Suara.com - Setelah memperhatikan antusiasme warga Amerika Serikat (AS) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2020 di tengah pandemi Covid-19, Direktur Eksekutif The Jakarta Institute (TJI), Reza Fahlevi berharap, hal ini bisa diikuti Indonesia yang pada 9 Desember nanti akan menghelat Pilkada Serentak 2020.
Reza menyebut, partisipasi Pilpres AS melonjak tajam sejak terakhir kali 1 abad lebih (120 tahun silam). Hampir 160 juta warga, atau sekitar 67 persen dari total pemilih yang memenuhi syarat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) dan rela mengantre berjam-jam.
"Ada yang mengirim surat suara melalui pos. Yang jelas, mekanisme Pemilu AS sangat berbeda dengan di Indonesia. Namun yang bisa dijadikan pembelajaran di Indonesia adalah mengoptimalkan partisipasi pemilih, agar masyarakat tidak ketakutan datang ke TPS," ujarnya dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Meskipun digelar di tengah pandemi, lanjut dia, yang mana AS mencatat kasus dan kematian tertinggi di seluruh dunia, dengan jumlah kasus harian mencapai 84.000 pada Senin (2/11/2020), namun partisipasi pemilih mencatatkan rekor baru setelah 120 tahun terakhir.
Baca Juga: Kemendagri Minta Gubernur Ingatkan Paslon untuk Pakai Masker saat Kampanye
"Mengutip US Election Project di Universitas Florida, tingkat partisipasi Pilpres di AS kali ini tertinggi selama masa modern. Kita tentu saja belum bisa langsung mengadopsi cara AS yang memberi kemudahan pemilih dengan memilih di rumah dan mengirim surat suaranya melalui pos," tambahnya.
Menurut Reza, banyak faktor yang menyebabkan tingginya partisipasi di Pilpres AS. Beberapa diantaranya, isu gagalnya capres petahana dalam menangani Covid-19 dan dampak sosial ekonominya.
"Jumlah pemilih yang besar di Pilpres AS, tampaknya didorong sejumlah masalah penting yang telah menjungkirbalikkan kehidupan hampir setiap warga AS. Kekecewaan atas tingginya angka Covid-19 dan ekonomi yang lesu, serta sejumlah kontroversi kebijakan politik nasional maupun global era Trump menjadi faktor penting warga AS begitu antusias terlibat dalam Pilpres," paparnya.
Indonesia, menurut Reza, menjelang Pilkada 2020, sebenarnya sudah on the track, yang mana dalam tahapan kampanye, pemerintah bersama penyelenggara pemilu telah menjadikan isu penanganan Covid-19 dan dampak sosial ekonominya sebagai isu sentral.
"Pekerjaan rumah penting lainnya yang harus diantisipasi ke depan adalah sosialisasi Pilkada sehat dan aman Covid-19, serta lebih massif meyakinkan publik bahwa Pilkada 2020 ini sangat penting untuk memilih pemimpin di daerah yang memiliki strategi kebijakan jitu untuk menangani Covid-19 dan dampak sosial ekonominya," imbuhnya.
Baca Juga: Sesuai Arahan Presiden, Kemendagri Buka Layanan Aduan Perbaikan Kebijakan
Reza menambahkan, isu penanganan Covid-19, isu pemulihan ekonomi harus terus diangkat, agar masyarakat tergerak untuk berpartisipasi menentukan masa depan daerahnya.
"Jika kedua isu tersebut (Covid-19 dan pemulihan ekonomi) secara intens diangkat terus, tentu saja alam bawah sadar mereka akan tergerak karena menyangkut jaminan kesehatan dan kesejahteraan setiap warga di daerah yang menggelar Pilkada," ungkapnya.
Reza berharap, Pilkada 2020 bisa meningkat partisipasinya, sehingga pemimpin di daerah yang terpilih nanti, memiliki kapasitas dan komitmen untuk menangani Covid-19 dan dampak sosial ekonominya.
