Suara.com - Joe Biden diumumkan sebagai presiden AS terpilih pada Sabtu (7/11/2020), usai ia dan wakilnya, Kamala Harris, memperoleh lebih dari 270 electoral college--angka batas minimum untuk kemenangan kandidat, menurut sejumlah jaringan media yang menyediakan hasil hitung suara.
Data realtime The Associated Press hingga Minggu (8/11) dini hari waktu setempat, atau sore hari WIB, menunjukkan bahwa Biden berhasil meraup 290 electoral college; sedangkan sang rival, Donald Trump, kalah cukup jauh dengan 214 electoral college.
Berdasarkan sajian data yang sama, peta AS terlihat seimbang dalam warna biru, lambang Partai Demokrat pengusung Biden, dan warna merah, yang mewakili Partai Republik pengusung Trump. Namun secara popular vote pun, Biden tetap mengungguli Trump dengan selisih sekitar lima juta suara.
Joe Biden, sejauh ini--mengingat masih ada negara bagian yang belum diumumkan pemenangnya, mendapat 75.196.516 suara atau 50,6% sedangkan Donald Trump mengantongi 70.803.881 suara atau 47,7% dari total suara sah.
Baca Juga: Melania Trump "Berkicau" di Twitter Membela Suaminya setelah Kalah
Malam hari setelah pengumuman keunggulannya tersebut, Biden dan pasangannya, Kamala Harris, menyampaikan pidato kemenangan di hadapan para pendukung mereka di Negara Bagian Delaware, wilayah asal Biden.
"Injil mengatakan kepada kita bahwa selalu ada masa bagi setiap hal--masa untuk membangun, masa untuk menuai, masa untuk menanam. Juga ada masa untuk pulih. Sekarang adalah waktunya untuk pulih bagi Amerika," kata Biden yang disambut sorak sorai pendukungnya.
Presiden RI Joko Widodo, melalui akun media sosial resminya, telah menyampaikan selamat kepada Biden atas terpilihnya ia sebagai Presiden ke-46 AS, disertai dengan unggahan foto keduanya tengah berjabat tangan.
"Selamat saya haturkan kepada @Joe Biden dan @KamalaHarris atas pemilihan yang bersejarah. Jumlah pemilih yang tinggi menjadi cerminan dari harapan terhadap demokrasi," tulis Presiden Jokowi dalam bahasa Inggris pada sebuah cuitan di Twitter.
"Saya berharap dapat bekerja erat dengan Anda dalam memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS, serta mendorong kerja sama kita dalam bidang ekonomi, demokrasi, dan multilateralisme demi rakyat kedua negara," kata Jokowi menambahkan.
Baca Juga: Konferensi Pers di Tempat Parkir, Donald Trump Panen Cemoohan
Kembalinya Multilateralisme
Biden akan melakukan pendekatan yang berbeda sama sekali dari pendahulunya, Trump, baik dalam konteks politik dalam negeri maupun internasional, demikian proyeksi Ahmad Khoirul Umam, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina.
"Kepemimpinan Biden akan menjadi evaluasi dan koreksi total atas pendekatan dan kepemimpinan yang dijalankan oleh Donald Trump," kata Umam.
Menurut Umam, Trump dalam empat tahun jabatannya telah menjadi seorang tokoh yang erratic--sulit ditebak sikapnya, serta menampilkan karakter politik luar negeri yang nasionalistik, cenderung melihat ke dalam, dan "tidak terlalu menaruh respek pada nilai yang selama ini dipegang dalam tradisi politik AS."
Evaluasi itu termasuk soal sikap AS dalam menjalin relasi multilateral, misalnya dalam isu penanganan pandemi Covid-19, keamanan nuklir, juga respons global terhadap perubahan iklim.
Yang terbaru, di tengah situasi puncak pandemi pada awal Juli 2020, Trump menyatakan AS mengundurkan diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setelah menuduh lembaga itu tidak transparan dan condong kepada China dalam menyikapi wabah.
Sebelumnya, 8 Mei 2018, Trump mengumumkan AS mundur dari perjanjian nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), dan memilih menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran--suatu keputusan yang menjadi salah satu titik ketegangan AS-Iran hingga saat ini.
