Suara.com - Di tengah penghitungan suara pemilihan presiden Amerika Serikat yang masih terus berlangsung, perhatian banyak media di dunia tertuju pada kandidat petahana Donald Trump yang mengatakan akan mengambil langkah hukum.
Media dunia juga mengangkat "kekacauan" yang timbul di tengah penghitungan suara, dengan fokus ke sejumlah negara bagian kunci yang akan menentukan siapa yang akan ke Gedung Putih.
Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden sejauh ini unggul di Georgia, untuk pertama kalinya. Hasil di Pennsylvania juga tengah ditunggu dengan perbedaan tipis dan Biden juga diperkirakan akan unggul.
Tim BBC Monitoring merangkum reaksi dunia sejauh ini.
Relasi antara AS dan China, rival lama dan kekuatan ekonomi yang bertanding satu sama lain, telah merosot ke tingkat paling rendah dalam puluhan tahun.
Dan kedua kandidat dalam pemilihan ini telah berjanji akan bersikap tegas dalam berurusan dengan Beijing.
Dengan sikap ini, barangkali tidak mengejutkan bila media pemerintah China melabeli pemilihan ini "memecah-belah, tegang, dan kacau" yang dicemari dengan "kerusuhan, saling hina, dan politik uang".
- Pilpres AS: Biden unggul di Georgia, satu dari sejumlah negara bagian penting, Dinas Rahasia AS akan 'tingkatkan pengamanan' calon Demokrat ini
- Mungkinkah hasil pemilu AS ditentukan di pengadilan?
- Apa yang terjadi jika pemilu AS berakhir seri?
"Banyak media dan rakyat khawatir jika terjadi sengketa pemilu, perkembangan ini bisa memicu kekacauan dan bahkan kerusuhan," kantor berita resmi China Xinhua melaporkan pada hari Selasa.
Sementara itu, saluran berita negara CCTV menyiarkan laporan video yang berfokus pada ketakutan akan kekerasan pascapemilu. "Ada kekhawatiran mendalam akan kerusuhan yang berkepanjangan," kata laporan itu.
Namun pemerintah China belum bicara banyak. Pada hari Rabu (04/11), seorang juru bicara menyatakan pemerintah "tidak punya posisi" tentang pemilihan ini.
Tabloid nasionalis China, Global Times, mengatakan pemilihan ini telah "melahirkan perpecahan, kekerasan, dan penderitaan" di AS.
Di China, pemilu ini "terutama berfungsi sebagai hiburan", "[kesempatan untuk] mengintip ke dalam AS dan masyarakatnya yang kacau," imbuhnya.
Di Rusia, saluran televisi berita negara Rossiya 24 sempat meliput pemilihan ini secara menyeluruh. "Kami terus mengikuti kegilaan ini," kata salah seorang presenternya.
Perlu diingat bahwa komunitas intelijan AS percaya Rusia berusaha memengaruhi Pilpres tahun 2016 lalu untuk menguntungkan Trump, tuduhan yang telah berkali-kali dibantah oleh Moskow.
Kedua penyiar di Rossiya 24 berkelakar tentang kemungkinan tuduhan bias terhadap sang kandidat petahana.
"Beberapa kamerad... akan mendengarkan kami sekarang dan menyimpulkan bahwa kami telah menyatakan Trump sebagai pemenang," kata seorang presenter, yang kemudian dibalas rekannya: "Ini murni matematika, tidak lebih."
Belum ada komentar resmi dari pemerintah Rusia, namun politikus pro-Kremlin Vyacheslav Nikonov tidak segan menunjukkan kegirangannya akan ketidakpastian hasil pemilihan.
"Siapapun yang memenangkan gugatan hukum, setengah dari rakyat Amerika tidak akan menganggapnya sebagai presiden yang sah," tulisnya di Facebook. "Mari siapkan banyak popcorn."
Namun pada Jumat (06/11) pagi, Pilpres AS tidak lagi menjadi berita utama di saluran-saluran televisi besar yang pro-Kremlin. Alih-alih, mereka berfokus pada upaya Rusia menangani Covid-19.
Semua saluran memberitakan klaim kecurangan pemilu yang dibuat Trump, tanpa menyebut, sejauh ini, bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Sementara itu di Eropa, surat kabar Italia Corriere della Sera memandang pemilu di AS sebagai "ujian paling berat untuk demokrasi", yang secara bersamaan menunjukkan "kekuatan sekaligus kelemahan sistem AS" dalam hal partisipasi pemilih yang banyak dan "mekanisme yang terus menyebabkan anomali elektoral".