Ia menambahkan, merujuk survei Exit Poll Nasional Pilpres AS yang dilakukan Edison Research dengan sampel 2.915 responden setelah mencoblos, mereka ditanya isu penting apa yang membuat mereka harus datang untuk berpartisipasi dalam Pilpres AS 2020.
"Sebagian besar responden warga AS menjawab, topik ekonomi dengan jumlah 34 persen menjadi topik terpenting yang menjadi alasan mereka menentukan presiden. Kemudian ada kesetaraan ras sebanyak 21 persen, pandemi Covid-19 dipilih 18 persen responden, dan sebanyak 11 persen memilih topik keamanan ketertiban serta kesehatan," ujar Reza.
Melalui pilpres AS awal November ini dan Pemilu Legislatif di Korea Selatan 15 April 2020 lalu, sambung dia, ada banyak hal yang bisa dioptimalkan Indonesia agar Pilkada demokratis, sehat dan aman Covid-19 bisa terwujud.
Reza mencontoh, Komisi Pemilihan Umum Korea Selatan (NEC) menerbitkan kode perilaku pemilih untuk mencegah agar pemilu tindak menjadi kluster penyebaran Covid-19. Aturan itu, kata dia, wajib dipatuhi jika masyarakat ingin menggunakan hak suaranya.
"Di Korsel, pemilih harus memakai masker saat mengantre di tempat pemungutan suara (TPS). Pemilih yang memiliki suhu badan di atas 37,5 derajat Celcius akan diamankan ke ruangan khusus. Pemilih wajib menjaga jarak satu sama lain minimal satu meter. Warga harus menggunakan sarung tangan plastik saat akan memilih. Setelah selesai memilih, sarung tangan dibuang ke tempat sampah khusus, dan protokol itu yang juga sudah diatur dalam regulasi Pilkada 2020 di Indonesia," urainya.
KPU Korsel memberikan pilihan bagi warga bisa menggunakan hak suara pada 10 dan 11 April. Padahal, pemilu sebenarnya berlangsung pada Rabu, 15 April.
Mengutip pemaparan Senior Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Adhy Aman dalam sebuah pemberitaan, ia mengatakan, di pileg Korsel siapa saja berhak memilih di TPS manapun. Pemungutan suara dibuat lebih cepat dan syarat tidak kaku untuk mengurangi kerumunan orang saat hari-H Pemilu.
"Beban kerumunan berkurang, karena hasilnya 25 persen pemilik hak suara memilih di tanggal 10 atau 11," ujarnya.
Pemerintah Korsel, disampaikan Reza rutin bersosialisasi dengan warga melalui berbagai cara. Misalnya mengoptimalkan platform media sosial seperti kanal video Youtube yang berisi aneka infografis dan konten ciamik terkait Pemilu untuk menarik perhatian.
Pandemi, lanjut Reza, juga memengaruhi cara kampanye peserta pemilu lantaran tidak bisa berkerumun. Mereka berlomba-lomba menarik simpati masyarakat dengan realitas tertambah atau augmented reality (AR), membuat konten di media sosial, hingga berlari sejauh 400 kilometer.
Langkah krusial lainnya adalah transparansi. NEC memastikan seluruh proses pemilu bisa disaksikan dengan siaran langsung.
“Walaupun tidak bisa secara fisik memantau, mereka menyediakan fasilitas agar masyarakat bisa mengikuti,” ujarnya.
Hasilnya mengejutkan. Tingkat partisipasi Pemilu Korsel saat pandemi korona mencapai 66,2 persen, atau tertinggi sejak 1992.
"Terakhir, jika Pilkada di Indonesia bisa mengadopsi Pilpres AS, Pileg Korsel dan negara lain yang sukses menggelar pemilu di tengah Pandemi, tentu saja yang menyesuaikan dengan aturan serta karakter masyarakat kita. Saya optimistis, Indonesia dengan Pilkada 2020 di 270 daerah juga bisa sukses dan tidak akan menjadi kluster penyebaran Covid-19," tandas Reza.