Dan hanya dalam waktu setahun setelah menjabat, tepatnya 1 Juni 2017, Trump mengumumkan bahwa AS akan menarik diri dari keikutsertaan pada Kesepakatan Paris--perjanjian negara-negara dunia untuk menanggulangi perubahan iklim dengan komitmen mengurangi emisi karbon yang diinisiasi pada 2015.
Berdasarkan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS harus menunggu hingga 4 November 2019 untuk memulai proses satu tahun sebelum akhirnya resmi keluar dari perjanjian tersebut pada 4 November 2020.
Sehari setelahnya, Biden menyatakan pemerintahannya nanti akan membawa AS kembali pada Kesepakatan Paris itu. Untuk WHO dan JCPOA, sebelumnya Biden juga telah menjanjikan hal serupa.
"Biden, sebagai penantang, akan melakukan langkah-langkah koreksi terhadap Trump yang dinilai bertolak belakang dengan karakter dasar AS. Biden juga akan mengembalikan tradisi liberalisme sebagaimana janji-janji restorasi kebijakan liberal AS yang disampaikan ketika ia berkampanye," tutur Umam.
"Saya yakin di fase tercepat, AS di tangan Biden akan mengonsolidasi barisan aliansi tradisional (pasca-Perang Dunia II) dan memperkuat kerja sama internasional, terutama terkait dengan penanganan pandemi COVID-19," kata dia.
Indonesia di Tengah AS-China
Beberapa hari menjelang pemilu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo--di bawah Presiden Trump--melakukan lawatan resmi ke beberapa negara Asia, Indonesia salah satunya. Pompeo bertemu Presiden Jokowi, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dan juga hadir dalam forum kerukunan beragama Gerakan Pemuda Anshor.
Dalam pidato di GP Anshor, misalnya, Pompeo dengan keras menyinggung isu Muslim Uighur di Xinjiang, dan menuding China sebagai "ancaman terbesar bagi masa depan kebebasan beragama".
China, yang meluncur pesat secara ekonomi dan pengaruh, khususnya di Asia, dinilai sebagai alasan besar AS dalam menjalin pendekatan dengan negara-negara kunci di kawasan, termasuk Indonesia.
"Kepentingan strategis di sejumlah kawasan lebih mendikte pola perilaku politik luar negeri Amerika Serikat. Ancaman yang paling signifikan di kawasan Asia Pasifik sekarang bukan Korea Utara atau Iran, tetapi China," ujar Umam.
Dalam analisisnya, Umam menyebut bahwa China bersiap menjalankan manuver di kawasan setelah dapat menebar pengaruh secara ekonomi dan politik di negara-negara Asia.
Ia mengambil contoh sengketa Laut China Selatan, di mana Indonesia--yang telah tegas menyatakan diri sebagai non-claimant atas area sengketa--tetap mendapat usikan teritorial dari China di wilayah perairan Natuna.
"Dari charming offensive strategy (serangan yang memesona), China beralih pada alarming offensive strategy (serangan yang mengganggu). Ini yang harus Indonesia pahami. Dan salah satu hal yang paling utama untuk menghadapi manuver Beijing dalam konteks ini adalah Amerika Serikat," kata Umam.
"Di bawah Biden, kita berharap AS dapat kembali hadir untuk memperkuat basis-basis pengaruhnya di sejumlah kawasan, termasuk di Asia Tenggara," kata dia menambahkan, merujuk pada kekuatan setara yang dimiliki AS untuk mengimbangi pengaruh China.
Bagaimanapun, di tengah rebutan pengaruh oleh dua negara besar tersebut, Indonesia tidak dapat pula memungkiri kepentingan terhadap salah satunya. Maka, menurut Umam, karakter politik bebas aktif Indonesia akan sangat berguna dalam situasi ini, demi tetap independen dan seimbang.
Biden, barangkali, akan memulai Amerika yang baru dan beda selama empat tahun masa kepemimpinannya. Dan Indonesia mesti bersiap atas segala kemungkinan dan peluang yang dapat muncul. (Sumber: Antara)