Suara.com - Sektor pariwisata Bali yang lumpuh akibat pandemi Covid-19 telah mendorong warga dan pemerintah setempat untuk beralih ke sektor pertanian sebagai alternatif sumber mata pencaharian warga.
Namun, jalur itu tidak lepas dari berbagai tantangan, termasuk tingkat permintaan yang rendah, serta sumber daya manusia yang tidak siap.
Potensi sektor pertanian Bali menjadi topik utama dikusi dalam program 'Bali's New Era' pekan lalu, yang merupakan salah satu dari rangkaian acara KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival yang diselenggarakan secara daring pekan lalu.
- Kisah sebuah desa di Bali yang berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan kembali bertani
- Pariwisata Bali terpuruk, rumput laut menyelamatkan warga Nusa Lembongan
- Indonesia masuk resesi, pemerintah disarankan fokus 'menangani pandemi' demi perbaikan ekonomi
Salah satu pembicara dalam acara itu adalah Ayu Sudana, seorang perempuan asal Bali. Perempuan berusia 35 tahun mengingat kembali masa kecilnya di kebun kopi milik keluarganya.
Ayu tumbuh besar di sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Kintamani. Di sana, ia sudah giat membantu orang tuanya di perkebunan sejak masih sekolah. Apalagi, ketika ayahnya memotivasinya dengan menawarkan hadiah saat masa panen. Ayu pun menjadi semakin semangat.
"Mereka selalu bilang begini ke saya, 'Gimana nih kalau misalnya kamu bantu bapak untuk memungut kopi yang jatuh-jatuh di bawah pohon?' Waktu itu saya kecil, 'saya beliin sepeda', seperti itu kan bapak ngomongnya, jadi saya mikirnya kalau saya bekerja nih dapat reward. Sebagai anak kecil itu saya bermotivasi sekali dengan omongan bapak saya itu," kata Ayu kepada BBC News Indonesia, dalam wawancara melalui sambungan telpon.
Meski demikian, antusiasme Ayu tidak langsung membawanya ke jalur pertanian seperti orang tuanya. Seperti banyak anak muda lainnya, dia memilih melanjutkan pendidikan di bidang pariwisata, lantaran sektor itu dinilai lebih menguntungkan. Ayu bahkan sempat menempuh karier di industri perhotelan hingga ke Dubai di Uni Emirat Arab.
Namun, ia tidak lama berkecimpung di bidang tersebut sebelum akhirnya pindah ke sektor logistik di negara itu. Di situ, ia kemudian bertemu seorang klien yang tertarik dengan kopi dari perkebunan keluarganya.
Saat itulah dia baru menyadari potensi produk hasil tani dari kampung halamannya.
"Dia suka, dan setiap kali saya ke Indonesia dia minta lagi. Jadi waktu itu, kadang saya bawain kopi luwak, kopi yang biasa juga. Lalu saya mulai market research di Dubai. Jadi saya bilang ke bapak dan ibu saya, coba deh kalau saya pasarkan di Dubai," tutur Ayu.
Langkah awal itu ia ambil enam tahun lalu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembangkan ide bisnis tersebut di Indonesia.
Hingga sekarang, kebun kopi milik keluarganya itu sudah memiliki mesin-mesin pengolah kopi yang lengkap, termasuk mesin pemanggang. Tujuannya, sebut Ayu, adalah untuk mendekatkan proses pemetikan kopi dengan penikmat kopi langsung.
Tiga tahun terakhir, Ayu bekerja keras untuk terus memajukan usaha bisnis keluarganya dan kini, bahkan sudah berhasil mengekspor biji kopi dari perkebunan keluarganya itu. Di tengah pandemi Covid-19, kemampuan ekspor ini yang berhasil menopang kebutuhan operasional perusahaan kopi yang dikelolanya.
'Tidak selalu bergantung pada pariwisata'
Memahami potensi sumber daya alam Bali, Ayu berharap sektor pertanian di pulau tersebut diprioritaskan, apalagi saat kesulitan akibat wabah virus corona. Sektor pariwisata, yang merupakan sumber utama kegiatan perekonomian Bali, kini lumpuh.
"Dengan Covid-19, mudah-mudah ini adalah pelajaran yang awal untuk Bali, terutama karena kita bergantung pada pariwisata, agar tidak selalu bergantung pada pariwisata lagi," ujar Ayu.
