Lembaga Pengamat Internasional: Pilpres AS Dinodai Donald Trump

Kamis, 05 November 2020 | 19:12 WIB
Lembaga Pengamat Internasional: Pilpres AS Dinodai Donald Trump
Presiden AS, Donald Trump. [Mandel Ngan/AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat internasional melaporkan pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 ternoda oleh upaya petahana Donald Trump.

Trump, menurut laporan yang dilansir The Guardian, merusak kepercayaan publik dan menjadi situasi yang sebelumnya tak pernah terjadi di AS.

Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) menunjukkan kelemahan sistemik dalam pemilu AS 2020.

Laporan OSCE juga menitikberatkan pada tekanan yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19, dan seruan Donald Trump untuk mengakhiri penghitungan suara di negara bagian tertentu berdasarkan klaim yang tidak berdasar.

Baca Juga: Pemilu AS: Sarah McBride Jadi Senator Transgender AS Pertama

"Tuduhan tak berdasar tentang kekurangan sistematis, terutama oleh presiden yang sedang menjabat, termasuk pada malam pemilihan, membahayakan kepercayaan publik pada lembaga-lembaga demokrasi," jelas laporan yang dibuat oleh Kantor Lembaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (ODIHR) OSCE dan majelis parlemen organisasi tersebut.

"Dengan pandemi covid-19 dan begitu banyak hal yang berubah di menit-menit terakhir secara praktis bagi para pemilih dan penyelenggara pemilu, ada perasaan tidak nyaman atau kebingungan," kata kepala misi ODIHR, diplomat Polandia Urszula Gacek.

"Dan di atas semua itu, Anda memiliki petahana yang melakukan sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya, meragukan proses yang sebenarnya, dan menjadikan cara Anda memberikan suara juga sebagai pernyataan politik." sambungnya.

Laporan OSCE menunjukkan upaya-upaya di tingkat negara bagian untuk menyesuaikan prosedur pemungutan suara sehubungan dengan pandemi, dan kemudian serangkaian tantangan hukum terhadap penyesuaian tersebut (sebagian besar dari Partai Republik), sebagai sumber kebingungan yang cukup besar ketika tiba saatnya untuk memberikan suara.

"Ada volume litigasi yang belum pernah terjadi sebelumnya atas proses pemungutan suara di bulan-bulan sebelum pemilihan, dengan lebih dari 400 tuntutan hukum diajukan di 44 negara bagian, beberapa masih di depan pengadilan beberapa hari sebelum pemilihan," jelas laporan tersebut.

Baca Juga: Indonesia Mitra Penting Siapapun Presiden AS: Perlu Manfaatkan Peluang

"Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh proses pengadilan yang sedang berlangsung ini memberikan beban yang tidak semestinya pada beberapa pemilih yang ingin memberikan suara mereka dan pada pejabat administrasi pemilihan," sambungnya.

Masalah yang disebabkan oleh pandemi dan presiden yang tidak menentu menambah masalah sistemik jangka panjang, menurut OSCE, banyak di antaranya merugikan kaum miskin dan etnis minoritas, seperti berbagai persyaratan bukti identitas di TPS, yang menurut laporan tersebut terlalu membatasi bagi sebagian pemilih.

"Jika satu-satunya hal yang mungkin dapat Anda gunakan adalah kartu mahasiswa dan Anda bukan mahasiswa, atau SIM dan Anda tidak mengemudi, atau paspor dan Anda tidak pernah bepergian ke mana pun, Anda dapat membayangkan bahwa orang yang kurang beruntung secara ekonomi akan terpengaruh secara tidak proporsional, dan etnis minoritas tertentu dapat dikecualikan," jelas Gacek.

Laporan tersebut juga merujuk pada pencabutan hak suara untuk sebagian masyarakat yang sedang menjalani hukuman dan mantan narapidana.

"Diperkirakan 5,2 juta warga dicabut haknya karena hukuman pidana, meskipun sekitar setengah dari mereka telah menjalani hukuman mereka." sebut laporan.

"Pembatasan suara ini melanggar prinsip hak pilih universal," laporan itu menyimpulkan.

Gacek mengatakan, dana darurat federal USD 400 juta atau setara Rp 5,7 triliun untuk penyelenggara pemilu negara bagian, tidak mencukupi dan kekurangan itu datang dari pihak swasta.

Mark Zuckerberg dari Facebook dan istrinya, Priscilla Chan, menyumbang USD 400 juta  batau setara Rp 5,7 triliun.

"Tapi ketika Anda melihat 14 miliar dolar (Rp 200 triliun) yang telah dihabiskan untuk kampanye, dan Anda membandingkannya dengan pemerintahan yang harus bergantung pada dermawan untuk membantu mereka menjalankan pemilihan, saya pikir itu menarik," kata Gacek.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI