Relawan: Uji Klinis Belum Selesai Kok Sudah Pesan Vaksin Jadi?

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 30 Oktober 2020 | 13:31 WIB
Relawan: Uji Klinis Belum Selesai Kok Sudah Pesan Vaksin Jadi?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketika belum ada satu pun vaksin Covid-19 yang dinyatakan berhasil oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), termasuk vaksin Sinovac asal China, pemerintah Indonesia justru telah memesan jutaan dosis vaksin itu.

Bahkan pemerintah sempat menyatakan, vaksin siap disuntikkan pada masyarakat pada November. Pernyataan yang kemudian diralat pemerintah setelah muncul kegaduhan.

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartanto, menyatakan pelaksanaan vaksinasi belum dapat dipastikan, menunggu izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Namun, diakui pengadaan vaksin dari sejumlah negara yang telah selesai melakukan uji klinis akan dilakukan pada bulan Desember, ujarnya.

Baca Juga: Airlangga Hartarto: Vaksinasi Covid-19 Tetap Menunggu Sertifikasi Aman BPOM

"Dalam hal pengadaan vaksin jadi, yang sudah dilakukan clinical trial di negara lain, diharapkan sudah masuk juga di bulan Desember," kata Airlangga

Menanggapi pernyataan dan rencana pemerintah, sejumlah relawan uji vaksin Sinovac di Indonesia mengaku bingung dan kecewa.

"Kok saya jadi bingung, kan uji klinisnya belum selesai, kenapa pemerintah sudah pesan vaksin-vaksin ini?" tanya Herlina Agustina, relawan uji vaksin Sinovac kepada Yuli Saputra, wartawan di Bandung, Jawa Barat, yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Di sisi lain, para relawan mendapat informasi bahwa uji klinis vaksin Sinovac di Indonesia baru kelar pada Mei 2021.

'Vaksin yang disuntikkan kan harus aman'

Arif Budiawan segera bergegas ke Puskesmas Dago di Bandung, Jawa Barat, setelah mendengar informasi tentang pendaftaran relawan uji klinis vaksin Covid 19. Ia begitu bersemangat, padahal pendaftaran belum dibuka.

Baca Juga: Lagi, Vaksin Covid-19 Asal Jepang Siap Diuji Coba Bulan Desember

"Saya datang ke Puskesmas Dago seminggu setelah pengumuman di TV. Saya tanya, apa betul ini pendaftaran relawan? 'Oh iya, Pak.. tapi belum buka'," tutur Arif yang kemudian baru bisa mendaftar dua minggu setelahnya.

Arif terdaftar sebagai relawan kloter pertama untuk uji vaksin Sinovac asal China. Ia merasa sudah waktunya ia "berperang" melawan virus corona.

"(Saya) tidak ingin berdamai dengan Covid 19. Dengan menjadi relawan, ini cara saya melawan Covid 19," katanya.

Semangat Arif juga dipicu keinginan melihat anaknya kembali sekolah dan bertemu teman-temannya.

"Sudah beberapa bulan, anak saya yang SMP sekolah di rumah, belajar online. Kasihan anak saya, nggak bisa ketemu teman-teman, nggak bisa ke mana-mana, nggak bisa ketemu gurunya. Itu lebih memotivasi saya, biar vaksin segera ada, anak-anak bisa sekolah tatap muka lagi," kata Arif yang berprofesi sebagai arsitektur.

Namun semangat Arif kini dihadapkan pada situasi yang membuatnya kecewa.

"Saya kecewa, saya kan uji coba ini biar (diuji) berhasil atau nggak vaksinnya, kan disuntikkan itu harus aman. Saya menjadi relawan untuk diuji coba, biar nanti ketika sudah dinyatakan berhasil, kemudian disuntikkan, saya akan bangga bisa menjadi relawan dan ternyata uji cobanya berhasil. Tapi kalau tiba-tiba prosesnya belum selesai, pemerintah beli, terus katanya mau nyuntik, jadi gimana," kata dia.

