Suara.com - Terdapat tiga insiden serangan teroris terjadi di Prancis yang mengakibatkan dua orang luka-luka dan empat orang meninggal dunia, dalam sebulan terakhir.
Dua staf perusahaan rumah produksi mengalami luka-luka akibat diserang dengan pisau di Paris pada akhir September.
Seorang guru sejarah sekolah menengah di pinggiran Paris, Samuel Paty, dipenggal kepalanya pada Jumat 16 Oktober, setelah ia memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya saat membahas tema kebebasan berpendapat.
Kemudian, terjadi serangan di Nice, di Prancis selatan, pada Kamis (29/10) yang menyebabkan tiga orang meninggal, salah seorang korban "nyaris terpenggal".
Baca Juga: Ustad Abdul Somad Posting Pernyataan Tegas Saat Islam Dihina Prancis
Setelah meninggalnya Paty, Presiden Emmanuel Macron secara tegas mengatakan bahwa negara tidak akan mengkritik tindakan Paty yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad.
Ia juga menggambarkan Paty sebagai perwujudan dari "wajah Republik".
Ia membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad, sikap yang memicu kemarahan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Prancis adalah negara yang menjunjung sekularisme.
Sekularisme negara atau laicite menduduki posisi sentral dalam identitas nasional Prancis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari moto pascarevolusi, yaitu "liberty, equality, fraternity".
Baca Juga: Presiden Perancis Kunjungi Lokasi Penyerangan Mematikan
Berdasarkan prinsip laicite ini, ruang publik, seperti ruang kelas dan tempat kerja, harus bebas dari agama.
Negara beralasan, menekan kebebasan berpendapat untuk melindungi perasaan komunitas tertentu melemahkan persatuan nasional.
Di Prancis, warga berhak beragama tapi orang juga berhak untuk tidak beragama. Keduanya sama-sama dilindungi oleh negara.
Pada 1905, dikeluarkan undang-undang yang melindungi sekularisme, yang ditujukan untuk melindungi kebebasan warga untuk menjalankan agama namun juga untuk mencegah masuknya agama di institusi-institusi negara.
Undang-undang tersebut menopang undang-undang lain yang melindungi hak untuk menistakan agama, yang dikeluarkan pada 1881.
Dalam konteks ini, majalah satire Charlie Hebdo bisa menerbitkan karikatur Nabi Muhammad atau Yesus.
Karena undang-undang tersebut, majalah ini bisa menerbitkan karikatur tanpa khawatir diajukan ke pengadilan dengan sangkaan melakukan memicu kebencian.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Prancis, boleh menista agama, namun tak boleh menghina seseorang berdasarkan agama yang ia anut.
'Tidak nyaman'
Insiden pemenggalan memicu aksi-aksi solidaritas untuk Paty di seluruh penjuru Prancis.
Wartawan BBC di Paris, Lucy Williamson, mengatakan aksi yang memperlihatkan persatuan nasional ini "sejatinya menyembunyikan penentangan yang makin besar tentang bagaimana negara memandang sekularisme dan kebebasan berpendapat".
Namun, kata wartawan BBC, makin banyak orang di Prancis yang tidak nyaman dengan argumen soal sekularisme dan kebebasan berpendapat, termasuk soal kebebasan untuk membuat dan menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.
Sejumlah guru mengatakan, mereka merasakan perubahan setelah 2015, ketika beberapa laki-laki bersenjata menyerang kantor majalah Charlie Hebdo, menyusul keputusan majalah ini menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.
Guru filsafat Alexandra Girat mengatakan beberapa siswa berpandangan bahwa keputusan menerbitkan kartun ini tak bisa diterima.
Para murid mengatakan Nabi Muhammad tak bisa digambarkan melalui karikatur seperti itu.
Akar menajamnya perpecahan pandangan terkait identitas keagamaan dan kebebasan berpendapat diakui sangat kompleks.
Akar tersebut mencakup konflik di negara-negara lain dan rasialisme serta marjinalisasi sosial yang dialami oleh keluarga para imigran di dalam negeri di Prancis.
