Suara.com - Dampak pandemi Covid-19 dirasakan masyarakat Nusantara. Berbagai aspek kehidupan terganggu.
Contoh paling konkrit adalah aspek pekerjaan. Banyak orang kehilangan pekerjaan.
Kalau pemuda yang hidup sebelum zaman kemerdekaan perjuangannya bagaimana membantu agar bangsa merdeka dari penjajahan, pemuda sekarang tantangannya meningkatkan rasa solidaritas untuk membantu sesama.
Pandemi Covid-19, menurut sejarawan Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan menjadi ujian bagi para pemuda.
Baca Juga: Fakta Baru! Sejarawan Temukan Bukti Tak Ada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
"Dituntut bagaimana melakukan solidaritas melalui kepedulian sesama anak bangsa," kata Kartum kepada Suara.com mengenai makna Peringatan Sumpah Pemuda, Kamis (29/10/2020).
Solidaritas pemuda juga bisa ditunjukkan melalui hal-hal kecil, misalnya disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19, terutama ke kalangan orang-orang yang rentan.
Tetapi solidaritas tersebut dinilai Kartum belum belum benar-benar tertanam pada semua pemuda sekarang, hal ini terlihat dari masih ada yang tak menaati protokol kesehatan.
Pemerintah Jakarta memperpanjang pembatasan sosial berskala besar menjadi petunjuk bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan bahaya penyebaran Covid-19 belum maksimal.
Ada perbedaan pandangan
Baca Juga: Peringati Sumpah Pemuda, Komunitas di Bantul Kibarkan Bendera Raksasa
Melihat kembali perjalanan sejarah Sumpah Pemuda -- salah satu tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia -- ada perbedaan pandangan.
Sejarawan Batara Richard Hutagalung mengatakan tidak ada pengucapan ikrar Sumpah Pemuda pada 1928. Dari hasil penelitian pada hasil-hasil rapat Kongres Pemuda II disebutkan tidak ditemukan adanya pembacaan atau pengucapan ikrar.
"Hasil pembahasan Kongres Pemuda II, yang pada waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II diformulasikan sebagai resolusi," kata Batara kepada Suara.com, Kamis (29/10/2020).
"Tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Baru di tahun 1950-an hasil kerapatan pemuda ini dinamakan sebagai Sumpah Pemuda, untuk disejajarkan dengan Sumpah Palapa Gajah Mada, untuk kepentingan politik saat itu."
Tetapi menurut sejarawan Kartum, ada bukti yang menunjukkan ikrar Sumpah Pemuda yang merupakan hasil Kongres Pemuda II. Isi ikrar Sumpah Pemuda yang dibacakan ketika itu sebagaimana yang diketahui hingga sekarang.
Lebih jauh, Kartum bercerita tentang peristiwa rapat pada Sabtu, 27 Oktober 1928, dan Minggu, 28 Oktober 1928, yang tak banyak diketahui publik. Rapat berlangsung tiga kali dalam dua hari itu dan tempatnya berpindah-pindah.
Rapat hari pertama pada 27 Oktober berlangsung di gedung Katholieke Social Bond (Perhimpunan Sosial Katolik) atau di belakang Gereja Katedral Jakarta.
Rapat hari kedua pada 28 Oktober berlangsung di dua tempat. Lokasinya dipindahkan dari gedung Katholieke Social Bond ke gedung Oost-Java Bioscoop -- tempatnya di antara Istana Merdeka dan Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Menurut dugaan Kartum, tempat rapat dipindah ke gedung Oost-Java Bioscoop karena pada hari Minggu, Katedral dipenuhi banyak orang beribadah.
Pada malam harinya, para pemuda kembali melaksanakan rapat. Lokasinya pindah lagi ke gedung Indonesische Clubgebouw atau Indonesisch Huis Kramat di Jalan Kramat Raya, nomor 106. Gedung itu sekarang jadi Museum Sumpah Pemuda.
Kartum menduga pemindahan lokasi rapat karena pada malam hari banyak orang datang ke Oost-Java Bioscoop untuk menyaksikan pertunjukan.
"Poinnya, kalau saya lebih ke melihat latar belakang tempat rapat tadi. Jadi selama ini mungkin orang awam tahunya Kongres II di Museum Sumpah Pemuda di Kramat 106. Orang belum banyak tahu kalau rapat pertama dan dua bukan di situ. Rapat ternyata pindah-pindah. Itu perlu untuk diinformasikan ke masyarakat, ada tiga lokasi rapat," kata Kartum.