Kabar pelaksanaan vaksinasi yang dipercepat juga menimbulkan kebingungan bagi Herlina Agustina, relawan lainnya.

"Saya kan jadi relawan (uji klinis vaksin), jadi saya aware terhadap informasi-informasi. Uji klinis saya belum kelar, terus pemerintah sudah memesan vaksin-vaksin dari berbagai negara. Katanya Sinovac dipesan sekian juta vaksin, terus tiba-tiba saya dengar menteri luar negeri pesan juga AstraZeneca yang dari Inggris, terus pesan lagi dari Korea.

"Saya jadi bingung, kan uji klinisnya belum selesai, kenapa pemerintah sudah pesan vaksin-vaksin ini?" ujar Herlina.

Menurut Herlina, pemerintah tidak memberikan komunikasi yang ajeg sehingga memicu kebingungan. Pemerintah juga dinilainya terburu-buru melaksanakan vaksinasi.

"Penjelasan yang diberikan pemerintah nggak ajeg, pengen cepat, pengen akhir tahun, tapi tiba-tiba November. Sekarang November, ada lagi informasi pemberian vaksinnya ditunda, entah sampai kapan. Itu yang bikin masyarakat jadi serba bingung," ungkap dosen ilmu komunikasi Universitas Padjajaran ini.

Bodebek jadi target pemberian vaksin jadi dari China

Diketahui wilayah Bogor, Depok, Bekasi di Jawa Barat menjadi target vaksinasi awal dari vaksin yang dibeli jadi oleh pemerintah.

"Sementara per hari ini skenarionya, vaksin tipe satu yang dibeli langsung itu jumlahnya hanya 9 juta paket (untuk Bodebek) karena rencananya di Bodebek sebagai episentrum Indonesia," kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat jumpa pers usai simulasi vaksin Covid-19 pada Selasa (22/10).

Simulasi tetap dilakukan meski rencana vaksinasi Covid 19 belum pasti. Tujuan simulasi ini untuk pemetaan. Simulasi tersebut untuk menghitung durasi antrean, jumlah puskesmas, tenaga kesehatan, serta vaksin.

"Minggu lalu kami melakukan simulasi vaksin di Depok, dari situ ditemukan bahwa persiapan sudah maksimal, tapi punya potensi kekurangan-kekurangan dari sisi storage, tenaga kesehatan masih kurang," kata Emil, panggilan Gubernur Jawa Barat dalam jumpa pers, Senin (26/10).

Meski sudah melakukan simulasi, Emil belum mengetahui kapan vaksinasi akan dilakukan. Ia menunggu keputusan dari pemerintah pusat.

"Saya masih fokus vaksin yang dites di Bandung yang di mana Desember hasil keputusan akhirnya untuk menentukan keberhasilan dan diproduksi, dan nanti akan diberikan kepada ratusan juta warga Indonesia melalui Bandung, dan itu baru bisa di semester awal 2021. Sementara yang beli langsung kita masih menunggu kepastian kabar," kata Emil.

Aman dan efektifkah vaksin asal China yang diuji di Indonesia?

Juru bicara tim uji klinis vaksin Sinovac Universitas Padjajaran Rodman Tarigan menyatakan hasil pengujian baru akan tuntas Mei 2021 mendatang, setelah itulah pihaknya baru akan melaporkan hasil uji klinis ke BPOM. Tapi tim akan menyampaikan laporan awal ke BPOM dan Biofarma, sebagai sponsor uji klinis vaksin pada November 2020.

"Preliminary report di bulan November ini untuk 540 relawan. Tapi kita masih running terus, selesai lengkap Mei 2021. Tuntas itu untuk 1.620 relawan, kita memberikan laporan lagi ke BPOM. Nanti BPOM laporkan ke WHO yang akan meng-approve. Sampai saat ini dari tujuh kandidat vaksin belum ada yang di-approve oleh WHO, baik Sinovac, Sinopharm," kata Rodman.