'Separatisme Islam'
Sebelum insiden pemenggalan kepada Paty, pada awal Oktober, Presiden Macron dalam satu pidato menegaskan bahwa "sekularisme adalah dasar negara" dan "separatisme Islam harus ditangani".
Dalam kesempatan ini pula, Macron mengumumkan rancangan undang-undang yang lebih keras untuk menangkal "separatisme Islam" ini dan untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler.
Macron mengatakan komunitas Muslim di Prancis, yang berjumlah enam juta orang, "mungkin akan membentuk masyarakat tandingan".
Agar "bahaya ini" tidak menjadi kenyataan, Macron mengusulkan beberapa hal, yang mencakup pengawasan yang lebih terhadap sekolah dan kontrol yang lebih besar terkait pendanaan masjid dari luar negeri.
Macron mengatakan bentuk sektarianisme seperti ini sering diterjemahkan untuk tidak memasukkan anak-anak ke sekolah umum dan menggunakan kegiatan olahraga, budaya dan komunitas sebagai "alasan untuk mengajarkan ke anak-anak tentang nilai-nilai yang tak sejalan dengan hukum yang berlaku di Prancis".
Menurut Macron, Islam "mengalami krisis di banyak negara, tak cuma di Prancis".
Langkah yang disiapkan pemerintah dan dimasukkan ke parlemen pada akhir tahun mencakup:
- pengawasan yang lebih ketat terhadap organisasi olahraga dan perkumpulan lain sehingga tak menjadi medium pengajaran Islam,
- imam tak boleh didatangkan dari luar Prancis,
- peningkatan pengawasan pendanaan masjid,
- pembatasan home-schooling.
Macron juga mengatakan Prancis harus berbuat lebih banyak menawarkan ekonomi dan mobilitas sosial ke komunitas-komunitas imigran.
Ia menambahkan kemiskinan bisa dimanfaatkan oleh kelompok atau orang-orang berpaham radikal.
Kritik terhadap pernyataan Macron
Pidato Macron adalah hasil dari diskusi selama berbulan-bulan dengan para pemimpin agama dan akademisi, kata wartawan BBC di Paris, Hugh Schofield.
Namun, sejumlah pihak mengkritik pidato Macron.
Ada yang berpandangan, usul itu sengaja diajukan untuk menarik dukungan para pemilih sayap kanan, menjelang pemilihan presiden pada 2022.
Sejumlah aktivis juga menyerang proposal Macron dengan menggambarkan sebagai "upaya pemerintah untuk menekan perkembangan Islam".
Pegiat hak asasi manusia Yasser Louati mengatakan, proposal pemerintah "memberi angin" kepada kelompok neo fasis dan kelompok-kelompok anti-Muslim, sementara pada saat yang sama juga "sangat merugikan murid-murid Muslim" yang harus belajar di rumah karenna pandemi virus corona.
Tokoh Muslim, seperti Chems-Eddine Hafiz, melalui kolom di surat kabar menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai konsep "separatisme Islam" tidak bisa ditujukan secara keseluruhan ke setiap Muslim di Prancis.
Ia menyatakan ada perbedaan yang jelas antara Islam sebagai agama dan ideologi Islamis.
Kritik juga datang dari luar Prancis. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut Presiden Macron perlu "perawatan mental".
Presiden Erdogan mengatakan, "Apa masalah orang bernama Macron ini dengan Muslim dan Islam? Macron perlu perawatan mental."
Pemimpin Turki ini mengatakan "tak ada kata-kata lain yang bisa dikemukakan untuk menggambarkan kepala negara yang tidak memahami kebebasan menjalankan keyakinan agama dan bertindak seperti itu kepada jutaan orang yang tinggal negaranya yang memeluk agama yang berbeda".
Para pejabat Prancis menyebut pernyataan Erdogan "kasar dan tak pantas".
Prancis juga menarik duta besar mereka di Ankara.
Turki kemudian menyerukan boikot atas produk-produk Prancis, seruan yang juga muncul di sejumlah negara di Timur Tengah.
Di luar Timur Tengah, terjadi juga unjuk rasa di wilayah Palestina, Pakistan, India, Bangladesh, dan Indonesia.
Para demonstran menggambarkan Prancis sebagai "negara yang memperlihatkan Islamofobia".