"Tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani yang itu pun sudah salah," ungkapnya.
Sementara di sisi lain, Bivitri menyayangkan respons pemerintah terhadap kesalahan di UU Nomor 11 tahun 2020 itu. Menurutnya, pernyataan pemerintah seperti mengkerdilkan.
"Menurut saya pernyataan ini mengerdilkan makna proses legislasi. Proses legislasi itu bukan sekadar urusan administrasi, tetapi perwujudan konkret demokrasi perwakilan. Ada moralitas demokrasi yang terciderai di sini," tandasnya.
Praktik Buruk
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyayangkan kesalahan yang masih terdapat dalam naskah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya kesalahan itu menambah panjang praktik buruk terhadap legislasi UU Ciptaker.
Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK dalam keterangannya memaparkan temuan kejanggalan di dalam UU Cipta Kerja setelah diundangkan.
Ia berujar UU Cipta Kerja masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal. Semisal temuan di halaman 6, di halaman tersebut rumusan Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat.
Selain itu, kata Fajri, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).
"Kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas," tulis Fajri dalam keterangannya kepada Suara.com, Selasa.
Baca Juga: Profil Kristia Budiyarto atau Kang Dede, Relawan Jokowi Jadi Komisaris BUMN
Fajri mengatakan kesalahan perumusan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.