Suara.com - Otoritas Prancis telah mengungkapkan pelaku penusukan di sebuah gereja di Kota Nice yang membunuh tiga orang adalah warga negara Tunisia.
Menyadur Sky News, kepala jaksa anti-teroris Prancis, Jean-Francois Ricard, mengatakan pelaku adalah seorang pemuda kelahiran 1999 warga negara Tunisia.
Pelaku tiba di kota Nice menggunakan kereta api dan mengganti pakaiannya di stasiun, sebelum berjalan 400 meter ke gereja Notre Dame.
Dia memasuki Prancis dari Italia - melakukan perjalanan melalui kota Bari, Italia pada 9 Oktober - setelah sampai di pulau Lampedusa, Mediterania, pada 20 September.
Baca Juga: Erdogan, yang Ajak Boikot Prancis, Ditantang Tutup Pabrik Renault di Turki
Dia membawa dokumen identitas Palang Merah Italia dan dua telepon, sementara tas ditemukan dua pisau yang tidak terpakai.
Pisau yang digunakan pelaku dalam serangan di sebuah gereja tersebut memiliki panjang 30cm, dengan ujung tajam 17cm.
Setelah melakukan aksinya, pelaku bergerak ke arah polisi dengan cara yang mengancam, meneriakkan Allahu Akbar sebelum ditembak 14 peluru oleh petugas. Pelaku sedang dirawat di rumah sakit, kata Ricard.
Salah satu dari tiga korban yang ditikam hingga meninggal dunia adalah seorang pekerja gereja bernama Vincent Loques.
Eric Ciotti, seorang politikus di Kota Nice memposting gambar Vincent Loques yang mengenakan kaos, terlihat santai dan tersenyum. Ia mengatakan Tuan Loques adalah pegawai setia di gereja Notre Dame.
Baca Juga: Prancis Lockdown, Ligue 1 Dipastikan Berlanjut
Ricard mengatakan seorang korban wanita berusia 60 tahun menderita "tenggorokan sangat dalam, seperti pemenggalan kepala".
Wanita tersebut dan Loques meninggal di tempat kejadian, sementara seorang wanita berusia 44 tahun berhasil keluar dari gereja dan meninggal di sebuah kafe setempat.
Menurut laporan surat kabar Le Parisien, Loques yang berusia 55 tahun adalah ayah dua anak. Anggota paroki mengatakan dia telah menjadi sipir gereja selama sepuluh tahun.
Presiden Emmanuel Macron, yang mengunjungi Nice pada Kamis sore, mengatakan negaranya telah diserang dan menyatakan dukungan terhadap komunitas Katolik.
Macron menambahkan bahwa jumlah tentara yang dikerahkan untuk melindungi sekolah dan situs keagamaan akan ditingkatkan dari sekitar 3.000 saat ini menjadi 7.000 personel.
Perdana Menteri Jean Castex telah memberi tahu penduduk Nice jika ingin keluar rumah hanya untuk berbelanja makanan, pergi ke tempat kerja, alasan medis, atau masalah keluarga yang mendesak.
"Sebagai tanda berkabung dan solidaritas dengan para korban dan orang yang mereka cintai, saya menyerukan kepada semua Muslim di Prancis untuk membatalkan semua perayaan hari raya Maulid." ujar seorang perwakilan dari Dewan Perancis untuk Kepercayaan Muslim.
Dalam insiden terpisah tak lama kemudian, polisi Prancis mengonfirmasi seorang pria ditembak mati di dekat Avignon, setelah mengancam orang yang lewat dengan pistol di distrik Montfavet.
Di Jeddah, Arab Saudi, seorang pria ditangkap setelah menikam dan melukai seorang penjaga di konsulat Prancis, media pemerintah melaporkan.
Serangkaian aksi tersebut terjadi ketika Prancis berada di bawah kewaspadaan tinggi terhadap serangan teroris setelah pemenggalan seorang guru sejarah awal bulan ini di Paris.
Penyerang mengatakan dia ingin menghukum Paty karena menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada murid-muridnya dalam pelajaran kewarganegaraan.
Walikota Nice, Christian Estrosi, mengatakan para korban dibunuh dengan cara yang mengerikan. "Metodenya cocok, tanpa diragukan lagi, yang digunakan melawan guru pemberani di Conflans Sainte Honorine, Samuel Paty." ujarnya.
"Serangan di Nice, serangan di Avignon, serangan terhadap konsulat Prancis di Arab Saudi. Ini bukan kebetulan." sambung Estrosi.