"Jadi kita gimana caranya bahwa tourism itu hanya menjadi salah satu income untuk Bali, bukan satu-satunya income untuk Bali. Dan juga, kita juga harus bersiap-siap melawan kompetisi negara lain," tambahnya.
Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah Provinsi Bali tengah mengubah pendekatan perekonomian demi menyeimbangkan struktur perekonomian wilayah itu agar tidak terlalu bertumpu pada sektor pariwisata dan mengembangkan potensi pertanian.
Kepala Dinas Pariwisata Bali, I Putu Astawa, mengatakan hal itu sudah mulai berjalan beberapa bulan, meskipun memang menghadapi berbagai tantangan. Sebab, kata Putu, kehadiran wisatawan bagaimanapun juga memiliki dampak terhadap perekonomian, karena kurangnya tingkat kedatangan berarti juga tingkat permintaan hasil tani juga tidak maksimal.
"Itu kan indikatornya itu bisa dilihat dari segi NTP - nilai tukar petaninya. Nah, sekarang kan persoalannya adalah pandemi Covid, di mana pandemi ini menyebabkan demand kita itu berkurang," kata Putu.
Mengutip data dari 2019, Putu mengatakan Bali tahun lalu mendatangkan 10.5 juta wisatawan nusantara dan 6.3 juta wisatawan mancanegara. Sementara, sejak pandemi bergulir pada awal tahun, Indonesia menutup perbatasan bagi kedatangan wisatawan mancanegara. Tingkat wisatawan domestik juga jatuh, kata Putu.
"Itu adalah demand. Dengan hilangnya wisatawan itu, berarti kan demand kita juga berkurang, sehingga di dalam kondisi pandemi ini, kita tidak bisa bicara normal," imbuhnya.
'Pertanian jangan jadi atraksi pariwisata'
Meski demikian, saat ini dianggap pegiat pertanian Bali sebagai momentum untuk mengembangkan sektor pertanian demi merevitalisasi perekonomian Pulau Dewata.
Begitu yang diutarakan oleh AA Gede Agung Wedhatama, seorang petani di Bali yang tergabung dalam gerakan Petani Muda Keren, gerakan yang bertujuan untuk menarik kaum muda ke sektor pertanian.
Agung juga percaya bahwa pertanian sesungguhnya yang menjadi sumber penghidupan utama warga Bali, sehingga paradigma itu harus diluruskan kembali demi memaksimalkan potensi sektor itu secara berkelanjutan. Ia mengatakan baru-baru ini bahkan, arah perkembangan pariwisata justru membuat pemahaman kepentingan pertanian menjadi keliru.
"Seolah-olah pertanian itu hanya menjadi atraksi pariwisata. Jadi banyak teman-teman yang membuat agro wisata untuk mendatangkan tamu. Saat tamu datang jadi mereka membuat kopi luwak, kopi-kopi apalah begitu, banyak. Tapi saat tamu nggak ada, tiba-tiba agro itu tutup. Jadi fokusnya bukannya di bertani tapi di pariwisatanya, jadi terbalik," kata Agung saat diwawancara via telpon.
"Nah, di momen Covid ini kita mau membenahi, itu bagusnya teman-teman di tourism. Kita pun di akar rumput berbenah. Jadi bagaimana tourism supporting agriculture," tambahnya.
Sebagai lulusan kuliah bidang informasi teknologi, Agung terdorong untuk menggabungkan unsur modern teknologi dengan elemen tradisional pertanian. Dengan cara ini, pria berusia 35 tahun itu ingin mengembangkan pertanian dan membuka peluang lebih luas bagi anak muda dalam sektor itu. Apalagi di tengah pandemi ini, banyak yang kehilangan pekerjaan di bidang pariwisata.
Agung sebagai ketua Forum Petani Muda Bali mengatakan mereka terjun ke desa-desa untuk mengembangkan kapasitas warga setempat.
"Jadi kita mengembangkan beberapa desa untuk kita ajak masyarakatnya kembali bertani. Karena sekarang kan di masa pandemi ini banyak sekali reurbanisasi masyarakat yang terdampak pandemi, terkena PHK, kehilangan pekerjaan, terutama yang di sektor pariwisata mereka kembali ke desa, sedangkan di desa mereka menjadi beban karena mereka secara finansial lemah dan menjadi demografi lebih.
"Padahal sebenarnya manpower ini semestinya menjadi kekuatan," kata Agung.