Sejauh ini, Rodman menyatakan keamanan vaksin telah dibuktikan oleh 1.620 relawan yang sudah disuntik vaksin tahap pertama, termasuk 1.300 lebih relawan yang telah disuntik vaksin tahap dua. Menurut Rodman, seluruh relawan tidak mengalami efek samping yang mengkhawatirkan. Hanya sebagian kecil yang mengalami demam ringan dan sakit di bekas suntikan.

Hal yang krusial dari uji klinis vaksin fase 3 ini, kata Rodman, adalah efikasi atau khasiat vaksin, yang belum bisa diketahui hingga uji klinis selesai. Karena itu, Rodman sempat mempertanyakan rencana vaksinasi di November.

"Makanya kemarin kan sempat mau November, tapi saya cuma tim uji klinis, yang nanti menentukan bahwa vaksin itu diedarkan izinnya ada di BPOM. Nanti kita lapor ke BPOM," katanya.

Klarifikasi pemerintah

Gaduh soal pelaksanaan vaksinasi ditanggapi pemerintah dalam dialog di Media Center BNPB yang disiarkan secara daring, Selasa (27/10).

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartanto menyatakan Desember baru akan dimulai pengadaan vaksin jadi dari sejumlah negara yang telah selesai melakukan uji klinis.

Sementara, pelaksanaan vaksinasi belum dapat dipastikan, menunggu izin dari BPOM.

"Dalam hal pengadaan vaksin jadi, yang sudah dilakukan clinical trial di negara lain, diharapkan sudah masuk juga di bulan Desember," kata Airlangga.

Indonesia diketahui telah memiliki komitmen pembelian vaksin jadi dari tiga produsen vaksin Covid 19, yakni Cansino, G42/Sinopharm, dan Sinovac. Menurut Airlangga, Badan POM telah mengirimkan tim ke China untuk melihat langsung produksi ketiga vaksin tersebut.

Di tahap awal, lanjut Airlangga, Sinovac, dalam bentuk vaksin jadi, akan masuk secara bertahap sebanyak tiga juta dosis. Selain vaksin jadi, pemerintah juga akan mengimpor vaksin dalam bentuk bahan baku.

"Sinovac ini dalam bentuk jadi itu jumlahnya seitar 3 juta dan itu akan masuk bertahap, kemudian juga akan masuk dalam bentuk bahan baku yang akan diproduksi di Biofarma. Nah, itu tahap awalnya setara dengan 15 juta. Bapak presiden mengarahkan bahwa ini akan bisa dimulai saat Badan POM mengeluarkan emergency use authorization (EUA)," kata Menko Perekonomian ini.

'Kuncinya di Badan POM'

Baik pengadaan, maupun pelaksanaan vaksin, kata Airlangga, kuncinya ada di Badan POM. Pemerintah, menurutnya, akan mengacu pada hasil evaluasi Badan POM, termasuk untuk uji klinis vaksin Sinovac di Bandung yang tengah berjalan.

"Jadi vaksin itu pintunya ada di Badan POM, FDA-nya Indonesia. Dengan demikian prosedur dari clinical trial harus dipenuhi dan kemarin disampaikan clinical trial yang di Bandung, interim report awal minggu pertama Desember itu hasilnya bisa dievaluasi.

"Tentunya, dengan prosedur yang dipatuhi untuk EUA, maka tentu diharapkan Badan POM bisa melakukan evaluasi karena Badan POM juga akan mendapatkan laporan dari clinical trial yang dilakukan di negara lain, termasuk di Brasil.

"Jadi utamanya untuk keselamatan, aman, dan efektif. Jadi kalau seluruh persyaratan itu terpenuhi, baru kita bisa lakukan imunisasi dengan perencanaan yang matang," kata Airlangga.

Diketahui Presiden Brasil Jair Bolsonaro menyatakan pihaknya tidak akan membeli vaksin Covid-19 buatan China, sehari setelah menteri kesehatan Brasil menyebut vaksin tersebut akan ditambahkan pada program imunisasi.

"Rakyat Brasil tidak akan menjadi kelinci percobaan siapapun," kata dia.