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer memperingatkan bahwa AS menghadapi "situasi yang sangat eksplosif".
Ia berkata Presiden Trump, yang telah bersumpah untuk menantang hasil pemilu di pengadilan, berisiko memicu "krisis konstitusional di AS".
"[Ini] harus membuat kita sangat khawatir," ia menambahkan.
Survei menunjukkan bahwa Presiden Trump - yang pernah mengklaim ia berhasil merayu Kanselir Angela Merkel - masih tidak populer di Jerman.
Dan banyak media telah melaporkan bahwa pemerintah di Berlin kesulitan menjalin hubungan yang kuat dengan pemerintahan Trump.
Di Prancis, nada komentar para pejabat sangat berbeda. Mereka menganggap pemilihan ini tidak terlalu penting.
"Mari kita jujur saja: Amerika Serikat bukanlah mitra yang bersahabat dengan negara-negara Eropa selama beberapa tahun ini," kata Menteri Keuangan Bruno Le Maire kepada Radio Classique.
"Baik Joe Biden maupun Donald Trump, siapapun yang dipilih rakyat Amerika malam ini atau besok, tidak ada yang mengubah fakta strategis ini."
Ia menambahkan. "Benua Amerika telah memisahkan diri dari benua Eropa."
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Raya Dominic Raab lebih hati-hati.
"Mari tunggu dan lihat apa hasilnya," kata Raab. "Jelas ada cukup banyak ketidakpastian. [Persaingannya] jauh lebih ketat dari yang menurut saya diperkirakan banyak orang."
Namun saran itu tampaknya diabaikan oleh Perdana Menteri Slovenia Janez Jansa, yang mengatakan bahwa hasilnya "sudah cukup jelas".
Twitter menandai kiriman Jansa yang berisi ucapan selamat kepada Trump dan menuduh "media arus utama" telah "menyangkal fakta". Twitnya ditandai dengan peringatan: "Sumber resmi mungkin belum menyatakan hasil pemilihan pada waktu Twit ini dikirim."
Jansa telah secara konsisten memberikan dukungan kepada sang presiden AS dan kebijakan-kebijakannya sejak ia menjadi PM Slovenia awal tahun ini.
Slovenia adalah asal istri Donald Trump, Melania.
Seiring hasil penghitungan suara terus diumumkan, saluran televisi internasional Iran Press TV, yang didanai negara, membuat liputan khusus pemilu Amerika.
"Ancaman perang sipil" menjadi topik yang sering diangkat, dengan seorang presenter berkata bahwa, bagi yang mengamati dari luar, pemilu Amerika "tampak sangat menakutkan".
Saluran berita yang dijalankan negara, IRINN, juga berkata pemilihan ini digelar "di bawah bayang-bayang ketakutan akan kerusuhan".
Jurnalis Israel Nahum Barnea dalam surat kabar Yediot Aharonot berkata ia memperkirakan bahwa PM Benjamin Netanyahu akan "akur dengan Biden" seandainya ia menang.#
Sedangkan surat kabar Palestina Al Quds tidak melihat cukup banyak prospek bahwa pemerintahan Biden akan membalikkan kebijakan Presiden Trump yang memihak Israel.
Sementara itu, media di Amerika Latin, secara khusus menyoroti kesuksesan Donald Trump di Florida yang didorong oleh dukungan dari para pemilih keturunan Latin.
"Kemenangan Trump di Florida mengubur prospek... kemenangan Demokrasi," kata surat kabar terkenal Brasil Sao Paulo dalam tajuk utama.
"Suara dari [warga keturunan] Venezuela, Latin Kuba, dan kaum evangelis, mendukung presiden saat ini," komentar koran itu.
Para komentator di wilayah itu berkata hasil di Florida menunjukkan bahwa strategi sang presiden dari partai Republik itu mengaitkan saingannya dari partai Demokrat, Joe Biden, dengan sosialisme telah memengaruhi para eksil dari Kuba dan Venezuela.
"Trump telah mengunci kelompok elektoral penting di Florida: para Kuba-Amerika dan Hispanik lainnya percaya bahwa hanya sang presiden menjamin mereka akan aman dari pemerintah sosialis," kata surat kabar Kolombia El Espectador.