejumlah skenario yang sebelumnya tidak terpikir bakal terjadi.

Baca Juga: Profil Melania Trump, Mantan Model yang Sempat Menjadi Ibu Negara AS

'Jauh dari usai'

Trump sedang bermain golf di luar Washington DC tatkala sejumlah media arus utama AS memproyeksikan kemenangan Biden pada 7 November.

Sesaat kemudian tim kampanye Trump merilis pernyataan yang menegaskan bahwa "pemilu jauh dari usai".

"Kita semua tahu Joe Biden terburu-buru tampil sebagai pemenang secara keliru, dan mengapa sekutu-sekutunya di media berupaya sangat keras membantunya: mereka tidak mau kebenaran diungkap," katanya dalam pernyataan.

"Fakta sederhananya adalah pemilu jauh dari usai," lanjut pernyataan tersebut, seraya mengindikasikan Trump akan terus menentang hasil pemilu melalui berbagai gugatan hukum dengan menuding terdapat kecurangan.

Konstitusi AS secara jelas menyatakan bahwa masa jabatan presiden berakhir "pada tengah hari, 20 Januari".

Baca Juga: Tak Hanya Trump, Kubu Biden Juga akan Ajukan Gugatan Terkait Pilpres AS

Joe Biden diproyeksikan menang di sejumlah negara bagian yang membuatnya dapat meraih 270 suara dalam sistem Electoral College. Dengan demikian, dia punya hak untuk menjabat presiden selama empat tahun mendatang.

Adapun Donald Trump masih memiliki kewenangan sah yang dapat dia gunakan untuk menggugat hasil pemilu.

Namun, jika tidak ada peristiwa dramatis di pengadilan dalam waktu dekat dan bukti kejanggalan dalam pemilu yang dia sebut-sebut ternyata nihil, presiden baru akan mulai menjabat pada 20 Januari dan Trump harus lengser.

Usir dari Gedung Putih

Selama berkampanye, Trump sudah blak-blakan memperingatkan bahwa dirinya tidak akan menerima kekalahan.

Dia berulang kali mengatakan dirinya sudah bertekad akan tetap berkuasa, terlepas dari apapun yang dikatakan para pejabat komisi pemilu umum.

Dia bahkan mengindikasikan satu-satunya cara dia bisa kalah adalah jika terdapat kecurangan.

Sejak itu berbagai kalangan di AS mulai mendiskusikan apa yang bakal terjadi jika Trump mewujudkan ancamannya dan mencoba mempertahankan kekuasaan.

Hipotesis ini bahkan dikemukakan Joe Biden saat berkampanye.

Dalam wawancara yang disiarkan televisi pada 11 Juni, komedian Trevor Noah bertanya kepada Biden apakah dia sudah berpikir mengenai kemungkinan Trump menolak hengkang dari Gedung Putih jika kalah pemilu.

"Ya, saya sudah memikirkannya," jawab Biden, dengan menambahkan bahwa dirinya yakin dalam situasi tersebut militer bakal berwenang mengusir Trump dari Gedung Putih.

Keyakinan Biden bahwa para pemilih, bukan kandidat, yang menentukan hasil pemilu ditegaskan oleh tim kampanyenya pada Jumat (06/11):

"Rakyat Amerika akan menentukan pemilu ini, dan pemerintah Amerika Serikat sangat mampu mengawal penerobos keluar dari Gedung Putih."

Boleh jadi Marshal AS atau Dinas Pengamanan Presiden yang bertugas mengawal Trump keluar dari kediaman presiden.

Dinas Pengamanan Presiden atau Secret Service adalah sebuah institusi yang tak hanya bertanggung jawab atas keamanan presiden, tapi juga punya kewajiban dalam hukum untuk melindungi semua mantan presiden.

Institusi tersebut akan terus melindungi Trump setelah 20 Januari.

Sejak proyeksi kemenangan Biden dalam pemilu AS semakin jelas dan kemenangannya bakal diumumkan, Secret Service telah meningkatkan pengamanan terhadap sang presiden terpilih.

Bahkan, pengamanan terhadap Biden sudah mencapai taraf "pengamanan presiden", walau Trump berkeras Partai Demokrat telah kalah.

Skenario yang tidak terpikirkan?

Jika situasi paling ekstrem terjadi, dan Trump tetap menolak hengkang dari Gedung Putih, mungkin perlu mengevaluasi loyalitas pasukan pengamanan terhadap presiden.

BBC bertanya kepada sejumlah pakar apakah mungkin Trump mencoba menggunakan pasukan keamanan negara untuk mempertahankan kekuasaan secara ilegal.

"Akan sulit dan akan menghancurkan norma-norma penting bagi seorang presiden untuk menyalahgunakan kekuasaan demi mempertahankan jabatan setelah tampak kalah dalam pemilu.

"Namun, bukannya itu tidak terbayangkan," kata Professor Dakota Rudesill, pakar kebijakan keamanan nasional dan legislasi yang berafiliasi dengan Ohio State University di AS kepada BBC.

"Tindakan itu bakal menimbulkan kerusakan besar pada negara, pada prinsip-prinsip penting mengenai hubungan sipil-militer, dan pada masa depan demokrasi di dunia," tambahnya, mewanti-wanti.

