Suara.com - Irjen Napoleon Bonaparte akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara dugaan suap penghapusan nama terpidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra dari daftar red notice.
Dalam hal ini, mantan Kadiv Hubinter Polri tersebut didakwa menerima sejumlah uang dari Djoko Tjandra.
Rencana pengajuan eksepsi itu disampaikan oleh kuasa hukum Napoleon, Santrawan T Paparang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020). Menurut dia, tidak ada saksi yang mengetahui penyerahan uang dari Djoko Tjandra kepada Napoleon melalui Tommy Sumardi.
"Dengarkan baik-baik, akan kami ajukan dalam ekspesi. Saksi tidak ada yang namanya proses penyerahan uang dari Djoktjan (Djoko Tjandra) ke Tommy ke Napoleon," ujarnya.
Baca Juga: Hadiri Sidang Perdana Perkara Red Notice, Irjen Napoleon Kenakan Rompi Pink
Santrawan menyebut jika perkara itu merupakan rekayasa. Pernyataan tersebut nantinya bakal diuraikan secara gamblang dalam eksepsi.
"Perkara ini rekayasa, perkara palsu. Catat itu akan kami uraikan di dalam ekspesi," tegasnya.
Dakwaan Jaksa
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, jenderal bintang dua itu didakwa menerima sejumlah uang dari Djoko Tjandra.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan, uang yang diterima oleh Napoleon yakni 200 ribu dollar Singapura dan 270 ribu dollar Amerika. Uang tersebut diberikan melalui terdakwa Tommy Sumardi.
Baca Juga: Hapus Red Notice Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Minta Uang Rp7 Miliar
"Menerima uang sejumah USD200.000 00 dan sejumlah USD270.000.00. dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo menerima uang sejumiah USD150.000.00 dari Joko Soegiarto Tjandra melalui H Tommy Sumardi," kata jaksa dalam dakwaannya.
Menurut jaksa, uang yang diberikan oleh Tommy dilakukan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. Pasalnya, saat itu Djoko Tjandra masih berstatus buronan dalam perkara cassie Bank Bali.
Kemudian Napoleon memberi perintah untuk menerbitkan surat yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.
Tindakan yang dilakukan Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo, kata jaksa, bertentangan dengan tugas polisi yang seharusnya menangkap Djoko Tjandra -- jika masuk ke Indonesia.
Jaksa menambahkan, Djoko Tjandra pada awal April 2020 sedang berada di Malaysia. Dia hendak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) demi bebas dari semua jeratan hukum.
Hanya saja, persyaratan pengajuan PK mewajibkan Djoko Tjandra harus datang ke Tanah Air. Pada lain hal, dia adalah seorang buronan -- jika kembali akan langsung dieksekusi.
Selanjutnya, Djoko Tjandra meminta bantuan pada Tommy Sumardi untuk menanyakan statusnya ke Divisi Hubungan Internasional Polri. Dalam hal ini, Djoko Tjandra sudah menitipkan uang senilai Rp 10 miliar pada Tommy.
Jaksa melanjutkan, pada tanggal 17 April, Tommy bertemu dengan Napoleon. Kepada Tommy, Napoleon menyanggupi permintaan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO.
Napoleon lantas meminta imbalan atas permitaan tersebut. Saat Tommy bertanya, Napoeon meminta uang senilai Rp. 3 miliar.
Jaksa menjelaskan, pemberian suap terjadi lebih dari satu kali. Pertama, Tommy yang membawa uang senilai 50 dollar Amerika untuk Napoleon. Hanya saja, uang tersebut ditolak karena Napoleon merasa nilainya terlalu kecil.
Dari penolakan tersebut, Tommy kembali bertemu Napoleon dan membawa uang sebanyak 200 ribu dollar Singapura.
Selain memberi uang kepada Napoleon, Tommy juga memberikannya pada Prasetijo sebesar 100 ribu dollar Amerika. Kemudian, Tommy memberikan uang lagi secara bertahap dengan rincian 150 Dollar Amerika dan 20 ribu Dollar Singapura.
Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.