Suara.com - Keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, Maria Katarina Sumarsih, ibu dari almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan kerap menolak tawaran kompensansi yang diberikan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab atas hilangnya sejumlah aktivis saat Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
Sumarsih menyebut pemerintah pernah menawarkan renovasi rumah hingga pergi haji kepada keluarga korban.
Sumarsih menjelaskan, pasca-hilangnya sejumlah aktivis pada 1997 dan 1998, pihaknya sempat mengupayakan jalur hukum melalui Mahkamah Agung (MA) dan saling bertukar pikiran antara keluarga korban. Di samping itu mereka juga dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan diskusi.
"Jadi kami keluarga korban itu bisa mengetahui tentang seperti saya ini kan awam mengenai hukum," kata Sumarsih dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (3/11/2020).
Baca Juga: Komnas HAM Sebut 12 Kasus Pelanggaran HAM Tak Ada yang Selesai
Kemudian saat itu juga terdapat bermacam-macam sosialisasi yang berkaitan dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Ada yang melalui pengadilan, menempuh pro yusidial, upaya dari LSM yang membuat draft rancangan undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) hingga pemberian kompensasi terhadap keluarga korban.
Sumarsih menilai kalau kemauan setiap pihak keluarga korban pasti berbeda-beda. Akan tetapi ia lebih memilih untuk tidak menggunakan fasilitas negara dalam menyelesaikan kasus tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
"Kalau saya membentengi kasus Trisakti, Semanggi I dan II ini untuk tidak menggunakan fasilitas dari negara," katanya.
Sumarsih mengungkapkan kalau Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto yang menjabat di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menawarkan sejumlah bantuan.
"Ada yang diajak pergi haji, ada yang dibantu biaya pengobatan, renovasi rumah dan lain-lain," ungkapnya.
Baca Juga: Jokowi Sudah 2 Periode, Seabrek Pelanggaran HAM Tetap Tak Pernah Tuntas
Kemudian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga memberikan bantuan psikososial dan psikomedis.
Keteguhan Sumarsih juga dibuktikan kala sang suami, Arief Priyadi jatuh sakit. Semua tabungan yang dimiliki anaknya pun habis kala itu untuk pengobatan.
Kalau mau, Sumarsih bisa meminta kepada Kemenko Polhukam ataupun LPSK. Tetapi ia enggan melakukannya.
Dibantu dengan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat itu ada penggalangan dana yang disebarkan melalui media sosial.
"Dalam setengah hari itu dapat Rp 70 juta sampai meninggal dunia untuk menghentikan bantuan itu tidak bisa," katanya lagi.
Tekad Sumarsih menolak fasilitas negara itu tidak terlepas dari perjuangan dalam mencari keadilan untuk anak lelakinya.
"Kalau saya ini perjuangan atau langkah ini disemangati dengan cinta saya kepada Wawan," ucap Sumarsih.
Selain itu Sumarsih juga tetap mengupayakan agar kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan melalui pangadilan ad hoc agar ke depannya ada jaminan tidak akan terulang kembali.
"Jangan hanya catatan di atas kertas negara tidak akan mengulangi kejagatan kemanusiaan, tidak seperti itu. Orang harus dibuat jera supaya tidak mengulangi kesalahannya," ujarnya menambahkan.