Bagaimanapun, kata Rudesill, dalam pandangannya, skenario Trump mempertahankan kekuasaan dan disokong pasukan keamanan, tidak mungkin terjadi.

"Personel militer bersumpah setia pada konstitusi, bukan pada politisi yang sekarang menjabat.

"Dan perwira dengan kedudukan militer tertinggi di negara ini, Jenderal Mark Milley selaku Kepala Staf Gabungan, telah berulang kali mengatakan militer tidak punya peran dalam pemilu ini."

Profesor Rudesill bukanlah satu-satunya pakar yang mengkaji topik ini. Ahli lainnya adalah Keisha Blaine, profesor University of Pittsburgh yang merupakan pakar kajian gerakan protes sosial.

"Fakta bahwa kita harus bertanya kepada diri kita, apakah pasukan bersenjata akan turun tangan dalam pemilu, mengungkap banyak hal mengenai kondisi menyedihkan di negara kita," paparnya kepada BBC.

"Empat tahun lalu, banyak orang Amerika yang tidak memikirkan hal ini. Namun, setelah melihat Trump mengerahkan personel federal [dalam kericuhan] di Portland dan Washington dalam beberapa bulan terakhir, hal ini menjadi kerisauan serius.

"Menurut saya, skenario ini tidak akan terjadi, namun kita tidak bisa mengesampingkan bahwa ini adalah kemungkinan serius mengingat apa yang telah terjadi tahun ini," tuturnya.

Pada saat rangkaian protes muncul bersama dengan gerakan anti-rasisme pada pertengahan tahun ini, Trump mempertimbangkan untuk mengerahkan militer guna membubarkan demontrasi tersebut.

Pada 5 Juni, harian the New York Times mengklaim bahwa Jenderal Miller meyakinkan Trump untuk tidak memberlakukan Undang-Undang Pembangkangan tahun 1807 guna mengerahkan pasukan aktif untuk meredam serangkaian aksi protes.

Harian itu menulis UU tersebut adalah "garis yang menurut para perwira militer Amerika tidak akan mereka langkahi, walaupun presiden memerintahkannya".

Pada akhirnya Trump memerintahkan pengerahan Garda Nasional, yang tergantung dalam keadaan, bisa bertindak di bawah kewenangan presiden dan/atau gubernur negara bagian.

Para personel dari pasukan keamanan non-militer di bawah kewenangan Departemen Keamanan Dalam Negeri juga dilibatkan untuk meredam rangkaian aksi demonstrasi di Washington, Portland, dan sejumlah kota lainnya.

Dari kejadian itu, beberapa kalangan berspekulasi bahwa jika terjadi krisis terkait pemilu, Trump berpotensi mengerahkan personel bersenjata dari kesatuan non-militer.

Akan tetapi, jika pasukan bersenjata diasumsikan tidak bersedia dikerahkan untuk mempertahankan jabatan Trump, sulit dibayangkan Trump bisa sukses melanggengkan kekuasaan di Gedung Putih..

Aksi kekerasan saat menunggu presiden baru?

Professor Rudesill mengaku khawatir dengan adanya skenario-skenario ini.

"Saya telah menulis mengenai kemungkinan Presiden Trump akan mencoba menggunakan perintah eksekutif, atau Departemen Kehakiman yang dikendalikan sekutu-sekutu politiknya akan berupaya mengeluarkan 'perintah', yang mengindikasikan Kewenangan Eksekutif harus menganggap Trump sebagai pemenang pemilu yang disengketakan," kata Rudesill kepada BBC.

Namun, dia mewanti-wanti langkah tersebut "sangat tidak pantas dan tidak bisa diterima."

"Memerintahkan militer untuk terus memberi hormat kepada presiden di luar masa jabatannya pada tengah hari 20 Januari akan menempatkan militer dalam situasi mustahil," tuturnya.

"Setengah dari seluruh penduduk di negara ini dan banyak lainnya di dunia akan berpikir bahwa militer AS yang apolitis telah mengambil posisi partisan. Militer seharusnya tidak pernah menerima perintah semacam itu," kata Professor Rudesill.

Dan, lepas dari kondisi ekstrem manakala otonomi pasukan keamanan dipertaruhkan akibat perselisihan partai politik, kalangan lainnya memperingatkan situasi politik saat ini bisa memunculkan kekerasan di ranah lain.

Situasi ketika kandidat yang kalah menolak menerima kekalahan bisa memunculkan "kemungkinan huru-hara sipil serius," tegas Keisha Blaine kepada BBC.

Retorika presiden "telah meningkatkan kemungkinan asi protes dan bahkan kekerasan," ujarnya.

Situasi di berbagai kota di AS dalam beberapa bulan terakhir, tatkala para demonstran gigih mengungkapkan sokongan kepada presiden, dan pada saat bersama muncul kelompok-kelompok oposisi radikal yang beberapa di antaranya juga bersenjata, adalah pengingat potensi kekerasan yang dimunculkan ketegangan politik di AS saat ini.

REKOMENDASI

TERKINI