Suara.com - Jaksa menghadirkan Direktur Transwisata Prima Aviaton, Rustam Suhanda, dalam sidang lanjutan perkara surat jalan palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (6/11/2020). Dialah yang menyediakan pesawat tipe King Air 3501 untuk menjemput Djoko Tjandra dari Pontianak, Kalimantan Barat, menuju Ibu Kota.
Rustam mengatakan harga sewa pesawat tanggal 6 Juli hingga 8 Juli 2019 sebesar Rp350 juta.
"Rp350 juta untuk full trip tanggal 6 sampai 8 Juli. dokumen yang dibutuhkan surat tugas surat kesehatan surat negatif Covid. Itu dokumen yang kami butuhkan," kata Rustam.
Pesawat disewa Djoko Tjandra untuk mengurus Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus cassie Bank Bali.
Baca Juga: Layani Pimpinan Teken Surat Djoko Tjandra, Dokter Polri: Saya Tak Teliti
"Pembayaran cash," kata dia.
Awalnya, Anita Kolopaking yang kini jadi terdakwa kurang dalam memberikan dokumen terkait persyaratan. Dia tidak melampirkan surat keterangan yang berisi tinggi badan, berat badan, tekanan darah, dan golongan darah.
"Kalau persyaratannya kurang tidak bisa. Tidak akan bisa dapat izin penerbangan," kata Rustam.
Singkatnya, surat tersebut akhirnya dapat diurus Brigjen Prasetijo Utomo yang kini juga jadi terdakwa. Dia meminta bantuan asisten, Eti Wahyuni -- yang juga sebagai saksi dalam persidangan -- untuk surat kesehatan.
Eti meminta saksi Sri Rejeki Ivana Yuniawati (Pamin Satkes Pusdokkes Mabes Polri) untuk mengetik surat rekomendasi kesehatan sesuai perintah Prasetijo. Dengan demikian, dokumen untuk penerbangan dari Bandara Halim Perdanakusumah menuju Bandara Supadio, Pontianak sudah lengkap.
Baca Juga: Buat Surat Bebas Covid Djoko Tjandra, Saksi: di Internal Polri Harus Loyal
Rustam mengatakan pada 6 Juli 2020 bertemu dengan tiga orang yang hendak terbang menuju Pontianak dari Bandara Halim Perdanakusumah.
"Sebutkan siapa saja tiga orang tersebut?" kata Sirad.
"Pertama Anita Kolopaking, Pak Prasetijo, dan Jhony Andrijanto. Pulangnya menjadi empat orang," jawab Rustam.
"Siapa yang bertambah?" tanya hakim Sirad.
"Pak Djoko Tjandra," kata Rustam.
"Apakah saksi sempat berbicara dengan mereka?" kata jaksa.
"Sempat berbicara tapi tidak terlalu banyak," kata Rustam.
Kegiatan memalsukan surat ini bermula saat Djoko Tjandra -- yang saat itu berstatus buron cassie Bank Bali -- berkenalan dengan Anita Kolopaking di kantor Exchange lantai 106, Kuala Lumpur, Malaysia. Persamuhan itu berlangsung pada November 2019.
Saat itu, Djoko Tjandra berniat memakai jasa Anita Kolopaking untuk menjadi kuasa hukumnya. Dia meminta bantuan pada Anita Kolopaking untuk mengajukan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Selanjutnya, pada April 2020, Anita yang sudah menjadi kuasa hukum Djoko Tjandra, mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, dia tidak menghadirkan kliennya selaku pihak pemohon.
Imbasnya, permohonan PK itu ditolak oleh pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keputusan itu merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2012.
Djoko Tjandra yang saat itu berada di luar negeri tidak ingin diketahui keberadaannya -- bahkan nyalinya menciut karena takut dieksekusi. Akhirnya, dia meminta Anita Kolopaking untuk mengatur kedatangannya ke Jakarta dengan mengenalkan sosok Tommy Sumadi.
Tommy lantas mengenalkan Anita Kolopaking dengan sosok Brigjen Prasetijo Utomo. Diketahui, sang jenderal bintang satu itu sedang menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Kepada Brigjen Prasetijo, Anita Kolopakaing berbincang soal kliennya yang hendak datang ke Ibu Kota. Selanjutnya, Brigjen Prasetijo mengurus keperluan kedatangan Djoko Tjandra dengan membuat surat jalan, surat keterangan kesehatan, dan surat-surat lain terkait dengan pemeriksaan virus Covid-19.
Dalam hal ini, Djoko Tjandra direncanakan masuk ke Indonesia melalui Bandara Supadio di Pontianak. Dari tempat itu, dia alan menuju ke Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta menggunakan pesawat sewaan.
Dalam perkara kasus surat jalan palsu, Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP. Dia diancam hukuman lima tahun penjara.
Sedangkan, Brigjen Prasetijo didakwa Pasal 263 Ayat 1 dan 2 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1e KUHP, Pasal 426 KUHP, dan/atau Pasal 221 Ayat 1 dan 2 KUHP. Jenderal bintang satu itu diancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Sementara, Anita Kolopaking didakwa dengan Pasal 263 Ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu dan Pasal 223 KUHP tentang upaya membantu kaburnya tahanan.