Negara Terbelah dan Keluarga Terpecah di Tengah Persaingan Trump-Biden
Persaingan sengit antara Donald Trump dan Joe Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 berdampak pada terpecahnya masyarakat di negara tersebut.
Suara.com - Persaingan sengit antara Donald Trump dan Joe Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 berdampak pada terpecahnya masyarakat di negara tersebut.
Dalam pidatonya di Delaware, Jumat (06/11), calon presiden Joe Biden menegaskan tujuan pemilu ini "bukanlah menciptakan permusuhan tanpa berhenti, tapi menyelesaikan masalah".
Ia kemudian mengajak seluruh masyarakat AS bersatu.
"Kita mungkin lawan, tapi kita bukan musuh, kita adalah warga Amerika. Mari buang kemarahan. Saatnya bersatu sebagai bangsa dan pulih," katanya.
Baca Juga: Tegas! Biden Ogah Mundur dari Pencalonan Pilpres 2024 Walau Dipaksa Gegara Tampil Buruk
- 'Skenario kiamat' yang ditakutkan rakyat Amerika mulai terwujud
- Joe Biden menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2020
- Kalah atau menang, Trump telah mengubah dunia
Di luar Gedung Putih, para pendukung Biden pada Sabtu (07/11) berkumpul sembari berharap bahwa kandidat dari Partai Demokrat itu akan menang.
Suasananya begitu meriah dan riang, mengingat Biden saat itu telah unggul di beberapa negara bagian kunci pertarungan.
Di tengah keriangan tersebut, seorang demonstran duduk di sebelah sebuah papan besar bertuliskan: "Stop Membenci Satu Sama Lain Karena Anda tidak Sependapat".
Demonstran itu bernama Don Folden. Menurutnya, AS kini terbelah dan mengalami disfungsi.
"Ada sejumlah keluarga yang tidak mau bicara satu sama lain. Saya ingin Biden menyatukan kami. Dan dia tidak lagi perlu pelatihan kerja. Kini Amerika menjadi bahan tertawaan dunia dan kami ingin seseorang membersihkannya," papar Folden kepada wartawan BBC di AS, Laura Trevelyan.
Lebih dari 1.000 kilometer dari tempat Folden duduk, terdapat Maya yang tinggal di Negara Bagian Georgia.
Maya, warga Indonesia yang telah bermukim di Amerika Serikat sejak 2003, menceritakan polarisasi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya amat nyata.
"Saya lihat satu rumah itu bisa membuat demarkasi seperti di daerah saya. Saya lihat yang terakhir itu, di halaman rumah mereka juga tampak perpecahan. Misalnya, bapaknya memilih Trump/Pence, anaknya memilih Biden/Kamala. Mereka bikin demarkasi dan pasang gambar masing-masing [capres]. Yang bingung ibunya, mau ikut suami atau anaknya?
"Itu salah satu kecil saja. Dalam satu rumah pun perbedaan politiknya terlihat sangat jelas," kata Maya kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Ketegangan antarlapisan masyarakat di AS
Lindy Backues, profesor madya di Eastern University, Philadelphia, pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun.
Seperti dituturkan kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, Lindy Backues menjabarkan bahwa pendukung setia Trump umumnya adalah warga kulit putih dari kawasan pedesaan, sedangkan pendukung Biden umumnya warga perkotaan.
"Ketegangan masyarakat tidak seburuk ini sebelumnya. Tidak berarti tidak ada, karena memang 20, 30,40 tahun yang lalu kita harus sadari bahwa orang kulit hitam, orang kulit cokelat, para imigran, biasanya suara mereka waktu itu tidak didengarkan.
"Saat itu, orang kulit putih - dan memang saya sebagai bagian dari mereka - lebih cenderung untuk paling berkuasa. Jadi tidak ada ketegangan waktu itu karena hanya cuma ada satu kelompok yang menguasai segalanya.
"Sekarang ini, walaupun tegang dan sangat memprihatinkan keadaan yang kita hadapi sekarang ini, itu juga menandai bahwa kita ada suksesnya juga karena lebih banyak orang dari kelompok-kelompok yang lainnya, yang tidak semuanya kelihatan seperti saya orang kulit, mulai didengarkan.
"Tetapi prosesnya untuk membiarkan mereka bersuara, justru itu yang mendatangkan oposisi dari orang desa."