Dalam situasi demikian. pakar biologi molekuler, Ahmad Rusdan Utomo, mempertanyakan kriteria emergency use authorization (EUA) sebagai landasan pemberian vaksin Covid-19 untuk masyarakat.

"Namanya EUA itu ada kegentingan. Nah, kegentingannya itu apa. Kalau memang kegentingannya karena 2% persen nakes terpapar, terus 0,5% meninggal, misalnya, harusnya kita juga punya angka, vaksinasi bisa menekan hingga berapa persen. Misalnya, yang tadinya 2%, bisa nggak turun jadi 0,2%. Untuk bisa mendapatkan 0,2% vaksin mana yang akan dipakai.

"Apa bukti dari vaksin ini hingga bisa mencapai target penurunan 10 kali lipat dari paparan terhadap nakes? Jadi kegentingan oke, karena itu hak dari pemerintah. Tetapi karena sekarang ini kita punya konsep yang namanya target yang smart, spesifik, measureable.

"Kita juga harus mengajari rakyat kita, bagaimana nih membuat program yang punya smart dan lain-lain tadi itu. Belum lagi kita mesti menyampaikan mitigasi risikonya. Jadi harus seperti itu." kata Ahmad.

'Jangan sampai ada tekanan terhadap BPOM'

Ahmad mengingatkan BPOM juga harus tetap independen dan terhindar dari berbagai tekanan. Badan pemerintah tersebut harus tetap mengutamakan keamanan dan efektifitas dari vaksin yang akan disuntikkan ke masyarakat.

Pemerintah, lanjut Ahmad, harus mencermati risiko pelaksanaan vaksinasi Covid 19, di tengah kebingungan dan keraguan masyarakat terhadap keampuhan vaksin. Jangan sampai, pelaksanaan vaksinasi massal ini menimbulkan penolakan dan antipati terhadap vaksin.

"Kalau ini di- rollout vaksin benaran besok, lalu timbul nih di media massa, saya kemarin divaksin eh dua minggu depannya kena Covid. Satu saja kenanya. Kira-kira kepercayaan masyarakat runtuh nggak? Pasti.

"Jadi, kita cuma berharap, jangan sampai BPOM itu terkena tekanan. Kalau dia ditekan, harus mengeluarkan EUA, sementara terjadi skenario yang tadi saya katakan, akan susah mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Itu yang harus kita jaga sekarang. Jangan sampai diremehkan orang-orang yang tidak percaya vaksin.

"Itu tidak sedikit loh (jumlah antivaksin) dan mereka cukup influencial, mereka militan sekali, dan mereka siap menunggu satu saja insiden, dan itu bisa merusak," ujar dosen di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada ini.

Pihak BPOM sempat dimintai penjelasan soal kriteria EUA dalam rencana pelaksanaan vaksinasi Covid 19, namun menolak berkomentar.

"Mohon maaf untuk saat ini dari BPOM belum bisa memenuhi permohonan wawancara secara khusus," kata Nelly Rachman, Kepala Bagian Humas BPOM, melalui aplikasi percakapan.

Keamanan dan efektivitas vaksin virus corona juga menjadi sorotan Arief, yang menjadi relawan uji vaksin di usianya yang sudah 53 tahun. Dengan semangat ingin 'melawan Covid" ia kini mempertanyakan langkah yang diambil pemerintah.

Sebagai salah satu relawan, Arif merasa perlu diberitahu tentang hasil uji vaksin Sinovac, tapi kemudian ia mendengar pemerintah mau mengimpor vaksin Sinovac yang sudah jadi, sebelum hasil uji klinis di Bandung selesai.

"Jadi saya juga bingung dengar pemerintah pesan dua juta vaksin dan akan disuntikkan ke masyarakat terutama ke dokter dan tenaga kesehatan. Saya bingung ini mana yang mau disuntikkan. Saya sebagai relawan uji cobanya sendiri belum dikasih tahu hasil tes darah saya, apakah berhasil atau nggak," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI