Suara.com - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat akan divonis bersalah atau tidak di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (4/11/2020) hari ini.
Penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih, seorang ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.
"Sudah seharusnya PTUN mengabulkan permohonan keluarga korban Semanggi I-II dan menyatakan pernyataan Jaksa Agung adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum," kata Tioria Pretty dari Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II, kuasa hukum penggugat, Rabu (4/11/2020).
Selain itu, PTUN juga diharapkan memerintahkan ST Burhanuddin menyatakan dugaan pelanggaran HAM berat Tragedi Semanggi I dan II merujuk pada lembaga yang berwenang sesuai UU yakni Komnas HAM dalam Rapat Kerja dengan Komisi III selanjutnya.
Baca Juga: Korban Tragedi Semanggi Ungkap Deretan Kompensasi Era SBY, Semua Ditolak!
Persidangan perkara ini sudah berjalan selama enam bulan, dan hari ini sidang putusan akan digelar tertutup, hasil putusannya akan diunggah di sistem e-court.
Tioria menjelaskan, setidaknya ada tujuh fakta persidangan yang membuktikan bahwa pernyataan ST Burhanuddin adalah salah selama persidangan enam bulan ini.
Pertama, pernyataan ST Burhanuddin bukan sekadar kutipan biasa melainkan kebijakan, karena diucapkan dalam kapasitas jabatan dan dalam forum resmi di hadapan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020 lalu.
"Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang menjadi saksi dalam sidang tersebut menyatakan bahwa sejak Burhanuddin menyatakan kalimat tersebut, tidak ada progres apapun terhadap penyelesaian perkara Trisakti, Tragedi Semanggi I-II dari Kejaksaan Agung," jelasnya.
Terlebih Komnas HAM juga terus mengirimkan berkas penyelidikan, namun tak pernah ditindaklanjuti lagi.
Baca Juga: Dicurigai Bekingi Terdakwa Pinangki, Jokowi Didesak Pecat Jaksa Agung
Kedua, berdasarkan kesaksian dari Kejaksaan Agung dalam sidang, pernyataan Burhanuddin bukan spontanitas, dia telah mempersiapkan terlebih dahulu dan diketik dalam Laporan yang akan diserahkan kepada Komisi III DPR.
Kemudian, keluarga korban mengajukan keberatan atas pernyataan tersebut yang juga tak pernah terbalaskan oleh Burhanuddin.
Keempat, yang berhak menentukan terjadi atau tidaknya pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik, bukan hasil Rapat Paripurna DPR.
"Oleh karena itu, Jaksa Agung tidak dapat membuat pernyataannya tersebut dihadapan DPR," tegasnya.
Kelima, selama ini Komnas HAM sebagai penyelidik tidak pernah diberikan surat perintah oleh Jaksa Agung (penyidik) untuk melakukan upaya paksa, padahal untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan demi melengkapi berkas Tragedi Semanggi I-II.
"Hal ini dikuatkan oleh kesaksian Choirul Anam dalam persidangan menyampaikan bahwa sesungguhnya masalah kasus TSS adalah tidak adanya political will pemerintah, bukan masalah teknis hukum," ungkapnya.
Keenam, saksi dari Kejaksaan Agung juga tidak jujur ketika menyatakan bahwa telah dibentuk Pengadilan Militer untuk Tragedi Semanggi I-II, padahal Semanggi I belum pernah diadili oleh pengadilan apapun.
Dan terakhir, hasil bedah kasus pelanggaran HAM berat di Bogor yang dilaksanakan pada 15-19 Februari 2016 antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tidak ditandatangani oleh kedua belah pihak.
"Tapi kemudian dokumen bedah kasus tersebut selalu dijadikan alasan bahwa seolah-olah kedua lembaga negara yang berwenang sudah sepakat menyelesaikan kasus HAM berat melalui rekonsiliasi," pungkas Tioria.